POTPOURRI

“Pancakaki”, Silaturahmi Khas Urang Sunda yang Terlupakan

Hari Lebaran tahun 2007, saya kedatangan tamu dari desa lain. Kakak saya yang paling besar (cikal) memperkenalkannya dan melontarkan kata-kata, “Sok, pancakaki heula maneh teh (Silakan berkenalan dulu kamu ini)”. Ternyata, setelah mengobrol panjang lebar, tamu itu adalah keponakan (alo) dari ayah saya, yang telah sekian lama tidak bersilaturahim. Sejak kecil, baru sekarang ia ber-pancakaki dengan keluarga saya karena kebetulan bertemu dengan kakak saya di Jakarta. Ternyata tamu itu satu garis keturunan dengan saya.

Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan pancakaki. Dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993), pancakaki diartikan dengan dua pengertian. Pertama, pancakaki menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh).

Kita pasti mengenal istilah kekerabatan, seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, euceu, anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, dan nini ti gigir. Istilah tersebut merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu, seperti bibi, emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, dan aki ti gigir.

Kedua, pancakaki juga bisa diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita mengunjungi suatu daerah, pihak yang dikunjungi akan membuka percakapan, “Ujang teh ti mana jeung putra saha (Adik itu dari mana dan anak siapa)?” Ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul keturunan tamu sehingga sohibulbet atau pribumi akan lebih akrab atau wanoh dengan semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi dan berkomunikasi.

Maka, pancakaki pada pengertian ini adalah proses pengorekan informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan dirinya ada ikatan persaudaraan. Maka, ada peribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan Anda, mungkin kalau ber-pancakaki, ternyata dulur. Minimal sadulur jauh.

Asal-usul keturunan

Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005), urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Ini berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarkal dan patriarkal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu dan garis keturunan bapak.

Pancakaki dalam bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan silsilah, yakni kata yang digunakan untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Akan tetapi, ada perbedaannya. Menurut Ajip Rosidi (1996), pancakaki memiliki pengertian hubungan seseorang dengan seseorang yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan. Namun, menjadi adat istiadat dan kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, itu juga merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda.

Mengapa? Sebab, pancakaki sebagai produk kebudayaan Sunda diproduksi karuhun Ki Sunda untuk menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas, salah satunya ajen-inajen berbahasa. Tidak mungkin, jika kita tahu si A atau si B memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, dan lebih tua, kita mencla-mencle berbicara tak sopan. Jadi, dengan ber-pancakaki sebetulnya kita (urang Sunda) tengah membina silaturahim dengan setiap orang.

Komponen kebudayaan

Kuntowijoyo dalam buku berjudul Budaya dan Masyarakat (2006:6), menulis bahwa dalam budaya kita akan ditemukan adanya tiga komponen pokok, yaitu lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya (norma-norma). Lembaga budaya menanyakan siapa penghasil produk budaya, pengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan. Isi (substansi) budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol-simbol apa saja yang diusahakan. Adapun efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan.

Maka, anomali budaya (kebudayaan disfungsional) akan terjadi jika simbol dan normanya tidak lagi diejawantahkan masyarakat. Akibatnya, muncul kontradiksi sehingga memicu lahirnya kelumpuhan dasar-dasar relasi secara sosiologis. Ini akan terjadi juga dalam ruang lingkup relasi sosial kemasyarakatan urang Sunda jika pancakaki sebagai isi kebudayaan lokal tidak mendapatkan porsi pengamalan dan pelestarian. Efek kebudayaan pun tidak akan dirasakan, seperti menggejalanya keterputusan komunikasi dan relasi antar-dulur (kerabat) yang satu dengan yang lain.

Ketika tidak memiliki efek budaya, hal itu akan memicu lahirnya anomali akibat minimnya keinginan kita untuk mengaktifkan simbol kebudayaan, salah satunya pancakaki, dalam hidup keseharian. Tradisi silaturahim atau silaturahim khas Sunda (baca: pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.

Namun, bagi urang Sunda kiwari, ber-pancakaki tidak hanya dilakukan untuk menelusuri garis keturunan, tetapi juga menelusuri dari mana asal diri kita. Karena itu, seorang pengusaha dan pejabat, umpamanya, sadar bahwa sebetulnya mereka berasal dari rakyat.

Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-kanan, jangan-jangan ada keluarga dekat atau jauh, bahkan rakyat miskin yang tak bisa makan. Sebab, dalam ajaran agama, semua manusia bersaudara. Semua berasal dari Nabi Adam as. Jadi, dulur sadayana oge manusa mah!

NB: Artikel pernah terbit di HU Kompas Biro Jawa Barat, Sabtu, 1 November 2008.

Back to top button