Mengenal Lima Daerah Khusus dan Istimewa Di Indonesia
Tahun 2021, dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang selama ini digelontorkan Pemerintah Pusat dari Dana Alokasi Umum (DAU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan berakhir. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua pasal 34.
Sehubungan hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta lembaga lainnya akan melakukan evaluasi. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otsus ini telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2020.
Selain mengatur batas waktu alokasi dana otonomi khusus serta besarannya sebesar 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, UU ini juga menjadi dasar hukum berlakunya otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan daerah-daerah pemekarannya sejak tahun 2001.
Kekhususan lainnya, di dua provinsi paling timur Indonesia itu terdapat sebuah lembaga negara yang khas dan hanya ada di sana. Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) adalah lembaga di tingkat provinsi yang merupakan representasi kultural Orang Asli Papua (OAP). Lembaga ini punya tugas dan wewenang tertentu yang diatur Undang-Undang.
Selain Papua dan Papua Barat, ada tiga daerah lain di Indonesia yang memiliki status khusus dan istimewa. Dasar konstitusioal pembentukan daerah-daerah ini adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
- Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
- Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, masing-masing daerah khusus itu memiliki dasar hukum berupa Undang-Undang yang menjadi dasar hukum pembentukan serta poin-poin kekhususan dan keistimewaan daerah tersebut.
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta
Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) memiliki lima kota administratif dan satu kabupaten administratif. Tak seperti provinsi lain di Indonesia, wali kota dan bupati yang ada di Jakarta tidak dipilih secara langsung melainkan diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta atas rekomendasi DPRD DKI Jakarta.
Bagi Jakarta, dasar hukum kekhususannya yang terbaru adalah UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu kekhususan Jakarta selain yang telah disebut di atas adalah Jakarta memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/pewakilan lembaga internasional.
Daerah Istimewa (DI) Nanggroe Aceh Darussalam
Lain Jakarta, lain pula Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pemerintah daerah “Serambi Mekah” menyebut peraturan daerah yang mereka keluarkan dengan istilah Qanun. Rakyat Aceh dapat mendirikan partai politik lokal sendiri serta pemerintahnya dapat menghukum pelaku zina dengan hukum cambuk, hal yang tak ada di daerah lain di Indonesia.
Lahirnya keistimewaan Aceh tidak bisa lepas dari sejarah panjang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menuntut kemerdekaan dari NKRI.
Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangi Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di Helsinki, Finlandia. Salah satu isinya adalah, Aceh diberi wewenang mengatur dan melaksanakan semua sektor publik sesuai dengan hukum syariat Islam.
Dalam perjanjian yang dikenal luas sebagai Kesepakatan Helsinki itu ada beberapa sektor yang dikecualikan, di antaranya hubungan luar negeri, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama yang merupakan domain Pemerintah Pusat.
Lebih lanjut, keistimewaan Aceh diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta
Sementara di Provinsi Yogyakarta, tidak ada pemilihan kepala daerah provinsi. Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat sudah pasti menjabat Gubernur DI Yogyakarta dan Adipati Pakualaman sudah pasti menjabat wakil gubernur.
Sebelum terbentuknya NKRI, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningratsudah diakui oleh Belanda sebagai sebuah negara berdaulat dengan sebutan Zelfbestuurlandschappen atau Daerah Swapraja.
Usai Jepang terusir dari bumi pertiwi, Yogya sangat siap menjadi negara merdeka yang berdualat, lengkap dengan wilayah, harta, penduduk, serta sistem pemerintahan monarki khas mereka. Namun, Sultan Yogya Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX menyatakan bahwa kesultanannya merupakan bagian dari NKRI.
Sri Sultan HB IX juga mendonasikan hampir seluruh harta kerajaan untuk penyelenggaraan pemeritahan NKRI di masa-masa awal kemerdekaan ketika Yogya menjadi Ibu Kota Indonesia pada 1946 dan 1949.
Atas jasa-jasanya serta latar belakang sejarah tersebut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 9 Tahun 1955 tentang Perubahan UU No. 3 dan No. 19 Tahun 1950 tentang Pementukan Daerah Istimewa Yogyakarta.