POTPOURRI

Perang Armenia 653 Masehi: Aliansi Kristen dan Arab Muslim Menghadapi Serangan Bizantium

Kaisar Konstans pun memberikan jawaban: “Tanah itu adalah milikku, dan aku akan datang mengambilnya. Jika engkau datang melawanku, Tuhanlah yang akan menjadi hakim siapa di antara kita yang paling lurus imannya.” Maka dia pun meneruskan perjalanannya ke Karin.

Oleh  : Zaenal Muttaqin

Syahdan, pada tahun kedua puluh kekuasaan Syahansyah Yazdegerd di Persia, di tahun kesebelas dari kekuasaan Kaisar Konstans, di tahun kesembilan belas kekuasaan Kekhalifahan Bani Ismail [dihitung dari era Khulafaur-Rasyidin] (651/652 masehi), pasukan Arab yang sudah merebut wilayah Pars dan Khuzistan, terus bergerak cepat menembus Pahlav, Parthia, guna mengejar Yazdegerd, penguasa Persia yang melarikan diri.

Yazdegerd berusaha menghindar, tetapi pasukan Arab berhasil mengurungnya di perbatasan Kushan dan menghabisi sisa-sisa pengawalnya. Yazdegerd tertolong sesaat dengan datangnya pasukan Tetalats yang dipimpin Marats (Medes) dan memberinya perlindungan. Tetapi pangeran Marats, setelah menemui rajanya, tiba-tiba berbalik dengan membawa serta seluruh pasukan dan membuka diri untuk beraliansi dengan Bani Ismail. Lalu pasukan Tetalats mengepung Yazdegerd dan membunuhnya; mengakhiri dinasti Sassanid di Persia yang sudah berkuasa selama 426 tahun.

Saat Khalifah Bani Ismail (Utsman bin Affan) mendengar kabar kemenangan ini dan keberhasilannya menaklukan Persia, kepercayaan dirinya tumbuh. Gencatan senjata dengan Bizantium yang sudah berlangsung selama tiga tahun akhirnya berakhir. Khalifah Bani Ismail pun memerintahkan perang atas Bizantium, baik di daratan maupun di lautan, untuk memperluas kerajaannya. Hal ini terjadi pada tahun kedua belas dari kekuasaan Kaisar Konstans (652/653 masehi).

Pada tahun yang sama, bangsa Armenia melakukan pemberontakan guna memisahkan diri dari Bizantium, dan berpaling membentuk aliansi dengan Bani Ismail. Nakharar Theodoros, dari Dinasti Rshtunik, beserta seluruh pangeran dari wilayah Armenia, melakukan sumpah hingga mati dan kesetiaan mutlak kepada Bani Ismail, meski hal itu berarti mencederai hubungan antara Armenia dan Bizantium yang sudah berlangsung lama.

Pangeran Bani Ismail (Khalifah Utsman bin Affan di Madinah atau Gubernur Muawiyah di Damaskus) menerima janji setia mereka: “Maka jadilah! Aku terima sumpahmu, dan akan pun berjanji untuk menjaga perdamaian antara diriku dan dirimu selama engkau kehendaki: Selama tiga tahun, aku tidak akan menetapkan besarnya upeti yang harus engkau berikan hingga engkau dapat membayarnya sesuai kehendakmu. Engkau juga dapat terus memegang 15.000 kavaleri di negerimu. Jika engkau menjual barang keluar wilayahmu, maka aku akan mengambil pajak kerajaan. Aku tidak akan meminta pasukan Armenia untuk menetap di Syam, akan tetapi bersiaplah untuk pergi ke medan perang kapan pun aku perintahkan. Aku tidak akan pernah mengirim gubernur untuk memimpin benteng kotamu, tidak pula seorang pegawai ataupun prajurit. Semoga Armenia terbebas dari gangguan musuh, akan tetapi jika Bizantium menyerangmu maka aku akan mengirimkan pasukan sebesar yang engkau minta. Adalah aku, dengan bersumpah di hadapan Allah yang Maha Agung, tidak akan melanggar perjanjian ini.”

Demikianlah kaum pembangkang Yesus ini membebaskan Armenia dari Romawi. Sekali pun kaisar Bizantium berulang kali mengirimkan surat keberatan dan petisi ke Armenia, dan meminta mereka datang ke hadapannya, namun tidak seorang pun mempedulikannya. Lalu sang Kaisar berkata: “Aku akan datang ke kota Karin, dan meminta kalian datang menemuiku di sana. Bahwasanya aku akan memberikan apa pun yang kalian minta, dan aku akan mendengar apa yang dapat kita lakukan bersama.” Sekalipun demikian orang-orang Armenia tetap tidak mempedulikannya.

