Pemberontakan Orang Korea di Ambarawa 1944
Apa yang kita ketahui tentang tentara Jepang di Indonesia? Apakah seluruhnya orang Jepang?
Tidak. Tidak seluruh tentara Jepang yang bertugas di Indonesia adalah orang Jepang. Ada orang Korea dan suku asli Taiwan.
Keterlibatan orang Korea dalam pasukan Jepang bisa dipahami. Semenanjung Korea dijajah Jepang lebih dulu, setidaknya 25 tahun sebelum Jepang mengivasi negara-negara lain di Asia.
Taiwan berikutnya. Di sini, Jepang membentuk Takasago Giyutai, atau relawan yang bekerja untuk tentara Dai Nippon. Mereka terdiri dari suku asli Taiwan, dan dikenal sangat setia.
Jumlah orang Korea yang menjadi bagian pasukan Jepang mencapai 200 ribu, dan tersebar di berbagai negara di Asia. Orang Taiwan yang menjadi Takasago Giyutai hanya ribuan.
Tidak diketahui berapa jumlah orang Korea yang menjadi di Indonesia antara 1942-1945. Yang pasti, pada September 1942 sebuah kapal perang Jepang berlayar dari Busan, kota pelabuhan di Korea Selatan, ke Tanjung Priok membawa 1.400 orang Korea.
Mereka ditempatkan di kamp-kamp tahanan perang dan kamp tahanan sipil di Batavia, Bandung, Cilacap, Ambarawa, Surabaya, Djember dan Malang. Di Filipina, tentara Korea juga ditugaskan sebagai phorokamsiwon, atau penjaga kamp.
Korea dan Giyutai, sebagai simbol kesetiaan atau penghapusan identitas kebangsaan, menggunakan nama-nama Jepang. Sampai saat ini, suku-suku asli di Taiwan memiliki tiga nama; nama lahir, nama Jepang, dan nama Cina. Orang Korea, setelah perang berakhir, kembali menggunakan nama Korea dan melupakan nama Jepang yang pernah disandang.
Menurut penghuni kamp, seperti dituturkan banyak tahanan dalam buku harian dan dikutip Java Post, punya beragam penilaian soal orang Korea. Sebagian mengatakan orang Korea sama kasar dengan Jepang. Lainnya menulis jika ada serdadu Jepang yang baik ya orang Korea.
Jika ada orang Korea yang kasar, itu semata disebabkan mereka tidak ingin ambil risiko terkena hukuman hanya karena bersikap baik kepada tahanan. Jadi, ya terpaksa harus kasar.
Memberontak
Tahun 1944, ketika Jepang mulai menelan kekalahan di banyak medan tempur, 120 dari 200 phorokamsiwon yang menjaga kamp Ambarawa mendirikan Hangukdokripkinyeomgwan, atau Pemuda Pejuang Kemerdekaan Korea. Tentu saja gerakan mereka sangat rahasia.
Pada 4 Januari 1945, muncul instruksi dari komandan pasukan Jepang di Batavia untuk memindahkan orang Korea dari Kamp Ambarawa ke Singapura. Sun Yang Sup, Min Yeing Hak, dan No Byung Han, tiga dari 120 Hangukdokripkinyeomgwan menolak dipindah
Jepang menjatuhkan hukuman kepada ketiganya. Orang Korea lain, yang masuk organisasi pejuang kemerdekaan, terlibat. Mereka menyerang tentara Jepang di Kamp Ambarawa.
Heiho Indonesia juga terlibat dalam insiden berdarah ini, tapi orang Korea tahu cara mengatasinya. Sebanyak 12 tentara Jepang terbunuh, dan hanya dua anggota Heiho Indonesia terluka.
Jepang menyudahi perlawanan orang Korea di Kamp Ambarawa dengan keras. Sebanyak 12 anggota Hangukdokripkinyeomgwan ditangkap. Mereka dihukum tembak, lainnya bunuh diri.
Insiden berdarah ini mengubah pandangan orang Jepang terhadap Korea di dalam pasukan mereka. Tidak hanya itu, insiden ini mengganggu strategi Jepang di Pulau Jawa.
Mengenai dua korban luka di pihak Heiho Indonesia, Jepang mulai curiga adanya hubungan baik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan Korea. Bagaimana mungkin orang Korea tidak membunuh orang Indonesia yang terlibat dalam insiden itu.
Sebulan setelah insiden di Kamp Ambarawa, Supriyadi memimpin prajurit PETA memberontak terhadap Jepang di Blitar.
Setelah Jepang menyerah, dan sekutu tiba di Indonesia, banyak orang Korea melarikan diri dari kesatuan Tentara Jepang dan berbaur dengan pribumi. Mereka mengenakan pakaian orang desa-desa di Jawa dan berganti nama.
Jumlah mereka mencapai ratusan, dan membuat sekutu harus masuk ke banyak desa di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera.
Di Serpong, Takasago Giyutai — penduduk lokal menyebutnya Pasukan Santu — terlalu setia kepada Jepang. Mereka juga khawatir terhadap balas dendam penduduk lokal. Mereka menjadi reaktif saat penyerahan senjata ke tangan serdadu Indonesia, yang menyebabkan terbunuhnya Mayor Daan Mogot.