POTPOURRI

Pandemik di Athena Gambaran Covid-19 di Abad Milenial

… malapetaka itu sangat luar biasa sehingga manusia yang tidak tahu apa yang akan terjadi, menjadi acuh tak acuh terhadap setiap aturan agama dan hukum. (Thucydides)

Jakarta – Bagi generasi milenial, pandemi  covid-19  adalah  kenyataan dan pengalaman  baru  yang mengajarkan banyak hal yang sangat berharga. Dan bagi orang yang berpikir,  akan banyak hikmah dibalik wabah. Covid-19 telah memperlihatkan betapa rapuhnya eksistensi manusia menghadapi penyakit mematikan.  Epidemi dan pandemik cenderung bermuara pada kata panik. Ritual kematian  yang biasanya sakral dan sarat tata cara, akhirnya menjadi perpisahan yang  tragis, bahkan terasa  lebih menyedihkan.

Covid-19 adalah wacana harian umat manusia abad ini. Namun Covid-19 bukanlah pandemik baru. Kilasan sejarah yang terjadi sebelum masehi telah menunjukan adanya wabah penyakit  yang telah merenggut nyawa manusia.  Dalam jarak waktu kenangan, kisah wabah penyakit ratusan atau ribuan tahun lalu hanya romantika kengerian dan kesedihan, namun dalam kenyataan saat ini,  pandemi covid-19  menjadi hantu yang menebar maut setiap detik. Begitu dekat, cepat dan senyap.

Wabah sebagai bencana kemanusiaan tidak cukup dihadapi dengan iman yang kuat dan hanya  pasrah pada kehendak Yang  Maha Kuasa, namun harus disertai akal sehat sebagai jihad ikhtiar bagi umat manusia dalam meneruskan hak nya untuk melanjutkan hidup. Covid-19  selalu mengingatkan setiap hari  tentang  makna tarekah dan ikhtiar sebagai  semangat perlawanan diatas sikap pasrah sumerah .

Salah satu pelajaran berharga dari sejarah adalah wabah yang terjadi di Athena, tempat bermulanya istilah pandemi dan epidemi.  Istilah itu menunjukan fakta bahwa orang-orang Yunani  sudah mengenal dekat  wabah penyakit,  baik dalam pengertian medis maupun metafora prilaku manusia akibat wabah.

Sebuah karya sastra berjudul Homer’s Iliad,  ditulis sekitar 700 SM oleh penyair buta Homeros menuliskan adanya wabah yang menyerang pasukan Yunani di Troy karena seorang pangeran bernama Agamemnon telah menghina pendeta bernama Apollo Chryses

Apollo adalah seorang dewa penyakit dan obat-obatan.  Dengan kekuatannya Apollo  membalasnya Dengan meluncurkan panah yang membawa wabah .  Apollo menyerang pasukan Yunani sehingga menimbulkan banyak kematian. Untuk mencegah wabah itu mayat-mayat dibakar dimana-mana.  Karya itu juga seolah meramalkan peritiwa dua abad kemudian.

Satu karya klasik lainnya yang sohor adalah buku  dan History of the Peloponnesian War karya Thucydides yang ditulis sekitar 429 SM.  Isi dari History of the Peloponnesian  menceritakan  perang Peloponnesia  yang terjadi  tahun 431 dan 404 SM antara Athena melawan serbuan Sparta yang dibantu  sekutunya.  Setahun setelah terbit buku itu terjadi wabah Athena di  tahun 430-426 SM.

Untuk menghadapi kekuatan Sparta dan sekutunya  dengan angkatan  daratnya  yang hampir tidak terkalahkan, Pada pada 431 SM Pericles mengeluarkan kebijakan retret yaitu mundur kedalam benteng kota Athena. akibatnya terjadi migrasi besar-besaran dari desa Attic ke dalam kota yang sudah padat.  Karena kelebihan populasi dan kurang sumber daya menyebabkan kebersihan memburuk.

Baca juga : The Black Death : Teror Kematian di Abad 14 yang Menghapus 60 persen Warga Eropa

Maka menjangkitlah wabah penyakit sampar atau tulah yang mengakibatkan banyak nyawa melayang.  Buku History of the Peloponnesian War menggambarkan wabah maut  itu datang dari Ethiopia,  melewati Mesir ,  Libya, Yunani dan menyebar ke seluruh Mediterania.  Kota Athena dijalari wabah melalui  pelabuhan Piraeus. Para dokter tidak tidak berdaya dan menjadi yang paling cepat meninggal karena paling banyak berhubungan dengan orang sakit. Di Athena yang penuh sesak, penyakit ini menewaskan sekitar 25% populasi.

Thucydides menuliskan  gejala-gejala penderita wabah sampar  seperti perasaan terbakar, sakit perut dan muntah. Timbul  keinginan untuk telanjang bulat serta menderita insomnia dan kegelisahan. Setelah tujuh atau delapan hari,  sampar turun ke usus, alat kelamin, jari tangan dan kaki dan menyebabkan kebutaan.

Agar tidak menyebar, mayat-mayat yang  akibat wabah dibakar setiap saat. Banyak pelaut infanteri dan ahli Athena meninggal. Dan banyak orang meninggal sendirian karena tidak ada yang mau mengambil risiko merawat mereka. Orang mati ditumpuk satu sama lain, dibiarkan membusuk, atau didorong ke kuburan massal. Kadang-kadang mereka yang membawa orang mati membuang mayat baru di atas tumpukan kayu bakar yang sedang membakar mayat.  

Mereka yang  beruntung  selamat dari wabah  dapat mengembangkan kekebalan tubuhnya  dan menjadi perawat  utama bagi mereka yang  jatuh sakit. Sikap demikian menunjukan kesadaran simpati yang besar dari orang yang sembuh. Dampak wabah saat itu  hampir melampaui kapasitas sifat manusia untuk bertahan. Pemandangan mengerikan itu menyebabkan Spartan menarik pasukan mereka karena tidak mau mengambil risiko kontak dengan musuh yang sakit.

Yang paling mengerikan adalah rasa putus asa ketika menyadari mereka telah tertular  dan akhirnya  menyerah. Akibatnya,  tatanan kehidupan manjadi kacau. Hukum dan agama tidak dipatuhi lagi oleh masyarakat Athena. Mereka telah pasrah untuk mati sehingga tidak memerlukan hukum dan  iman agama. Orang-orang merasa ditinggalkan oleh para dewa dan tampaknya tidak ada manfaatnya untuk menyembah mereka.

Orang-orang Athena menunjuk wabah itu sebagai bukti bahwa para dewa menyukai Sparta, dan ini didukung oleh ramalan bahwa Apollo sendiri  yang akan berperang untuk Sparta jika mereka berjuang dengan sekuat tenaga seperti yang terjadi ditahun 700 SM.

 Wabah pertama berlangsung selama dua tahun, dan wabah kedua terjadi lagi pada 429 SM dan saat musim dingin tahun  427/426SM  dengan korban nyawa lebih besar.  Saat itu Sekitar 30 jenis mikroorganisme parasit tersebar. Thucydides  menuliskan jumlah orang yang meninggal  sebanyak 4.400 hoplite (tentara-tentara) dan  300 kavaleri. Totalnya sekitar 75.000 hingga 100.000 orang meninggal.  

Back to top button