Hingga pada suatu hari, para prajurit Bizantium datang mengadu kepada Kaisar Konstans ihwal kekalahan yang menimpa mereka di Mardot akibat serangan Rshtunik dan pasukannya. Mereka berkata: “Orang-orang Armenia sudah menjadi sekutu Bani Ismail. Mereka memancing kami dan mendorong pasukan kami untuk mengejar mereka hingga Atrpatakan. Lalu, tiba-tiba pasukan Bani Ismail datang menyergap dan mengalahkan kami. Kami terpaksa lari dengan meninggalkan semua perbekalan di sana. Sekarang kita harus kembali ke Armenia dan mengambil semua yang telah kita tinggalkan.”

Peta ekspedisi Mesopotamia

Kaisar Konstans menyetujui permintaan pasukannya. Dia membawa 100.000 prajurit dan berangkat ke Armenia. Sesaat menjelang kota Karin, begitu mereka sudah sampai di Derzene (Turki: Tercan; Greek: Derxene), utusan Bani Ismail datang kepadanya dengan membawa surat dari rajanya, yang isinya: “Armenia adalah milikku, maka menjauhlah! Tetapi jika engkau memaksa menjejakan kaki di sana, aku akan menghadangmu sedemikian rupa hingga engkau tidak akan bisa lolos dari sana.”

Kaisar Konstans pun memberikan jawaban: “Tanah itu adalah milikku, dan aku akan datang mengambilnya. Jika engkau datang melawanku, Tuhanlah yang akan menjadi hakim siapa di antara kita yang paling lurus imannya.” Maka dia pun meneruskan perjalanannya ke Karin. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedua belas kekuasaan Kaisar Konstans II atau tahun kedua puluh Kekhalifah Bani Ismail (652/653 masehi).

Kaisar Konstans tiba di kota Karin[1] dan menetap beberapa hari di sana. Pada waktu itu para pangeran dan jendral dari—yang biasa disebut—distrik keempat Armenia datang menemuinya, juga pasukan dan pembesar dari wilayah-wilayah yang sudah memisahkan diri dari Rshtunik. Di antaranya adalah pangeran Speratsik, Bagratid, Managhayk, dan Daranaghayk, yang semua berasal dari wilayah Yekeghyats, yang mana mereka datang dengan membawa pasukan masing-masing; juga hadir pangeran Karnatsik, Tayetsik, dan Basenatsik. Selain itu, kaisar juga ditemui oleh pangeran Vanand dan pasukannya, pangeran Shirakatsik dan Khorkhoruni, bangsawan dari Dimaksian, Mushegh Mamikonian dan pengikutnya, beberapa bangsawan lainnya, beberapa pasukan dari Ayrarat, serta pangeran Aravyeghyank, Arenyank, Varazhnunik, Gntunik, Spandunik, dan lainnya. Juga Kat’oghikos [2] Nerses yang datang dari Tayk hanya untuk menemui sang Kaisar.

Para pangeran itu mengadukan Theodoros Rshtunik kepada sang Kaisar, bagaimana dia merencanakan pembangkangan terhadap Bizantium dan hubungan dekatnya dengan orang-orang Bani Ismail. Kaisar dan para pendukungnya mengutuk sikap Theodoros Rshtunik dan serta-merta mencabut kekuasaannya sebagai nakharar,[3] lalu dia mengangkat salah seorang pangeran sebagai penggantinya beserta empat puluh orang menteri untuk mendampinginya.

Ketika pasukan Konstans tiba di wilayah Rshtunik, sang Kaisar segera mengeluarkan perintah untuk menangkap dan menawan semua penduduknya, lalu sebagian dikirim ke benteng Baghesh (di kota Bitlis) dan sebagian lainnya ke sebuah pulau di tengah Danau Van. Kaisar Konstans sendiri memilih pulau Aghtamar sebagai pusat komando pertempuran, lalu dia mengultimatum kaum Iberia (Georgia), Aghbania (Kaukasia Albania), dan Syunik untuk pergi dan menyelamatkan diri ke tanah kelahiran masing-masing. Adapun para prajurit dari berbagai wilayah yang datang menyambut Konstans sejak dari kota Karin, atas perintah sang Kaisar, kembali ke wilayah mereka untuk mempertahankan daerah masing-masing.

