POTPOURRI

Pembantu Asal Nusa Tenggara Timur Hadapi “Perbudakan Zaman Modern”

Otopsi menunjukkan kekurangan gizi akut dan luka terinfeksi yang tidak diobati, bersama dengan luka bakar akibat cairan asam dan bekas gigitan anjing. Sementara majikannya yang berusia 59 tahun didakwa melakukan pembunuhan, kasus tersebut dibatalkan pada 2019 karena kurangnya bukti.

JERNIH–Kira-kira pukul 03.00 ketika Antonious Remigius Abi, guru besar etika Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas di Medan, Sumatera Utara, terbangun karena ketukan yang terdengar panik di pintu depan rumahnya. Ketika dia membukanya, dia menemukan enam wanita muda membawa apa yang tampak seperti semua harta mereka.

“Mereka memohon bantuan, berkata “Tolong lindungi kami. Jangan bilang kami ada di sini”,”kata Abi, yang segera tahu dari aksen mereka bahwa para perempuan itu berasal dari provinsi asalnya, Nusa Tenggara Timur (NTT)– salah satu provinsi termiskin di Indonesia. “Mereka jelas sangat ketakutan.”

Meski kedatangan mereka pada malam hampir dua tahun lalu itu sangat dramatis, itu tidak terlalu mengejutkan. Dosen bersuara lembut itu mulai dikenal di Medan beberapa tahun terakhir sebagai sumber utama dukungan bagi pekerja migran dari NTT yang melarikan diri dari pelecehan para majikannya dan ingin pulang.

Salah satu pesan WA dari pembantu rumah tangga yang teraniaya

NTT adalah salah satu tempat utama perekrutan pekerja migran dari Indonesia. Pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai profesi yang menguntungkan bagi banyak perempuan muda dari provinsi tersebut, sebagian karena kemiskinan yang meluas dan kurangnya pilihan lain. Pada September 2019, NTT memiliki angka kemiskinan 20,62 dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 9,22, menurut Badan Pusat Statistik.

Jumlah pasti TKI asal NTT sulit untuk dicari, karena banyak dari mereka yang direkrut secara ilegal atau menggunakan dokumen palsu. Namun Badan Penempatan, Perlindungan dan Pengawasan Pekerja Migran Indonesia (BP3TKI) di provinsi tersebut mengatakan 119 TKI asal NTT telah meninggal dunia di tahun 2019 saja.

Pada tahun 2018, kematian Adelina Sau, seorang pembantu rumah tangga dari provinsi tersebut, memicu skandal di Malaysia. Otopsi menunjukkan kekurangan gizi akut dan luka terinfeksi yang tidak diobati, bersama dengan luka bakar akibat cairan asam dan bekas gigitan anjing. Sementara majikannya yang berusia 59 tahun didakwa melakukan pembunuhan, kasus tersebut dibatalkan pada 2019 karena kurangnya bukti.

Diperkirakan 2,7 juta pekerja migran Indonesia berada di Malaysia, menurut statistik pemerintah, meskipun hanya sekitar sepertiganya yang terdokumentasi. Tuduhan pelecehan telah memicu konflik diplomatik antarnegara, dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia pada November lalu menyerukan pihak berwenang Malaysia untuk lebih memantau majikan dan menjamin perlindungan pekerja migran. Itu terjadi setelah muncul berita bahwa seorang pembantu rumah tangga Indonesia telah dipukuli, dipotong, disiram air panas dan tidak diberi makan.

Abi dari Universitas Katolik Santo Thomas terlibat dalam membantu TKI yang kembali ke NTT beberapa tahun lalu. Seorang tenaga kerja di Medan berhasil menghubungi keluarga dosen di Kefamenanu itu, yang kemudian menelepon dan meminta bantuan. Sejak itu ia dikenal sebagai orang yang tepat untuk para pekerja migran yang teraniaya, dan sering mengunjungi rumah mereka untuk melakukan advokasi atas nama mereka.

“Saya bilang saya dosen fakultas hukum,” kata Abi sambil tertawa. “Saya tidak memberi tahu mereka bahwa saya mengajar etika.”

Dia menjelaskan, para pekerja itu biasanya dibawa dengan perahu dari Kupang ke Makassar, Sulawesi Selatan, tempat telepon genggam mereka disita. Mereka kemudian dibawa ke Jakarta dan ke Medan. Mereka diberitahu bahwa mereka akan menerima pelatihan sebelum terbang ke Malaysia. Seringkali, mereka hanya dikirim untuk bekerja pada keluarga setempat.

“Setiap tahun ada dua atau tiga kasus baru, biasanya melibatkan lebih dari satu PRT. Beberapa di bawah umur, mungkin berusia 14 hingga 16 tahun. Dokumen mereka dipalsukan agar tampak lebih tua,”kata Abi. “Dalam semua kasus ini kami menemukan satu atau kombinasi dari beberapa hal. Pembantu rumah tangga terbebani dengan pekerjaan dan tidak dapat mengatasinya, ada pelecehan psikologis, atau ada kekerasan fisik yang sebenarnya.”

Namun penuntutan tetap jadi barang langka. Jika ditangkap, perekrut lokal di NTT sering mengklaim mereka mengira mereka merekrut untuk agen tenaga kerja terkemuka. Agen tenaga kerja pada gilirannya mengatakan, mereka merekrut para perempuan itu dengan itikad baik, dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan pemberi kerja. Sementara majikan juga menyangkal telah terjadi pelecehan, atau mengatakan bahwa mereka telah membayar gaji pekerjanya ke agen tenaga kerja.

