Setelah itu, tentang sejumlah besar orang yang terlibat dalam literasi di Bandung antara lain Tarlen Handayani, Bilven “Sandalista” Gultom, Kimung, Didin Tulus, Dani “Papap” Ramdhani Hasanudin, Dadi Pakar, Soeria Disastra, Ajip Rosidi, dan Haryoto Kunto.
Oleh : Atep Kurnia
JERNIH– Bagaimana perbukuan di Bandung, bila dipotret selama satu dasawarsa? Salah satu jawabannya, barangkali, bisa dibaca dari Pohon Buku di Bandung: Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009 (Menaraapi, 2018) karya Deni Rachman.
Dalam rangka mendedahkan perjalanan dan perkembangan literasi di ibu kota Jawa Barat tersebut, Deni nampak berupaya “menulis dari dekat”. Disebut demikian, karena jelas ia termasuk orang yang pernah dan sedang terlibat dalam geliat literasi di Bandung. Dalam catatan tentang penulis disebutkan bahwa lelaki kelahiran Sukabumi, 16 Juni 1979 ini “Saat ini mengelola toko online LawangBuku. Bergiat di perbukuan sejak 2001.”
Bila dikaitkan dengan subjudul bukunya, titimangsa 2001 sejajar dengan keterlibatan Deni di dunia pustaka. Artinya, hanya selisih satu tahun saja dari objek yang ditulisnya. Demikian pula, dengan kegiatannya pada LawangBuku, sejumlah komunitas literasi, dan karier kepenulisannya mengenai ihwal literasi semisal pada rubrik “Kampus” Harian Umum Pikiran Rakyat. Demikian pula, dengan upayanya mendirikan Dipan Senja Agency, pada 2006, bersama Wiku Baskoro.
Isi Pohon Buku, secara ringkas dapat dibaca dalam Prakata. Katanya, “Buku ini bercerita seperti memotret satu masa kehidupan komunitas buku di Bandung dengan suasana dan bahan yang persis ditulis pada masanya. Rerata tulisan disusun pada tahun 2005-2009”. Pernyataan tersebut mengindikasikan upaya merekam dan mengabadikan peristiwa, lembaga, dan orang-orang yang terlibat di dalam perkembangan literasi di kota Parijs van Java secara dekat.
Apa peristiwa dan siapa saja yang terlibat di dalamnya? Antara lain dibahas sejarah perbukuan di Bandung dalam “Bandung dan Buku”, “Bandung Kota Buku yang Terlupakan”, “Melacak Satu Jejak”, “Aktivis 98 dan Buku”, “Pameran Buku dan Nostalgia di Gedung Antik”, “Stok Buku Bandung”. Setelah itu tentang sejumlah besar orang yang terlibat dalam literasi di Bandung antara lain Tarlen Handayani, Bilven “Sandalista” Gultom, Kimung, Didin Tulus, Dani “Papap” Ramdhani Hasanudin, Dadi Pakar, Soeria Disastra, Ajip Rosidi, dan Haryoto Kunto.
Sementara lembaga atau institusi yang dibahasnya antara lain Bale Pustaka, Cibuku.com, tokobukuonline.com, palasarionline.com, Omuniuum, Rumah Buku, Klab Baca Pramoedya. Buku ini diakhiri oleh rekaman singkat (kronik) literasi di Bandung dalam masa hampir satu dekade itu.
Rekaman Deni, saya kira sangat berharga, karena dari sana kita dapat mengetahui hubungan langsung antara pengaruh kebebasan serta keterbukaan yang dihembuskan Reformasi tahun 1998 dengan perkembangan penerbitan buku secara alternatif, khususnya di Kota Bandung. Itulah tumbuh suburnya penerbit dan komunitas baca pada dasawarsa tahun 2000-an, termasuk kebangkitan dan kejatuhannya. Pada era, tersebut kita juga bisa memperoleh bukti bahwa penggunaan internet bagi perbukuan di Bandung masih terbilang minim, tidak semassif sekarang ini.
