Proklamasi Kemerdekaan tak Membuat Bioskop, Lotere dan Adu Tinju Menyetop Pertunjukan
Bandingkan sendiri, pada masa itu harga beras Rp 4 sekilo; sewa rumah sebulan di daerah Kepu dan Kemayoran Rp 5, paling banter Rp 7,5. Naik becak dari Sentiong ke Menteng orang cuma bayar 15 sen, dan langganan koran sebulan Rp 3.
JERNIH—Kehidupan di Jakarta berjalan biasa saja dalam pekan-pekan pertama September 1945. Seolah tak ada juga itu yang namanya Proklamasi Kemerdekaan bangsa dan negara.
Ada dua macam pemerintah ketika itu: Pemerintah balatentara Dai Niippon yang letoy tak lagi punya semangat; 2. Pemerintah Republik Indonesia yang belum berhasil mengokohkan kekuasaannya di segala bidang.
Sukarno sudah tiga pekan jadi presiden, namun belum banyak yang dapat dikerjakannya. Pada tanggal 6 September keluar pengumuman Badan Penerangan perihal sebutan PYM, Paduka Yang Mulia. Ia ditandatangani Sukarno. Isinya:
Kecuali dalam urusan yang resmi-resmi benar mengenai Negara Republik Indonesia, maka saya minta di dalam sebutan sehari-hari disebut Bung Karno saja jangan Paduka Yang Mulia.
Kegoncangan-kegoncangan istimewa dalam masyarakat belum ada. Bioskop buka terus. Pertunjukan bioskop-bioskop dalam Minggu 6-12 September 1945:
-Bioskop Nippon, Pintu Besi : “Wakakihi no Yorobiki” film Nippon
-Bioskop Minami, Kramat : “Wakakihi no Yorobiki”, film Nippon.
-Bisokop Azia, Jatinegara; “Kato Hayabusa Sentotai”, film Nippon.
-Bioskop Yatizo, Senen : “Siti Nurbaya”, film Indonesia.
-Bioskop Azuma, Sawah Besar: “Pulo Inten”, film Indonesia.
-Bioskop Sin-A, Pancoran: “Kung Paw He”, film Cina.
Pertunjukan tinju besar tetap diadakan di Sinsekai, Krekot, dimulai pukul 6 sore.
Acara tanggal 9 September:
- Tan Gwat Tek kembali naik ring bertarung dengan Tiger Jusuf dalam 10 ronde yang tidak asing lagi bagi penggemar tinju.
- Velsink dapat lawan Kid Yan (Bogor)
- Johnny Rentens lawan Kid Herman.
- B. Markx dari Malang akan bertempur dengan Singa Laut dari Bandung dalam delapan ronde.
Seperti galibnya tiap bulan, loterei pun tidak harus mandek karena kemerdekaan. Penarikan undian ke-17 yang berlangsung tanggal 3 September menghasilkan:
- Hadiah ke-1 : F 40.000 –No 33383
- Hadiah ke-2 : F 15.000 –No 28711
- Hadiah ke-3 : F 5.000 -No 22298, 31069, 35551,39800
- Hadiah ke-4 : F 500 dst sampai hadiah ke-7 F 50.
Uang masih dinyatakan dalam F atau florin, dalam Gulden Hindia Belanda. Kalau kita dapat 50 rupiah saja itu sudah besar artinya. Kalau dapat jatah hadiah pertama, artinya kita langsung jadi jutawan.
Bandingkan sendiri, pada masa itu harga beras Rp 4 sekilo; sewa rumah sebulan di daerah Kepu dan Kemayoran Rp 5, paling banter Rp 7,5. Naik becak dari Sentiong ke Menteng orang Cuma bayar 15 sen, dan langganan koran sebulan Rp 3.
Tentu saja tidak semua jalan terus. Ada juga yang berhenti berusaha. Sebuah iklan memberitahukan:
Pemandian-Penginapan-Rumah Makan
Tjimelati (Stasiun Curug)
Ditutup buat sementara waktu, sampai dikabarkan pula.
Hormat, Kongsi Lima
Yang mati pun tentu ada. Sebuah iklan berbunyi:
Turut berduka cita. Segenap keluarga “Persafi” menyatakan turut berduka cita atas meninggalnya saudara kami yang disayangi dan dihormati:
Ny Rukiah (Ny Kartolo)
Pada tanggal 2, bulan 9, tahun 2605 ini petang pukul 5. PERSAFI.
Dari iklan tadi yang memakai penanggalan tahun Jepang, yakni 2605 bukan 1945, ternyata Indonesia belum berdaulat betul. Saya terkejut membaca iklan tentang meningganya Rukiah, yang sebelum Perang Dunia II tenar sebagai artis yang membintangi “Terang Bulan”.
Rukiah beberapa kali menyumbangkan suara emasnya dalam pertunjukan yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan zaman Jepang. Kadang-kadang saya berkelakar dengan Kartolo bagaimana dia yang suka melawak itu bisa mendapatkan Rukiah sebagai istri, seoran wanita yang ayu cantic. Penyanyi dan bintang film zaman sekarang (1960-an, red Jernih), Rachmat Kartolo adalah putra mereka. [ ]
Sumber : “Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi” oleh Rosihan Anwar.