Mengenang R. Bambang Soedjiartono (15 Mei 1960-13 Juli 2021): Jurnalis Investigasi Bernyali Besar dari Medan (1)
Sebagai buah investigasi, laporan Bambang Soedjiartono ini keren dilihat dari jurusan mana pun. Begitu pun, bukan pujian yang dia dapatkan; apalagi penghargaan. Terorlah yang dituainya. Keluarganya pun terkenah getahnya. Untuk menyelamatkan diri ia terpaksa mengembara beberapa bulan hingga ke Jakarta. Tak banyak orang yang tahu. Awak majalah kami, D&R, pun sangat sedikit yang menyadari apa yang telah terjadi.
Oleh : P Hasudungan Sirait
JERNIH– Kurang suka dia mengerjakan liputan yang biasa-biasa. Maunya? Yang menantang. Kalau bukan investigasi ya, setidaknya laporan yang mendalam (indepth reporting). Bedanya tentu saja banyak.
Liputan yang biasa-biasa mudah saja membuatnya sebab yang kita lakukan sekadar mencari informasi terkini dan mewartakannya. Dengan menelepon narasumber 1-2 orang saja barangkali sudah cukup. Di zaman ‘now’ bahkan dari narasumber saja bisa lahir 3-4 berita sejenis!
Laporan mendalam menuntut bahan yang lebih banyak dari ranah yang aneka. Peristiwa bertambahnya korban Covid-19 di Madura atau Sumatra Barat, umpamanya, tak hanya kita lihat dari jurusan kesehatan; sangat mungkin juga dari sisi budaya, religi, psikologi, pendidikan, ekonomi, politik, dan yang lain sekaligus. Narasumbernya tentu lebih banyak dan mereka harus serba kompeten. Tak sekadar memutakhirkan informasi, di sini kita juga menjelaskan duduk masalah sebenderang mungkin, membuat proyeksi, serta mencarikan solusi. Data dan hasil pengamatan dengan sendirinya menjadi sangat penting.
Laporan investigasi adalah indepth reporting yang ditingkatkan lebih jauh lagi. Jadi, semua syarat tadi mesti dipenuhi. Tapi itu belum cukup sebab tujuannya adalah pengungkapan kasus yang, biasanya, melibatkan kekuatan besar. Riset data dan observasi harus lebih intens. Pun, kita harus melacak sumber informasi yang paling tepat dan yang tentu saja sudi memberi pengakuan (testimoni).
Juga, kita harus mendapatkan dokumen otentik. Prinsipnya, tanpa dokumen otentik, tak ada cerita investigasi! Lagi pula, tampanya kita akan sangat rawan diserang balik nanti dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Satu lagi, ada kalanya penyamaran harus kita lakukan [masak menginvestigasi pakai bilang-bilang? Nanti seperti intel Melayu, dong…]
Merupakan mahkota setiap wartawan, jelas investigasi menuntut keserbaekstraan. Apakah itu upaya, waktu, nyali, ketekunan, kecermatan, daya tahan, maupun biaya. Padahal belum tentu bakal berhasil. Kalaupun sukses, bisa saja akan kurang atau bahkan tidak diapreasi oleh sejawat sekantor sekalipun kendati kita sudah mempertaruhkan reputasi dan nyawa. Wajarlah kalau kebanyakan wartawan cenderung menghindari walau mengimpikannya.
Adapun dia, Bambang Soedjiartono (Bambang Soed), lebih menyukai liputan yang sangat menantang ini. Entah mengapa.
Begitulah, di suatu pagi ia menelepon diriku dari Medan. Ia menanyakan tindak lanjut pembicaraan kami pada berapa kesempatan sebelumnya. “Bagamana Lae, kapan kita bisa memulai proyek investigasi itu? Kita bikinlah yang beda, biar D&R makin dihitung orang,”ujarnya.
Sejak semula dia ber-lae (ipar) ke aku; sebaliknya aku ber-mas. Nyonyanya orang Tapanuli Selatan (Mandailing, kalau aku tak khilaf) sedang aku marboru Jawa (beristrikan orang Jawa).
Ia pernah mengusulkan beberapa ide liputan penyidikan berkonteks Sumatra Utara (Sumut). Mafia judi, persaingan klasik dua organisasi kepemudaan (OKP) terkemuka yakni Ikatan Pemuda Karya (IPK, dipimpin Olo Panggabean) dan Pemuda Pancasila (PP), serta perusakan lingkungan yang dilakukan PT Inti Indo Rayon Utama (korporasi milik Sukanto Tanoto ini kemudian berganti baju menjadi PT Toba Pulp Lestari), antara lain.
“Mafia judi dulu kita garap,” jawabnya tatkala kutanya yang mana yang paling pas dikerjakan lebih awal.
