“Masker adalah simbol ketaatan dan kepatuhan buta,” kata Mugdha Pradhan, ahli gizi berusia 41 tahun yang tinggal di Pune.
JERNIH– Amar Singh Azad, seorang dokter berusia 71 tahun di India utara, tak pernah mengenakan masker sejak Maret, ketika lonjakan kasus virus corona menyebabkan penguncian (lockdown) nasional di India.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jelas-jelas merekomendasikan penggunaan masker di depan umum sebagai langkah untuk mengekang penyebaran Covid-19. Tapi Azad yang dokter itu tak percaya hal itu akan berpengaruh. Sampai pertengahan Oktober, India telah mencatat sekitar 7,6 juta infeksi— menjadikannya negara yang terkena dampak terburuk kedua di dunia setelah Amerika Serikat—meski memiliki tingkat pemulihan yang tinggi.
Azad adalah dokter yang mengkhususkan diri dalam pengobatan komunitas dan mempelajari epidemi di Patiala, Punjab, dan merawat sekitar 70 klien setiap hari. Dia sekarang mempraktikkan terutama naturopati dan percaya pandemi akan berjalan dengan sendirinya seperti virus lainnya; bahwa kita harus mengandalkan kekebalan untuk mengalahkannya.
Sebagai negara di ‘papan atas’ dengan kasus 7 juta lebih kasus, India siap untuk menyalip AS dengan beban kasus virus corona tertinggi di dunia. “Di Punjab, orang-orang hidup di jalan untuk (serangkaian masalah lain) di kehidupan nyata,” kata Azad, menyoroti demontrasi petani yang sedang berlangsung. “Mereka berkata,”Persetan dengan corona ini, kita punya masalah lain”.” Azad percaya bahwa dampak mengerikan virus ini dibesar-besarkan, dan itu juga akan teratasi dengan kekebalan kawanan.
Ashok Patel, 65, seorang pensiunan pengusaha di Rajkot, Gujarat, mengkritik bahwa memakai masker justru sebuah cara untuk membesarkan dan menguatkan ketakutan di masyarakat. Penolakannya untuk memakai masker terkait dengan keyakinan spiritual.
“Ketakutan, justru akan meruntuhkan kekebalan,”katanya, mengklaim. Baginya, ini semua hanyalah permainan kekuatan.
Patel, yang meninggalkan pengobatan modern untuk naturopati, meskipun dia berurusan dengan diabetes dan tekanan darah tinggi, sekarang mengklaim kesehatannya lebih baik. Dia mengatakan, dia dan sekelompok 21 orang lainnya telah menulis kepada pihak berwenang untuk meminta izin untuk bergaul dengan pasien Covid-19 tanpa perlindungan apa pun semata “untuk menunjukkan tidak ada itu cerita-cerita seperti yang kita dengar soal corona”. Mereka belum mendapatkan jawaban.
Di antara sesama kalangan yang skeptis dengan masker adalah para penyangkal Covid-19 dan ahli teori konspirasi di pedesaan dan perkotaan India, sebuah kelompok lintas. Di Hari Kemerdekaan India, Agustus lalu, warga menyaksikan para anti-masker menyerukan kebebasan dari masker di media sosial, dan pada 2 Oktober, sekitar 200-an orang anti-masker menggelar demonstrasi di Mumbai’s Marine Drive. Pada 1 November nanti, para pengunjuk rasa dari seluruh India berencana untuk berdemonstrasi pada apa yang oleh beberapa orang disebut sebagai “hari bebas masker”.
Tentu saja, jika diminta untuk memakai masker saat memasuki toko atau jika mereka lewat di depan polisi, sebagian besar mereka yang sok antimasker itu mungkin menyerah dan terpaksa memakainya. Di banyak negara bagian, orang menghadapi denda hingga 1.000 rupee (13,50 dolar AS atau kurang dari Rp 200 ribu pada kurs 14.000) karena melanggar peraturan bermasker. Penegakan telah ditingkatkan terutama di negara bagian yang paling terpukul covid, seperti Maharashtra, Karnataka, Kerala, Andhra Pradesh, dan Tamil Nadu.
Di Mumbai, ibu kota Maharashtra, pemerintah kota telah mendenda lebih dari 14.000 orang sejak April, sementara lebih dari 25.000 orang di Delhi telah didenda sejak Juni.
Namun, menurut survei yang dilakukan Apna Mask bulan lalu, hanya 44 persen orang yang disurvei di 18 kota di India mengatakan mereka mengenakan masker di depan umum. Ketidakpatuhan umum ini tetap ada meskipun pemerintah negara bagian telah mewajibkan langkah ini di beberapa kota dan negara bagian sejak April; bahkan ketika WHO mengatakan itu tidak perlu dan APD tidak banyak tersedia di beberapa bagian India.
Peserta survei berkilah tentang banyak hal, termasuk masalah pernapasan dan ketidaknyamanan, dan menyatakan keyakinan bahwa jarak sosial sudah cukup sebagai perlindungan terhadap Covid-19.
Pada saat yang sama, sembilan dari 10 responden dalam survei terhadap 15.000 orang di seluruh India yang dilakukan bulan lalu oleh platform media sosial komunitas, LocalCircles, mengatakan bahwa mereka menyetujui penggunaan wajib masker di tempat umum.