Theodoros Rshtunik, dari trah tertua Vahevunik, mulai melakukan balasan dan menguasai Benteng Arpa di sebelah selatan Danau Sevan, yang berada dalam kekuasaan bangsawan Syunik—putranya, Grigor, adalah menantu Theodoros.[4] Adapun Varaz Nerseh Dashtkari membantu Theodoros mengamankan wilayah terbuka guna mencegat suplai logistik, mengingat semua perbendaharaan negeri itu, baik milik gereja-gereja, para pangeran, maupun para pedagang, pasti melalui tanah itu.

Ketika Kaisar Konstans mendengar hal ini, dia memerintahkan menawan semua prajurit Armenia hingga musim dingin tiba, dengan harapan akan menghancurkan negeri itu. Tetapi Kat’oghikos Mushegh dan beberapa pangeran memberanikan diri datang bersujud di hadapan sang Kaisar, dan dengan penuh rasa takut meminta pengampunan agar sang Kaisar tidak menghancurkan negeri mereka akibat kelalaian mereka. Kaisar pun meluluskan permintaan mereka dan membebaskan para tawanan.

Dia pun bergerak memimpin 20.000 pasukan untuk mengamankan kota Dvin, di wilayah Ayrarat, dan di sana dia tinggal di tempat peristirahatan Kat’oghikos Nerses. Lalu dia mengangkat Kat’oghikos Mushegh dari Mamikonian sebagai panglima kavaleri Armenia, dan mengirimnya bertempur di wilayah Sephakan Gund (Turuberan) dengan membawa 3.000 prajurit. Kaisar juga mengirimkan pasukannya ke Iberia, Aghbania, dan Syunik guna memutus aliansi mereka dengan Theodoros Rshtunik. Adapun sisa pasukan bertugas melaksanakan patroli di sekitar tempat peristirahatan sang Kaisar, di bukit-bukit dan di area terbuka. Meski awalnya resisten tetapi beberapa wilayah akhirnya mau tunduk kepada Bizantium. Namun orang-orang  Aghbania, Syunik, dan Sephakan Gund tetap bertahan dan tidak mau menyerah. Pasukan Bizantium pun menjarah wilayah-wilayah tersebut, mengambil apapun yang berharga untuk kemudian dibawa ke hadapan sang Kaisar.

Hingga akhirnya Kaisar Konstans harus pergi. Dia pulang ke Konstantinopel dengan sangat tergesa. Sebelum berangkat, dia mengangkat seseorang bernama Marianos (nama Latin) sebagai panglima perang Armenia dan memberinya pasukan yang tersisa di negeri itu. Saat rombongan kaisar berangkat meninggalkan Dvin, Kat’oghikos Nerses ikut pergi bersamanya. Sekalipun melewati Tyak, Nerses terus melanjutkan perjalanan ke Konstantinopel, karena khawatir dengan murka Theodoros Rshtunik dan para pangeran Armenia.

Theodoros, dari Dinasti Rshtuni, dan iparnya Hamazasp dari Mamikonian, kemudian mengepung pulau Aghtamar di tengah Danau Van. Dia juga meminta bala bantuan 7.000 pasukan dari Bani Ismail, yang kemudian dia tugaskan untuk berpatroli antara Aghiovit dan Bzunik di sebelah barat Danau Van. Setelah berhasil merebut pulau Aghtamar, Thedoros pun bergabung dengan pasukan Arab.

Ketika musim dingin telah lewat dan perayaan Easter sudah dekat, pasukan Bizantium semakin terdesak dan mundur hingga ke Tayk. Sekali lagi, mereka tidak dapat bertahan dan melarikan diri hingga ke Laut Hitam. Setiap kota yang mereka lewati, dihancurkan. Saat melewati kota Trebizond, mereka mendatangkan banyak kerusakan, juga mengambil berbagai harta rampasan serta membawa penduduk sebagai budak atau tawanan.

Setelah Bizantium berhasil dipukul mundur, Theodoros Rshtunik berangkat ke Damaskus untuk menemui Gubernur Muawiyah dengan membawa hadiah yang berlimpah. Sebagai balasan, gubernur Bani Ismail memberinya kain tenun dari benang emas dan perak serta sebuah jubah yang biasa dikenakan orang-orang Arab. Setelah Muawiyah menetapkan Theodoros sebagai penguasa Armenia, Iberia, Aghbania, dan Syunik, hingga ke Kapkoh dan Chora Pass; dia mengantarnya pulang dengan penuh kehormatan. Perang Konstans-Muawiyah terjadi sejak tahun kesebelas kekuasaan Konstans. Khalifah Bani Ismail telah memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk memperkuat Damaskus sebagai garis depan, dan melancarkan perang abadi terhadap Bizantium hingga Konstantinopel berhasil direbut.

