Misteri Reruntuhan Kota Islam Gedi yang Dihuni Jin
Kota-kota bersejarah di seluruh dunia yang meninggalkan jejak budaya dan peradaban di masa lampau selalu menjadi daya tarik para ahli dan pelancong. Salah satu reruntuhan kota terkenal di dunia adalah reruntuhan kota Islam Gedi yang berada di dalam sebuah hutan, dekat pantai Kenya.
Reruntuhan Gedi terletak 16 km di selatan Malindi atau sekitar 60 mil sebelah utara kota wisata Mombasa.Gedi berada di kawasan tepi laut, hanya berjarak 6,5 km dari Samudra Hindia. Luas total situs Gedi adalah 30 hektar dengan kelililing benteng 18 hektar. Pada tahun 1927 situs tersebut diklasifikasikan sebagai monumen yang dilindungi.
Pada tahun 1939, kontruksi bangunan-bangunan kuno yang kondisinya paling rawan oleh kerusakan telah dipulihkan oleh departemen pekerjaan umum Kenya. Dan karena potensi arkeologisnya yang tinggi, Gedi dinyatakan sebagai taman nasional pada tahun 1948.
Pada tahun 1954, seorang arkeolog Inggris bernama James Kirkman merencanakan penggalian Gedi. Dia menyurvei situs itu, membersihkan sejumlah bangunan, menggali masjid besar dan kemudian istana pada tahun 1963. Sepuluh tahun kemudian Kirkman melanjutkan penggalian di Gedi dan berakhir pada tahun 1978.
Penelitian reruntuhan kota Gedi terus dilakukan.November 1993, penelitian tentang Gedi dimotori oleh arkeolog Claire Hardy-Guilbert dan Axelle Rougeulle. Situs ini sekarang dilindungi oleh pemerintah Kenya dan dianggap sebagai bagian penting dari warisan sejarah Swahili.
Kota Gedi didirikan pada 1080-1130 M. Pertumbuhan kota ditandai dengan perubahan arsitekturnya yang berkembang sampai 1400-1450 M. Pusat kota ditandai dengan keberadaan dua masjid yang dihiasi oranamen indah dengan desain dekoratif khas Islam.
cakupan panjang dan luas benteng luar kota adalah 32 hektar. Sedangkan dinding tembok bagian dalam berfungsi melindungi area inti seluas 18 hektar, merupakan jantung kota atau kawasan elit yang didiami para wa-ungwana, bangsawan Swahili.
Reruntuhan istana sebagai kediaman penguasa kota yang terawat baik berada di dalam hutan dan terawat baik. Istana dengan arsitektur Arab tersebut memiliki aula inti yang besar dan berdampingan dengan halaman. Reruntuhan istana itu memiliki kamar-kamar yang dulu menyimpan harta kekayaan.
Adanya saluran air dan sanitasi membuktikan perencanaan infrastruktur kota yang mengesankan, yang belum berkembang di Eropa pada abad pertengahan. Struktur bangunan tempat mukim para bangsawan dan kaum pedagang didominasi batu bata dan karang.
Sedangkan penduduk miskin tinggal di luar benteng kota dengan bangunan terbuat dari struktur batu bata lumpur. Sisa-sisa bangunannya penduduk miskin kini sudah hilang.
Yang menarik dari Gedi adalah banyaknya reruntuhan bangunan masjid yang memiliki fitur arsitektur yang maju, seperti adanya spandrels (ruang segitiga antara dua lengkungan yang berdekatan dan fitur lurus di atasnya) yang dihiasi dengan kutipan dari Al-Quran dengan indah. Uniknya, mesjid-mesjid di Gedi tidak memiliki menara.
Dari peta situs Kota Gedi tahun 2001, terdapat reruntuhan 6 buah mesjid, salah satunya merupakan mesjid agung yang berasal dari abad 14 – 15 M. Selain mesjid terdapat pula pemakaman para imam di dalam kota yang dihiasi dengan pilar-pilar dengan gaya khas budaya Swahili di Afrika Timur.
Berdasarkan karbon dating dari salah satu kubur kuno didapat pertanggalan antara tahun 1041-1278 M. Temuan tersebut memberi gambaran bahwa Kota Gedi di bagian utara memiliki usia yang lebih tua, yaitu dari abad ke 11 M dan berkembang sampai abad 15 M.