Namun, ada pula implikasi lain yang menarik. Buku ini sesungguhnya mengetengahkan fenomena di perkotaan, yaitu di Kota Bandung. Dengan demikian, fenomena ini bersifat urban yang tidak memperlihatkan kecenderungan literasi yang terjadi di wilayah perdesaan. Misalnya, buku ini tidak memperlihatkan geliat lembaga atau komunitas, para pegiat, dan peristiwa yang terjadi di Kabupaten Bandung atau Kabupaten Bandung Barat, yang bisa dikatakan hampir bisa dikatakan bersifat pedesaan. Padahal keduanya, sama-sama mengandung kata “Bandung”.
Implikasi dari fenomena literasi yang terjadi di perkotaan, sebagaimana yang ditulis oleh Deni, yang mengemuka justru tingkat keberaksaraan yang tinggi, corak pemikiran serius, berorientasi pada industri dalam pengertian menentang arus utama tersebut karena hendak menjadi alternatif dari gurita ekonomi kapitalistik, memusat (metropolis), dan absennya hal-ihwal pertanian. Dengan kata lain, dengan ihwal keseharian orang desa. Corak pemikiran serius tersebut tercermin dari buku-buku yang sering dipublikasikan dan diperbincangkan. Hal ini, misalnya, kentara dari dominannya karya sastra Pramoedya Ananta Toer.
Pada saat yang bersamaan, fenomena literasi di pedesaan Kabupaten Bandung dan Bandung Barat tidak terpotret. Fenomena literasi di pedesaan Bandung bisa jadi masih dilandasi oleh pemikiran dan pengalaman yang bersifat agrikultur, suasana akrab, kehidupan keseharian, bersifat pinggiran, dengan keberaksaraan terbilang rendah.
Karena sifat-sifat itulah, perdesaan pada saat itu, bahkan hingga sekarang, tetap menjadi konsumen pustaka dari penerbit arus utama dengan kecenderungan karya-karya yang ditawarkan, diminati, dipilih, adalah karya-karya yang bersifat populer, yang tidak mengandung pemikiran yang berat-berat seperti pada komunitas literer di Kota Bandung. Dengan demikian, karya sastra yang biasa dibaca pegiat literasi di pedesaan adalah karya sastra populer dan karya-karya pustaka yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Atau bila berkaitan dengan bacaan umum yang ada adalah karya-karya yang sangat berorientasi dengan kehidupan masyarakat desa sehari-hari.
Keadaan yang masih terjadi hingga kini itu memang perlu dijembatani. Maksudnya agar tidak jomplang, sekaligus dapat mempertemukan pegiat literasi di perkotaan dan di pedesaan. Deni, saya, dan para penulis umumnya memang harus mencarikan formula yang tepat untuk dapat mempertemukan, menyinergikan dan menyatukan kepentingan para pegiat literasi di kota dan di desa. Salah satu caranya adalah dengan menulis karya yang bersifat medium atau tengah-tengah yang mewakili sekaligus menanggapi kebutuhan bacaan di kalangan masyarakat kota sekaligus desa.
Dalam hal ini, kita bisa mencontoh yang dilakukan ahli semiotika, filsafat, dan penulis Italia, Umberto Eco (1932-2016). Ia menulis novel semisal The Name of the Rose (1980), Baudolino (2000), dan The Mysterious Flame of Queen Loana (2005). Karya-karya tersebut di satu sisi mengandung hal-hal serius seperti pemikiran filsafat, tetapi di sisi lainnya menggunakan genre sastra populer seperti detektif atau misteri.
Alhasil, menulis dekat seperti yang dilakukan Deni Rachman untuk bukunya, agaknya patut dilanjutkan dengan melakukan pemetaan literasi di Bandung Raya yang mencakup ketiga kabupaten/kota di atas ditambah dengan Cimahi, baik secara sinkronik maupun diakronik hingga sekarang. Karena banyak hal yang berkaitan dengan perbukuan terjadi, setelah periode yang ditulis oleh Deni. Dan yang sangat mendesak pula adalah upaya secara bersama-sama merumuskan format buku atau bacaan umumnya yang merangkum kepentingan kalangan pegiat literasi di kota dan di desa, agar tidak ada jurang pemisah di antara keduanya. [ ]
*Peminat literasi dan budaya Sunda, tinggal di Bandung.