Muslihat Pendeta Nerses III

Saya harus menyinggung sedikit tentang Kat’oghikos Nerses III, yang pergi ke Konstantinopel bersama Kaisar Konstans.

Nerses berasal dari Desa Ishkhan di Tayk. Sejak kecil dia dibesarkan di tanah Bizantium, menguasai bahasa Latin, dan sudah mengunjungi hampir semua tempat negeri itu dalam tugas militer. Dia mengimani Konsili Kalsedon dan dekrit Tomus Leo,[5] namun dia tidak menunjukkan kesesatan dirinya kepada siapapun hingga dia menduduki jabatan episkopal di negerinya. Belum lama ini dia diangkat sebagai kat’oghikos. Dia nampak saleh, rajin berpuasa dan beribadat. Namun, hatinya dipenuhi racun mematikan: dia berencana membuat seluruh Armenia menerima Konsili Kalsedon, namun menahan diri melakukannya hingga kaisar Konstans datang dan menetap di peristirahatan kat’oghikos selama beberapa lama, saat bertahan di kota Dvin.

Maka pada misa di Minggu itu dia mengkhutbahkan ajaran Konsili Kalsedon di Katedral Santo Gregory. Sakramen dibawakan dalam bahasa Latin oleh Imam Kerajaan Bizantium; di mana Kaisar Konstans, Kat’oghikos Nerses, para uskup, dan semua pengunjung menjalani upacara komune, baik sukarela maupun terpaksa. Jelas bahwa Kat’oghikos Nerses sudah merusak iman sejati yang dibawa Santo Gregory, dan mengotori Gereja Suci yang telah dijaga oleh semua kat’oghikossejak era Santo Gregory hingga hari ini.[6] Nerses telah mengotori kesucian iman, air jernih yang mengalir dari Cawan Suci, dengan rencana yang sudah dia persiapkan sejak lama. Ketika kesempatan itu datang, dia menjalankan rencananya, mengintimidasi para uskup satu persatu dan menteror mereka. Nerses menekan para uskup untuk mengikuti sakramen komune di bawah ancaman hukuman mati; dan hal itu dia buktikan dengan membunuh seorang uskup paling tua dan dihormati.

Namun ada seorang uskup yang diam-diam menolak melakukan komune di hadapan Kaisar Konstans. Sebelumnya, sebagaimana dilakukan semua uskup Armenia, dia menandatangani dokumen yang mencela Konsili Kalsedon dan dekrit Tomus Leo serta menolak Komune Bizantium.[7] Dokumen ini distempel dengan cincin kat’oghikosdan para uskup, serta semua pangeran tertinggi; untuk kemudian dipegang oleh kat’oghikos untuk disimpan di Gereja Apostolik Armenia. Sekarang, ketika semua orang mengikuti misa dan semua uskup menerima Komune Bizantium, uskup yang saya ceritakan tadi tidak mengikuti sakramen komune. Nampaknya dia mundur dari altar untuk bersembunyi di tengah massa.

Ketika upacara komune telah berakhir dan kaisar telah memasuki tempat peristirahatannya, Kat’oghikos Nerses dan Imam Kerajaan yang memimpin komune tadi mengungkap perbuatan sang uskup dan mengadukannya kepada kaisar: “Dia tidak duduk di kursinya dan tidak melakukan komune dengan kita, meremehkan kita berdua dan tidak menghormati kehadiran Paduka! Dia turun dari altar dan bersembunyi di tengah orang banyak.”

Kaisar menjadi marah dan memerintahkan dua orang penjaga untuk menangkap dan membawanya ke hadapan kaisar.

Ketika uskup itu telah dihadapkan di kamarnya, kaisar segera bertanya: “Apakah anda seorang pendeta?” Sang Uskup menjawab: “Atas kuasa Allah dan restu Paduka, demikianlah adanya.”

Kaisar berkata: “Siapa dirimu sehingga engkau menganggapku, rajamu, juga kat’oghikos dan imam kerajaan, tidak layak melakukan persekutuan denganmu?”

Sang Uskup menjawab: “Saya adalah pendosa, orang hina, sehingga tidak layak berkomune dengan Paduka; namun seandainya jika Tuhan menganggap saya cukup layak untuk berkomune dengan Paduka, bagi saya itu bagaikan menerima Komune dengan Kristus: di meja perjamuannya dan dari tangannya.”

