POTPOURRI

Over-optimistis, Byzantium Dikalahkan Pasukan Aleppo di Azaz, 10 Agustus 1030

Sayangnya Sang Kaisar “teu ngukur ka kujur” alias tak tahu diri dengan pengalaman perangnya yang cuma seuprit. Dengan menggandeng penulis sejarahnya guna menuliskan berbagai pencitraan, ia memimpin sendiri pasukannya menyerang Aleppo

JERNIH—Optimistis tentu saja harus. Namun over-optimistis hanya membuat pandangan dan akal sehat buram dihalangi rasa takabur.

Itu yang dialami pasukan Bizantium yang dipimpin langsung kaisar mereka, Romanos III Argyros, pada 10 Agustus 1030. Pasukannya yang beranggotakan 20 ribu personel, hancur dan kocar-kacir digempur pasukan Imarah Mirdasid Aleppo yang hanya beranggotakan 700 sampai 2.000 personel Arab Badui. Sebagaimana pasukan Bizantium, pasukan Aleppo dipimpin langsung Emir Shibl al-Dawla Nasr (memerintah 1029-1038).

Hubungan Byzantium dengan Aleppo yang menjadi tetangga Arabnya itu memang sudah lama panas sejak Kekaisaran Kristen Romawi Timur itu mengklaim protektorat atas kota itu pada 969 Masehi. Sejak Mirdasid menundukkan gubernur Bizantium di Antiokhia, Romanos yang panas melancarkan kampanye perang melawan Aleppo.

Sayangnya Sang Kaisar “teu ngukur ka kujur” alias tak tahu diri dengan pengalaman perangnya yang cuma seuprit. Dengan menggandeng penulis sejarahnya guna menuliskan hal-hal yang tak jauh dari pencitraan, ia bertekad memimpin sendiri pasukannya menyerang Aleppo, sebuah kota keemiran di Suriah.

Dua puluh ribu personel pasukan pun bergerak dalam komando Kaisar Romanos, yang tiba di Antiokhia pada 20 Juli 1030. Sesampai di sana, seorang duta Mirdasids datang menawarkan perdamaian, termasuk kesanggupan untuk membayar upeti tahunan.

Sebuah lukisan tua yang memperlihatkan kekalahan Bizantium oleh Keemiran Aleppo di Kota Azaz

Kembali, ketakaburan Romanos membuatnya menolak, bahkan menahan sang duta Aleppo. Sebagai pemimpin ia pun seorang yang “summun” alias tuli, tak mau mendengar nasihat para jendralnya. Matanya “bukmun”, buta melihat dirinya yang alpa pengalaman perang. Nasihat para jenderalnya yang mendesaknya untuk menghindari peperangan di musim panas Suriah yang ganas dan kering, tak dipedulikannya. Ia meneruskan ekspedisi militernya menuju Aleppo, dengan pasukannya yang keberatan baju zirah dan aneka pengaman tubuh dari besi.

Kedua pasukan itu akhirnya bentrok di Kota Azaz, kota di barat laut Aleppo, tempat Bizantium mendirikan perkemahan mereka.  Pasukan Arab Badui memiliki keuntungan bisa bergerak lebih gesit dengan perlengkapan mereka yang ringan, sementara tentara Bizantium selain tak bisa lincah bergerak karena keberatan pakaian perang, juga mengalami kepanasan akibat baju besi yang dibakar terik matahari.

Di kota ini Bizantium menderita karena kehausan dan kelaparan, karena serangan pasukan Aleppo terhadap logistik mereka. Pada 10 Agustus 1030, pasukan Bizantium mulai kalang kabut mundur ke Antiokhia, tetapi tak semudah perkiraan mereka.

Kekacauan akibat ketakutan di pihak Bizantium membuat pasukan Arab Badui Keemiran Aleppo makin ganas. Pasukan itu pun dihancurkan. Kaisar Romanos sendiri hanya bisa lolos berkat kegigihan dan pengorbanan sampai mati para pengawalnya. Sisa-sisa tentara kekaisaran Bizantium yang tersebar akhirnya bisa juga berkumpul di Antiokhia. Romanos kembali ke Konstantinopel, pulang dengan membawa kekalahan dan rasa malu.

Latar belakang

Sebenarnya Emirat Aleppo telah menjadi pengikut Bizantium sejak Perjanjian Safar 969. Tetapi pada tahun-tahun sebelum kematian Basil II (berkuasa 976-1025), para amirnya lebih takut kepada kekuasaan khalifah Fatimiyah Mesir. Pada saat dinasti Mirdasid (1025–1080) menguasai kota, pengaruh Bizantium atas Aleppo dan Suriah utara secara umum telah menurun drastis.

Setelah emir Mirdasid Salih ibn Mirdas dibunuh oleh Fatimiyah dalam Pertempuran al-Uqhuwanah di Palestina pada 1029, ia digantikan oleh putra mudanya, Nasr dan Thimal.

Katepano Antiokhia, Michael Spondyles, menggunakan pengalaman penerus Salih sebagai kesempatan untuk membangun protektorat atas kekuasaan Mirdasid. Selain itu, Spondyles terprovokasi oleh pembangunan benteng oleh keluarga-keluarga Muslim di pegunungan pesisir dan bentrokan bermotif agama antara Muslim dan Kristen di Maarrat al-Nu’man.

Tanpa memberi tahu Kaisar Romanos III Argyros, Spondyles mengirim pasukan Bizantium melawan Mirdasid, tetapi mereka dihancurkan oleh suku Banu Kilab di Qaybar pada Juli 1029.  Kilab, asal munculnya Dinasti Mirdasid, adalah suku Arab paling kuat di Suriah utara dan menjadi inti militer Kekhalifahan Mirdasid.

Ada berbagai catatan mengenai motivasi Romanos III untuk menyerang Mirdasid. Menurut penulis sejarah Arab abad pertengahan, Yahya dari Antiokhia (wafat 1066) dan Ibn al-Adim (wafat 1262), Romanos memutuskan untuk membalas kekalahan Spondyles.

Di sisi lain, sejarawan Bizantium John Skylitzes dan Michael Psellos, berpendapat bahwa ekspedisi militer itu dimotivasi oleh pencarian Romanos untuk nama dan harta.Menurut Psellos, kaisarnya sangat ingin meniru kaisar Romawi kuno seperti Trajan dan Augustus, atau bahkan Alexander Agung.

Sejarawan modern, Suhayl Zakkar menyarankan bahwa semua versi di atas harus diperlakukan dengan hati-hati. Ia sendiri cenderung melihat, Romanos kemungkinan besar bertindak untuk memastikan kemerdekaan Aleppo dari musuh utama Byzantium di Jazirah Arab saat itu, Dinasti Fatimiyah. [ ]

Back to top button