Menghapus Mitos dan Kontroversi Snouck Hurgronje
- Wim van den Doel mencoba menghapus mitos dan kontrovesi, dengan menarasikannya sebagai petualang.
- Namun, informasi yang dikumpulkannya tentang orientalis ini adalah kontroversi.
JERNIH — Tahun 1889 Snouck Hurgronje berangkat ke Hindia-Belanda dengan satu pertanyaan di kepalanya; Apa status Islam di negeri jajahan itu?
Tiba di Batavia, Hurgronje mendengar banyak perlawanan Islam di Pulau Jawa yang ditindas secara brutal karena satu hal, yaitu ketidaktahuan pemerintah kolonial akan Islam dan adat-istiadat masyarakat.
Hurgronje tidak segera memberi nasehat. Ia lebih suka menenggelamkan diri ke dalam budaya dan adat-istiadat lokal, terutama elite Jawa. Sesuatu yang tidak sulit bagi seorang Hurgronje, karena kemampuan bahasanya yang fenomenal.
Di Jawa Barat, Hurgronje berintegrasi ke dalam elite Sunda dengan menikahani janda beranak lima. Saat itu, pernikahan pria Belanda dan pribumi sesuatu yang biasa, meski sebagian besar perempuan lokal hanya dijadikan ‘njai’.
Hurgronje menjalani kehidupan ganda; sebagai pria Belanda yang memegang teguh semua budaya nenek moyang, dan berbaur dengan pribumi. Di tengah elite pribumi, Hurgronje berpikir dan bertindak tidak ubahnya orang-orang lokal. Di kalangan pejabat Belanda, Snouck sepenuhnya pejabat kolonial.
Sekian tahun bergaul dengan masyarakat kolonial, Hurgronje sampai pada kesimpulan Islam tidak ada di Hindia-Belanda. Menurutnya, semua terbentuk di sekitar adat dan tradisi. Inilah yang tidak pernah dipahami pemerintah kolonial.
Setelah itu, Hurgronje memberikan nasehat-nasehatnya, yang menjadi dasar kebijakan pemerintah kolonial. Menurut Hurgronje, modal intelektual lokal harus lebih banyak digunakan, dan pada akhirnya Hindia-Belanda tidak akan dapat diperintah tanpa pembagian kekuasaan.
Yang juga menarik adalah Hurgronje menentang prasangka rasis terhadap orang Indonesia. Menurutnya, orang Indonesia berpendidikan dapat melakukan pekerjaan sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia-Belanda dengan baik, bahkan mungkin lebih baik.
Biografi Hurgronje
Narasi di atas hanya sebagian kecil dari sekian bab buku The Complete Scholar’s Life, biografi Hurgronje Hurgronje karya Wim van den Doel — profesor sejarah yang memilih untuk menceritakan kisah sang orientalis sebagai seorang petualang.
Abdelkadir Benali menulis resensi buku itu di situs javapost.nl, juga dengan sangat menarik. Meski tidak panjang, Benali mengambil semua tentang Snouck yang berkaitan dengan Indonesia.
Kehidupan Christian Snouck Hurgronje, menurut Van den Doel, adalah novel petualang. Ia lahir dari hubungan luar nikah, lulus cum laude dalam Bahasa Arab dari Universitas Leiden, lalu memilih menenggelamkan diri dalam Islam.
Ia mengambil nama Abdul al-Gaffar, disunat, dan memasuki Mekkah dengan jubah Arab. Berikutnya, Snouck menenggelamkan diri dalam Islam. Ia berguru dengan seorang ahli Al Quran di Mekkah, dan menikahi wanita Ethiophia.
Snouck benar-benar menjadi Arab. Namun pada saat yang sama dia berargumen bahwa Barat lebih unggul dari Islam, dan keimanan akan mati dalam beberapa generasi. Hurgronje menjadi orang Barat pertama yang memotret Mekkah, meski kota itu harus ditinggalkan dengan tergesa-gesa karena perselisihan diplomatik.
Buku yang ditulis Hurgronje tentang pengalaman berada di Mekkah sampai saat ini masih menjadi mahakarya antrologi dan sastra yang menarik dibaca.