Meski sudah beberapa kali ia ceritakan soal yang satu ini, tetap kuminta dia menyiapkan kerangka liputan (outline atau TOR) kasar. Alasanku, supaya lebih gampang meyakinkan peserta rapat redaksi nanti.
Besok siangnya kerangka itu sudah kuterima lewat mesin faksimili kantor kami. Sebagai gambaran kasar, ya itu kuanggap sudah lebih dari cukup.
Di rapat redaksi di kantor majalah D&R di Jakarta, usulan tentang mafia judi itu kuperjuangkan. Argumentasi telah kusiapkan. Sudah kuduga bakal muncul pertanyaan apa pentingnya serta urgensinya isu tersebut. Maklumlah, Jakarta-sentris masih meraja di sebagian besar kantor redaksi yang ada di Ibukota. Sampai detik ini pun, kukira, masih demikian. Kota di luar Jawa-Bali belum menjadi prioritas. Jadi, kalau isu daerah tak kuat kemungkinan itu akan kandas begitu saja.
Kuterangkan bahwa judi berbiak pesat di Sumut. Kalaupun ada yang ditangkap, itu cuma pemain dan bandar kelas teri-coro. Yang kakap tetap untouchable [tak tersentuh] karena main mata dengan petinggi kepolisian, militer, dan birokrasi tertentu.
Begitu usulku diterima, seusai rapat redaksi langsung kukontak Mas Bambang Soed (Bamsoed).
“Mauliate godang [terimakasih banyak], Lae karena sudah memperjuangkan. Ini proyek kita berdua. Aku yang menginvestigasi di lapangan dan Lae yang menjadi pengarahnya. Aku butuh masukan Lae selama pengerjaan.”
Sinergi
Kami berdua bersepakat. Kuminta dia mematangkan kerangka yang sudah dikirimnya. Soalnya itu masih bentuk kasar. Pembagian tulisan, narasumber, daftar pertanyaan inti, riset data, observasi, foto, ilustrasi, dan tenggat waktu perlu dirinci agar serba benderang. Dokumen otentik mutlak adanya dalam setiap proyek investigasi.
Gairah dia rupanya sedang membuncah betul. Dua hari berselang TOR yang komprehensif sudah kuterima lewat mesin faksimili. Tanpa catatan lagi, seketika aku menyetujuinya karena sudah apik. Sebelumnya dia memang telah mulai mengumpulkan bahan dan memantau lapangan.
Proyek dimulai. Seperti kesepakatan berdua, dia yang terjun ke lapangan. Kuingatkan ke dia bahwa keselamatan kita sebagai peliput jauh lebih penting dari segalanya.
Di Jakarta, aku menjadi pengarah yang siap ia hubungi setiap saat. Selama sekitar 3 minggu kami beberapa kali baku kontak. Ia rajin memutakhirkan perkembangan. Yang ia laporkan termasuk dirinya yang sempat bersitegang dengan petugas keamanan di rumah judi saat memotret.
Laporan investigasi akhirnya ia kirim. Rekap berupa catatan transaksi dan lembaran nomor tak lupa disertakannya. Juga, foto-foto. Bahan yang lengkap!
Esensi materi itu kupertahankan karena memang sudah pas. Sebagai penyunting, yang kulakukan sebatas memolesnya agar lebih hidup, bertenaga, dan bergaya.
Tiga tulisan hasil reportase Bambang Soedjiartono muncul di majalah kami, D&R, pada paruh ke-2 tahun 1998, kalau tak salah (majalahnya tak kutemukan meski sudah kucari selama 2 hari kemarin di antara seratusan nomor tahun 1996-2000 yang kumiliki [lihat foto di atas].
Untunglah file-nya masih ada di arsipku meski data waktunya sudah berubah akibat up-date. Yang kudapatkan malah laporan dia yang lain termasuk tentang kejahatan Indo Rayon dan kesadisan dukun bernama Ahmad Suradji yang membantai puluhan pasiennya).
Tulisan pertama berjudul Merana dan Melaba karena Judi. Intinya, selain toto gelap (togel) dan hwa-hwe, judi elektronik tengah marak di Sumut kendati Pangdam I/BB Mayjen Sedaryanto telah menabuh genderang perang terhadap penjudi. Pada Januari 1997, misalnya, petugas membekuk 124 agen dan penjudi.
Bambang Soed yang memang bernyali besar menginvestigasi 7 tempat judi di Medan yang dijalankan seorang cukong bernama A Siang. Godfather yang dekat dengan para pejabat teras (sipil, polisi, dan militer) serta pengusaha-pengusaha kakap Sumut ini bermitra dengan seorang investor Jakarta dalam menjalankan bisnis judi elektronik di Medan.