Dalam lingkaran setan persoalan saling menyalahkan yang tak ada habisnya itu, para pekerja migran hanya memiliki sedikit pilihan, yakni menelepon seseorang seperti Abi. Mereka berharap untuk merundingkan semacam penyelesaian yang akan memungkinkan mereka pulang ke rumah.

Dr Maidin Gultom, dekan fakultas hukum di Universitas Katolik Santo Thomas, mengatakan salah tafsir undang-undang tidak membantu situasi. “Ini murni dan sederhana perdagangan manusia, dan para pekerja tidak perlu dibawa ke luar negeri untuk itu,” katanya, seraya menambahkan bahwa hal itu jarang dilihat oleh otoritas lokal jika pembantu rumah tangga itu dipekerjakan di bagian lain Indonesia.

“Ini adalah eksploitasi, dan omong kosong dari agen tenaga kerja yang mengklaim bahwa mereka tidak dapat melindungi pekerja yang mereka rekrut sendiri. Tapi jarang ada jalur hukum yang tersedia untuk para perempuan ini karena mereka dianggap tidak penting meskipun mereka adalah korban.”

“Akar masalah di NTT adalah lingkaran setan kemiskinan di desa-desa, tempat banyak anak putus sekolah dan tidak bekerja,”kata Damai Pakpahan, direktur LSM Protection International Indonesia. “Masalah lainnya adalah bahwa pemerintah tidak mempersiapkan pekerja rumah tangga dalam hal hak dan pemantauannya.”

RUU yang akan meningkatkan hak-hak pekerja, yang dikenal sebagai RUU Pembantu Rumah Tangga, telah terhenti di parlemen Indonesia selama hampir 15 tahun.

Menakutkan

Saat ini Abi sedang membantu seorang PRT muda asal NTT, Agnes–namanya diganti untuk melindungi identitasnya–yang hampir setiap hari berhubungan dengannya. Dia menunjukkan “This Week in Asia” pesan-pesan di mana dia mengatakan dirinya bekerja dari jam 5 pagi sampai jam 9 malam setiap hari.

Antonious Remigius Abi di kapel di Universitas Katolik Santo Thomas. Foto: Aisyah Llewellyn

“Dia juga mengatakan kepada saya bahwa majikannya sering menganiaya dia secara lisan, menyebut dia bodoh dan tidak berpendidikan karena dia dari NTT,”kata Abi.

Dia mengatakan dia hanya muncul di rumah setelah mencari informasi di lingkungan sekitar. “Dalam semua kasus yang pernah saya tangani, informasi yang diberikan oleh PRT kepada saya selalu benar. Tetapi saya tidak bisa begitu saja masuk ke persoalan tanpa melakukan uji tuntas terlebih dahulu,”katanya, seraya menambahkan bahwa majikan biasanya selalu terguncang oleh kedatangannya.

“Pekerja mereka adalah anak-anak yang tidak berpendidikan dari NTT, jadi mereka menganggap semua orang di sana seperti itu. Melihat seseorang dari NTT yang berpendidikan dan bekerja di perguruan tinggi, itu membuat mereka takut. Saya menggunakan strategi untuk mendobrak stereotip untuk keuntungan saya, membuat mereka mendengarkan saya.”

Jika mereka menolak untuk mengizinkan PRT kembali ke rumah, atau mencoba untuk menahan upah, Abi melaporkan kasus tersebut ke pihak berwenang setempat di NTT dan polisi di Medan, meskipun melalui jalur hukum dapat menjadi tantangan dengan bukti yang seringkali terbatas.

Ranto Sibarani, pengacara HAM terkemuka di Medan, telah menangani sejumlah kasus serupa. “Pelecehan berkembang dari awal. Pekerja migran tidak memiliki posisi tawar setelah mereka pergi dengan perekrut dan mereka menjadi korban bahkan sebelum mereka mulai bekerja. Akar kekerasan berasal dari kurangnya pilihan dan ketidakmampuan mereka mencari pekerjaan di NTT,”ujarnya.

“Untuk mengurangi pelecehan, pemerintah perlu menerapkan peraturan yang lebih tegas untuk menghukum orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan kita perlu mendengar lebih banyak di media tentang mereka yang telah dihukum, serta cerita dari para pekerja itu sendiri,” kata Ranto.

Abi saat ini mencoba menggalang dana untuk program pelatihan akar rumput di NTT yang memungkinkan mantan pekerja migran melakukan perjalanan ke desa terpencil, berbagi pengalaman dan memperingatkan orang lain agar tidak percaya janji kosong yang dibuat perekrut.

Dia mengatakan akan terus menangani kasus-kasus seperti yang dialami Agnes karena rasa tanggung jawab keluarga terhadap pekerja migran dari provinsi yang merasa sendirian dan terisolasi. Dalam kasus remaja putri yang sampai ke rumahnya pada dini hari, masyarakat NTT di Medan mengumpulkan sumber daya mereka untuk membeli tiket guna membantu mereka pulang.

“Rasa persaudaraan antarmasyarakat NTT begitu kuat,” kata Abi. “Jika kamu terluka, maka aku terluka. Itu disebut empati. Beberapa orang di dunia ini tampaknya kurang punya hal itu, yang membuat banyak dari pekerja ini benar-benar menderita,” kata dia.

“Ini benar-benar perbudakan zaman modern.” [South China Morning Post]

Back to top button