Kaisar berkata, “Cukup! Sekarang katakan padaku: apakah orang ini (Nerses) kat’oghikos Armenia atau bukan? ”

Sang Uskup menjawab, “Jelas, sebagaimana halnya Santo Gregory.”

Kaisar berkata, “Apakah engkau memiliki rasa hormat terhadap kat’oghikos?”

“Tentu,” jawabnya.

Kaisar berkata, “Apakah engkau mau berkomune dengannya?”

Jawab sang Uskup, “Sebagaimana yang akan saya lakukan dengan Santo Gregory.”

Kaisar berkata, “Lalu, mengapa engkau tidak mengikuti Sakramen Komune hari ini?”

Sang Uskup berkata, “Wahai, Raja yang pemurah! Hanya dengan melihat gambarmu yang dilukis di dinding kota, telah membuat lutut kami gemetar. Sekarang, lihatlah! Betapa menakutkannya harus berhadap-hadapan denganmu dan berbicara langsung kepadamu. Kami hanyalah orang-orang bodoh, yang tidak tahu apa-apa tentang bahasamu dan tidak dapat memahami tulisanmu. Tetapi jika kami diberi kesempatan untuk mempelajari semua ini, tentu kami dapat memahaminya di kemudian hari.”

Uskup itu melanjutkan, “Paduka, semoga Anda dapat menunjukkan kemurahan hati kepada kami dan memberikan keputusan yang bijaksana. Dia (Nerses) telah sewenang-wenang dalam menetapkan hukum agama di negeri ini. Empat tahun lalu dia menggelar sebuah konsili dan semua uskup bersidang di gereja ini, menghasilkan dokumen Pengakuan Iman. Kemudian dia, saya, dan semua pimpinan tertinggi membubuhkan segel dengan cincin kami. Sekarang dokumen itu dia simpan. Paduka, berikan titah agar dokumen itu dibawa kesini untuk diperiksa.”

Kat’oghikos Nerses diam membisu. Sang Kaisar yang menyadari muslihatnya, menegurnya dengan keras dalam bahasannya sendiri (Latin). Kaisar Konstans kemudian memerintahkan sang Uskup untuk menyelenggarakan ulang upacara komune dengan kat’oghikos. Ketika sang Uskup sudah menyelesaikan tugas sang Kaisar, dia berkata: “Semoga Tuhan selamanya memberkati pemerintahan Paduka yang bajik dan saleh, dan semoga Paduka selalu memperoleh kemenangan dalam setiap pertempuran di segenap daratan dan lautan.”

Sang Kaisar juga berterima kasih kepada sang Uskup, “Semoga engkau selalu berada dalam berkah Tuhan. Dengan kebijaksanaanmu, engkau telah mengambil keputusan yang berat, dan saya berterima kasih untuk hal itu.” [ ]

Catatan Kaki

[1] Karin dikenal pula sebagai Theodosiopolis (Greek), Erzurum (Turki), dan Kalikala (Arab), berada tepat di perbatasan antara Bizantum-Armenia pada masa itu.

[2] Kat’oghikos(dibaca: katolikos) adalah gelar yang diberikan kepada kepala-kepala geraja di Gereja Ortodoks Armenia. Meski serupa, namun ini tidak ada hubungannya istilah “Katolik” sebagai salah satu aliran Kristen.

[3] Nakhararadalah serupa dengan istilah “raja diraja” yang membawahi seluruh pangeran dari berbagai suku di Armenia.

[4] Dalam Bab 30 buku ini diceritakan bahwa Grigor terbunuh oleh pasukan Arab kala ikut bertempur mempertahankan ibukota Persia, Ctesiphon.

[5]  Konsili Kalsedon mengutuk Monofisit dan menegaskan iman Trinitarian sebagaimana Konsili Nicea.

[6] Maksudnya adalah gereja Santo Gregory the Illuminator (257–331) di Khor Virap, Ayrarat; Santo Gregory adalah patriach pertama di Gereja Timur Armenia yang berpaham ortodoks.

[7] Konsili Dvin Keempat pada tahun 648 Masehi, empat tahun sebelum serangan Bizantium ke Armenia, yang diselenggarakan oleh Nersess III dan dihadiri oleh 17 uskup di sekitar Armenia.

*Diterjemahkan dari buku “History” karya Sebeos Bagratunis, seorang uskup di Armenia dari abad ke-7.  Bandung, 12 Juni 2020

Back to top button