Meminta Kepada Penjajah
Maka tidak mengherankan jika seorang pejabat provinsi di Jawa Barat yang seharusnya mengurusi kebudayaan, pada akhir 2017 saat didatangi untuk dua bentuk permohonan, sama sekali tidak merespon permohonan penerbitan buku Sejarah Jawa Barat: Penelusuran Masa Silam karya tiga punggawa sejarah dan budaya Sunda: Saleh Danasasmita, Enoch Atmadibrata, Yoseph Iskandar
Oleh : Syarwanih O’eng
Pada 10 November 2013, Penerbit Padasan yang didirikan oleh sastrawan dan pengamat budaya Betawi Chairil Gibran Ramadhan alias CGR, menerbitkan novel Indisch karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, Max Havelaar. Novel setebal 488 hlmn berukuran 14 x 21 cm tersebut dicetak sebanyak 1000 exp dalam hardcover.
Dari mana sumber dana yang pastinya sangat banyak itu diperoleh untuk mencetak novel yang pada 2012 pernah diajukan Universiteit van Amsterdam kepada UNESCO untuk menjadi world heritage dan di menjadi bacaan wajib sekolah-sekolah di Belanda serta diakui sebagai karya sastra dunia (Hermann Hesse: Eine Bibliothek der Weltliteratur, 1929?
Jawabnya ternyata bukan dari kantong pribadi, dan tenntu saja bukan dari pemerintah Indonesia, tokoh politik di Indonesia, LSM, terlebih ormas. Dana tersebut diperoleh dari Pemerintah Kerajaan Belanda.
Melalui mata-rantai jalur yang sangat pendek, CGR langsung terhubung ke pihak pendana di Belanda. Semua komunikasi dilakukan via e-mail.
Prosedur yang harus dilalui sangat cepat dan tidak rumit sama sekali. Hanya ada berkas beberapa lembar yang harus diisi. Pencairan dana pun cair tidak membutuhkan waktu lama dan tidak melalui proses yang berbelit-belit.
Novel ini tampil dengan kualitas sangat bagus, bahkan Kementerian Kebudayaan Belanda menyatakan bahwa Max Havelaar versi Penerbit Padasan merupakan versi terbaik dari semua versi yang pernah diterbitkan dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Peluncuran buku ini digelar pada 12 Agustus 2014 di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, dengan dana yang seluruhnya ditanggung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
Lucunya, setelah terbit Max Havelaar versi Penerbit Padasan yang menggunakan terjemahan HB Jassin, ada dua penerbit lain di Jakarta dan Yogyakarta yang menerbitkan Max Havelaar, dengan sumber terjemahan berbeda. Satu penerbit di Yogyakarta bahkan menggunakan bahan sampul yang sama dengan Penerbit Padasan. Namun kedua versi ini sama sekali tidak dilirik oleh Pemerintah Kerajaan Belanda.
Sesungguhnya CGR mengakui, dirinya sangat malu mengajukan permohonan dana pencetakan buku kepada negara yang pernah menjajah negerinya. Terlebih karena ia merupakan orang Betawi, yang di atas tanahnya, penjajah Belanda berkuasa sejak 1610-1941.
Namun, apa daya, mengajukan hal serupa kepada pemerintah sendiri merupakan hal yang mustahil dilakukan: Serba rumit, bertele-tele, dan tidak membawa hasil selain membuang waktu, biaya dan tenaga. Ini jauh berbeda dengan pengajuan yang dilakukan CGR kepada Pemerintah Kerajaan Belanda. Pengajuan ini sendiri bukan tanpa alasan. CGR tau bahwa Max Havelaar merupakan novel Indisch paling fenomenal dari seluruh novel Indisch yang pernah terbit (novel Indisch: Karya yang mengambil latar Nederlandsch-Indie atau Hindia-Belanda, ditulis dalam bahasa Belanda oleh penulis Belanda atau peranakan Belanda, dan terbit di Belanda). Maka yang dipikirkannya hanya pihak Belanda ketika ‘mentok’ pada pendanaan.
Pengajuan pendanaan cetak kepada pihak Belanda dilakukan, karena CGR sangat sadar dengan kualitas pemerintah Indonesia yang dari tahun ke tahun hanya sibuk berkutat pada pengeluaran dana untuk kegiatan yang itu-itu saja, seperti panggung hiburan, panggung hiburan, dan panggung hiburan. Boleh dikata, hampir tidak ada ruang untuk kegiatan yang bernuansa intelektual dan menghargai karya intelektual. Kalau pun ada hanya secuil dan hanya untuk ‘gugur kewajiban’.
Penurunan dana pun hanya berputar pada pihak yang itu-itu saja, layaknya sebuah arisan. Jika pun ada pihak baru yang mengajukan pendanaan, hanya untuk memberi kesan bahwa memang ada pihak baru yang diberi kesempatan untuk mengadakan kegiatan atau membuat karya. Karena ketika di penghujung pengajuan, semua langkah akan dipatahkan dengan alasan ini dan itu yang mengada-ada. Padahal logikanya, jika memang pengajuan dari pihak baru tidak memenuhi persyaratan administrasi, harusnya disebutkan sejak awal sehingga tidak membuang-buang umur pihak yang mengajukan, setelah mengikuti semua tahap yang ditentukan.
Terkait buku, tiap tahun memang banyak buku keluaran instansi pemerintah yang dikerjakan oleh ‘rekanan’. Umumnya buku-buku tersebut tampil dalam kemasan mewah, namun umumnya juga: Isi asal jadi, dengan banyak kesalahan ketik, layout yang buruk, dan sampul norak. Namun, begitulah selalu adanya.
Pemerintah Indonesia memang berbeda dengan pemerintah Belanda. Di sana, selain membiayai pencetakan buku milik penerbit swasta yang tergolong penerbit kecil, pemerintah juga membeli buku-buku yang dihasilkan oleh penerbit swasta kecil untuk dibagikan kepada masyarakat pada ajang-ajang yang bernuansa intelektualitas: Acara sastra, acara seni-budaya, festival kebudayaan. Di sini? Lagi-lagi pihak pemerintah beranggapan bahwa dana lebih baik terbuang percuma untuk acara-acara “membakar kembang api” yang hanya satu-dua hari, ketimbang untuk “menanam pohon” karena butuh waktu yang lebih lama dan pemikiran yang lebih rumit. Karena yang terpenting: Ada laporan kerja.
Maka tidak mengherankan jika seorang pejabat provinsi di Jawa Barat yang seharusnya mengurusi kebudayaan, pada akhir 2017 saat didatangi untuk dua bentuk permohonan, sama sekali tidak merespon permohonan penerbitan buku Sejarah Jawa Barat: Penelusuran Masa Silam karya tiga punggawa sejarah dan budaya Sunda: Saleh Danasasmita, Enoch Atmadibrata, Yoseph Iskandar.
Sang pejabat malah membanggakan hasil kerjanya yang berupa penutupan jalan selama tiga hari untuk kegiatan fun bike, satu kegiatan yang seharusnya lahir cukup dari kepala seorang ketua ormas bahkan ketua karang taruna. Etisnya, penolakan tersebut cukup disampaikan melalui alat komunikasi, sehingga tidak perlu membuang umur pihak pengaju dengan perjalanan Jakarta-Bandung. Akhirnya buku yang dimaksud terbit pada Maret 2018 dengan tanpa bantuan dari siapa pun tokoh dalam bidang apa pun di wilayah Jawa Barat.
Akhirul kalam, tulisan ini hanyalah cermin. Karena wajah tidak akan mungkin bisa berubah hanya karena memegang cermin. [ ]