Survei dan sikap yang bertentangan dapat dikaitkan dengan kelelahan Covid, ketidakpastian, serta kekhawatiran tentang kebebasan pribadi. “Masker adalah simbol ketaatan dan kepatuhan buta,” kata Mugdha Pradhan, ahli gizi berusia 41 tahun yang tinggal di Pune.
“Itu mencegah saya berhubungan dengan manusia lain karena saya tidak bisa mengukur ekspresi wajah mereka,” katanya. “Di atas segalanya, saya memiliki tubuh saya dan saya memilih apa yang ingin saya lakukan dengannya.”
Yohan Tengra, konsultan penelitian dan aktivis anti-masker berusia 23 tahun yang berbasis di Mumbai, menantang langkah-langkah potensial termasuk pengujian wajib Covid-19 dan vaksinasi di masa depan. “Gerakan kami bukan hanya tentang masker,” kata Tengra. “Kami memiliki campuran masalah … yang terutama berkaitan dengan kesehatan dan kebebasan medis.”
Keberatannya berakar pada permintaan akan ‘bukti tingkat kebijakan’ yang lebih baik—hal yang tidak mudah mengingat pemerintah pun berpacu dengan waktu. “Beban pembuktian ada pada Anda, karena Anda membuat klaim positif bahwa mereka benar-benar meninggal karena Covid, jadi Anda harus menunjukkan kepada saya bukti,” bantahnya. “Kami juga telah melihat studi di mana risiko naik karena memakai masker. Perdebatannya adalah: apakah risikonya sepadan dengan manfaatnya?”
Pengunjuk rasa menjalankan situs web untuk terhubung dengan orang-orang yang berpikiran sama. Namun, itu tetap di pinggiran, dan situs pengecekan fakta India mengidentifikasinya sebagai para penjaja teori konspirasi dan misinformasi Covid-19.
Tidak semua orang akan membuka mulut mereka– secara harfiah atau metaforis– di hadapan yang tidak diketahui, pada saat ini, tetapi banyak yang tergoda untuk lengah.
Protes kecil tapi vokal anti-masker itu datang sementara India berada di persimpangan jalan. Negara itu membukukan beban kasus virus corona harian terendah dalam hampir tiga bulan, minggu ini. Namun, para ahli perawatan kesehatan telah memperingatkan bahwa infeksi dapat meroket lagi karena mendekati musim liburan beroktan tinggi di India; perayaan festival Hindu Durga Puja dan Diwali akan jatuh tempo masing-masing pada bulan ini dan pada pertengahan November.
Sebagian besar berusaha mempertahankan keterpaparan mereka pada aktivitas penting, tetapi beberapa tidak punya pilihan. Orang India juga sangat ingin kembali bekerja setelah penguncian nasional ketat yang menghentikan aktivitas bisnis selama dua bulan, menyebabkan jutaan orang jadi pengangguran dan melarat hampir dalam semalam, terutama mereka yang berada di ekonomi informal.
“Tidak ada yang mau kembali ke sana,” kata Gargi Mukherjee, 42, saat dia berbelanja di area Pasar Baru Kolkata, yang dipenuhi dengan pelanggan musim festival– banyak yang tidak menggunakan masker wajah. “Untuk bertahan hidup, orang harus keluar dan melakukan pekerjaan. Jika Anda tidak berpenghasilan, Anda tidak bisa memberi makan keluarga, “katanya.
Sonali Dange, 29, yang terjangkit Covid-19 awal tahun ini, baru-baru ini kembali bekerja di sebuah pabrik di Mumbai. Ibu dari dua anak perempuan itu juga memiliki ibu mertuanya yang sudah lanjut usia. Dange mengatakan bahwa penguncian telah menghabiskan tabungan keluarga; mereka sangat membutuhkan gaji bulanannya sebesar 25.000 rupee (340 dolar AS atau sekitar Rp 4,76 juta) untuk bertahan hidup.
“Sekarang saya sudah sembuh, saya tidak lagi takut dengan penyakit itu,” katanya.
Sunil Kumar Sinha, ekonom utama di Lembaga Pemeringkat dan Riset India yang berbasis di Mumbai, mengatakan bahwa orang India menghadapi pilihan yang sulit. “Orang harus memilih apakah akan mati kelaparan atau berisiko terkena virus yang mungkin membunuh Anda,” katanya.
Hanya orang-orang anti-masker yang tampak tidak peduli.
Patel, yang seorang pensiunan, mengatakan dia tidak takut mati. “Saya percaya pada jiwa, bukan tubuh,” katanya. “Bagaimana sesuatu yang sangat kecil dapat membahayakan kita?”
Dan Azad, dokter komunitas, akan memakai masker jika diminta, seperti kebanyakan anti-masker– tetapi menyimpan ketakutannya untuk pertempuran jangka panjang melawan apa yang dia anggap sebagai pengikisan kebebasan pribadi.
“Ini adalah agenda yang telah ditentukan sebelumnya, mereka tidak akan mengalah,” kata Azad. “Setelah vaksinasi diwajibkan, mereka akan membuat chip dan perangkat pemantauan lainnya.” [South China Morning Post]