Tahun 1872, setelah pembukaan konsulat Belanda di Jeddah, ada kebutuhan untuk menyelidiki apakah jamaah haji Hindia-Belanda terkena pengauh politik selama di Mekkah? Apakah para haji membawa ide-ide tentang kekhalifahan Islam ke Hindia-Belanda.
Hurgronje melakukan penelitian menarik tentang hal ini, dan menuangkannya dalam sebuah buku. Ia juga melaporkan kepada pemerintah Hindia-Belanda, berikut saran-saran yang menjadi kebijakan.
Hurgronje dan Perang Aceh
Tahun 1901 Hurgronje melakukan perjalanan ke Aceh untuk mempelajari peran Islam dalam pemberontakan. Aceh adalah dunia berbeda dengan Jawa, yang membuat Snouck tertantang.
Perang Aceh adalah konflik bersenjata terlama di Nusantara. Belanda tidak sepenuhnya bisa menaklukan Aceh, kendati telah mengerahkan sebanyak mungkin tentara dari berbagai latar belakang etnis dan bangsa.
Setelah sekian lama, pemerintah Hindia Belanda nyaris tanpa harapan menang. Hampir tidak ada cara memadamkan pemberontakan, dan tenggelam dalam kejahatan perang.
Hurgronje mengatakan pemerintah Hindia-Belanda terlalu ragu-ragu mengatasi Aceh. Menurutnya, Aceh memiliki semangat jihad tapi tidak punya pemimpin.
Stabilitas di Aceh hanya bisa tercapai jika penduduk diberi kebebasan beragama dan berdagang. Pemerintah daerah, terutama kaum bangsawan atau oelebalang, mewakili stabilitas yang membutuhkan investasi.
Untuk mencapai perdamaian Aceh, yang kali pertama harus dilakukan adalah aksi militer yang menghancurkan. Setelah itu, jalankan politik uluran tangan yang lembut dan menyembuhkan.
Perang Aceh 1896-1904 sepenuhnya direstui Hurgronje. Ia mendukung pendekatan keras Jenderal Van Heutsz. Ia juga tidak terganggu dengan kabar pembantaian mengerikan di Gayo, ketika seluruh penduduk; mulai dari orang tua dan anak-anak dibunuh.
Snouck Hurgronje berada di balik semua itu. Nasehatnya kepada tentara Belanda adalah bencana bagi rakyat Aceh, sesuatu yang tak mau dikenang generasi Belanda saat ini.
Tahun 2004, salah saat Universitas Leiden memperingati 100 tahun Perang Aceh dan memasang foto-foto pembantaian yang dilakukan pasukan Van Daalen, generasi muda Belanda menolak melihat foto-foto itu. Mereka seolah ogah melihat masa lalu ketika nenek moyangnya membantai anak-anak, bahkan bayi yang belum dilahirkan.
Kembali ke Belanda
Setelah 17 tahun berada di Hindia-Belanda, Hurgronje pulang kampung dan menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Univesitas Leiden. Ia menjadi pelatih bagi Orientalis baru yang trauma oleh Islam dan penduduk lokal.
Ia meninggal 26 Juni 1936 dalam usia 97 tahun. Satu tahun sebelum meninggal, Hurgronje aktif membela ilmuwan Yahudi. Ia juga masih sempat mengikuti ujian Bahasa Aceh, dan lulus.
Pada pekan terakhir sebelum kematiannya, Hurgronje terbangun dari ketidak-sadaran dan mengubah surat wasiatnya. Ia meninggalkan anak-anaknya di Hindia-Belanda masing-masing 5.000 gulden.
Tahun 1980-an, Van den Doel mengumpulkan semua informasi tentang Snouck dengan satu tujuan, menghilangkan mitos dan kontroversi seputar sang jenius. Arabis Koningsveld menunjukan sebagai mata-mata, Hurgronje telah menyalahgunakan kepercayaan Muslim dan Jawa untuk melayani kebijakan pemerintah Hindia-Belanda.
Meski demikian biografi ini tidak menghilangkan citra itu. Hurgronje tetap dikenang sebagai figur kontroversi. Sosok humanis yang tiba-tiba menjadi monster bagi rakyat Aceh.