Transisi sejarah abad ke-11 -12 M adalah periode perubahan. Dan Kota Gedi mulai tumbuh di era Kesultanan Kilwa. Kota Malindi dan Mombasa disebutkan berdiri pada tahun 1154 M, juga dibawah Kesultanan Kilwa yang kekuasaanya membentang sepanjang Pantai Swahili.
Menurut James Hastings dalam Encyclopedia of Religion and Ethics Part 24, Kilwa didirikan pada 957 M oleh Ali ibn al-Hassan Shirazi, seorang pangeran Persia dari Shiraz. Keluarganya memerintah sampai tahun 1277 M. Mereka digantikan oleh dinasti Abu Moaheb hingga 1505 M sampai kemudian digulingkan oleh invasi Portugis.
Tahun 1178 M Suleiman ibn al-Hassan ibn Dawud menjadi salah satu sultan terbesar di Kilwa yang menaklukkan sebagian besar Pantai Swahili. Sehingga wilayah Sofala yang kaya dengan emas, Pemba, Zanzibar dan beberapa bagian dari daratan berada di bawah pemerintahan Kilwa.
Al-Hassan dikenal banyak mendirikan bangunan di Kilwa, termasuk benteng batu dan istana-istana serta mengubah kota menjadi metropolis. Ia memerintah 18 tahun. Selama masa pemerintahan Sulaiman al-Hasan, dari tahun 1178 M hingga 1196 M, Kilwa meraup untung dari perdagangan emas dari Sofala.
Ibn Batutah(1304-1368 M) mencatat bahwa Kilwa adalah salah satu kota terindah di dunia dengan rumah-rumah batu yang ditutupi dengan atap daun kelapa atau makuti, hanya masjid dan istana tertentu yang memiliki atap datar yang keras.
Padahal saat itu, sebelum kedatangan koloni Eropa, diyakini kota Gedi yang berada di garis pantai menjadi pusat perdagangan yang ramai. Dari temuan artefaknya, Kota ini memiliki koneksi perdagangan yang luas melintasi Samudera Hindia.
Temuan vas keramik dinasti Ming, koin Cina, dan cangkang kerang yang digali di reruntuhan kota, menunjukkan bahwa pedagang Gedi terlibat dalam perdagangan jarak jauh. Berdasarkan budaya material yang berasal dari abad ke 11 M hingga abad ke 17, kota ini akan menjadi pusat perdagangan dan industri yang penting dan diperintah oleh seorang sheikh.
Sejauh ini tidak ada catatan dan alasan yang menjelaskan kenapa masyarakat Gedi meninggalkan kotanya yang maju. Selama abad ke 17, Gedi telah ditinggalkan penghuni terakhirnya dan ditemukan kembali oleh penjajah Eropa pada akhir abad ke-19.
Beberapa pendapat populer memperkirakan penyebab kota Gedi ditinggalkan, yaitu karena kedatangan Portugis dianggap telah mengganggu perdagangan maritim di Samudra Hindia sehingga menyebabkan Gedi menjadi sepi.
Pendapat lain menyebutkan adanya serangan suku-suku pedalaman serta migrasi kelompok-kelompok Somalia ke wilayah tersebut yang memberi tekanan pada kota. Faktor lain menyebutkan bahwa tidak ada cukup air di sumur kota untuk menopang komunitas perkotaan yang besar.
Namun, berdasarkan catatan arkeologis, tampaknya Gedi tidak dikepung atau diserang oleh suku-suku, tetapi kemungkinan serangan suku-suku tersebut mengganggu ekonomi dan memutuskan jalur perdagangan disaat para pedagang lokal kewalahan bersaing dagang dengan Portugis.
Minimnya temuan aretfak berupa harta kekayaan penduduk Gedi juga menunjukan bahwa kota tersebut ditinggalkan penduduknya secara buntel kadut alias membawa semua barang-barang berharganya.
Meskipun demikian masyarakat sekitar Gedi telah lama mengetahui akan reruntuhan itu. Mereka percaya kota itu dihuni oleh makhluk gaib yang disebut jin. Adanya kepercayaan tersebut membuat reruntuhan kota Gedi menakutkan dan lama tak terjamah. Namun di sisi lain ketakutan itu membuat reruntuhan kota Gedi tetap utuh.