“Sebagaicapodecapi A Siang tidaklah turun langsung. Ia mempercayakan urusannya kepada kapten dan letnannya. Adalah dr. Benny Hermanto MBA yang bertanggung jawab langsung dalam bisnis ini. Benny, 45 tahun, sebelumnya berpraktek dokter di rumahnya di Jalan Teuku Umar, di samping Mapolda Sumut. Ia juga menjadi pejabat teras sebuah rumah sakit terkenal di Medan,” tulis Bambang Soed.
Benny Hermanto lulusan Amerika Serikat. Hobinya berselancar internet. Sejak mengelola judi, lelaki yang tak suka mengedepankan diri, tegap, dan berkacamata meninggalkan praktik dokter. Secara ekonomi ia memang menjadi lebih baik. Ia punya 2 kantor yakni di pusat perdagangan Uniland yang eksklusif di Jl. MT Haryono dan di gedung Bank Umum Servitia Jl. Imam Bonjol, di depan hotel Tiara. Untuk menghubungi dia sudah tak gampang. Minimal harus lewat humas, sekretaris, atau konsultannya. Tak seperti waktu masih jadi dokter.
“Benny kini makmur. Di samping kediaman resminya, ia juga punya apartemen atau suite dikomplek Hotel Danau Toba Internasional. Di sana ia menerima tamu pribadinya. Sebenarnya ia tak hanya berkiprah di perjudian saja. Sejak awal ‘90-an ia juga memasukkan secara gelap minyak pelumas dari Thailand dan Taiwan ke Belawan.
Sebuah koran lokal pada September 1996 memberitakan bahwa dr Benny Hermanto MBA dan temannya, A Gu, memasukkan 28.980 drum baseoil (bahan untuk pelumas) dengan dokumen palsu. Waktu itu kedua tersangka sempat diperiksa di Polda Sumut. Tapi kasus ini mengendap kemudian,” lanjut Bambang Soed.
Judi elektronik untuk kelas atas. Adapun untuk lapisan menengah ke bawah tersedia togel dan hwa-hwe. Dana yang disedot kedua judi ini lebih besar dari yang diisap Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).Bambang Soed mengisahkannya di tulisan ke-2 yang berjudul Togel dan Hwa-Hwe yang Tak Kunjung Padam.
Pada bagian ini ia juga menceritakan tewasnya Erwin Lubis, Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Medan Kota yang juga aktifis Ikatan Pemuda Karya.Erwin tewas diterjang peluru Serka Tigor Simajuntak, pada April 1997.
“Pasalnya adalah rebutan tempat (ancak) di Jalan Bakti, Medan. Erwin yang dianggap melintas batas, bertengkar dengan kakak anggota Shabara Poltabes Medan itu. Serka Tigor yang dilapori abangnya, lalu turun tangan. Erwin ia dor. Adapun Tigor, sebelumnya pernah ditangkap petugas provos Poltabes karena membeking pengelola togel. Hukumannya waktu itu, dipindahkan dari Satlantas Poltabes Medan ke unit Shabara.”
Tulisan ke-3 yang berjudul “Keasyikan Baru yang Bagai Lingkaran Setan” merupakan rangkuman komentar dari dua akademisi terkemuka Medan yakni Usman Pelly, guru besar sosiologi—koordinator Kopertis Wilayah I serta Laksana Tobing, dosen psikologi—pengamat sosial.
Sebenarnya, menurut Usman Pelly, sudah sejak lama masyarakat Sumut akrab dengan perjudian. Di zaman Hindia Belanda, misalnya, saat tembakau masih jaya, Sumut, terutama Medan, dipenuhi para kuli kontrak beretnik Jawa, Cina, maupun Tamil. Untuk mengikat serta membuat mereka betah, pihak perkebunan (onderneming) sengaja menggelar ronggeng dan judi ‘sitir’. “Tapi, judi lebih merupakan hiburan, belum komersial seperti sekarang,” lanjut sang guru besar.
Oknum aparat dan masyarakat lainnya, kata Laksana Tobing, seperti bermain di air keruh untuk menangguk keuntungan temporer. Padahal dampak psikologis dari merebaknya judi togel dan hwa-hwe nyata betul, yakni munculnya perilaku impulsif yang mengubah tatanan sosial.
Sebagai buah investigasi, laporan Bambang Soedjiartono ini keren dilihat dari jurusan mana pun. Begitu pun, bukan pujian yang dia dapatkan; apalagi penghargaan. Terorlah yang dituainya. Keluarganya pun terkenah getahnya. Untuk menyelamatkan diri ia terpaksa mengembara beberapa bulan hingga ke Jakarta. Tak banyak orang yang tahu tentang hal ini. Awak majalah kami, D&R, pun sangat sedikit yang menyadari apa yang telah terjadi.
Seperti apa intimidasi dan nestapa yang ia alami akibat mengerjakan proyek investigasi judi gaya Medan? (bersambung).
*Bambang Soed adalah wartawan D&R—kemudian Majalah TEMPO, di Medan **P Hasudungan Sirait, redaktur majalah D&R yang terbit di akhir 1990-an