Rock N Roll Mom: episode 5
Pengantar:
Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.
Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.
Waktu kutegur baik-baik soal itu, Bimbim menampakkan wajah tidak suka. Ia tidak melawan. Hanya bagiku, mendengus seraya masuk kamar dan menguncinya seharian bukanlah respons yang kuinginkan dari seorang anak.
Mengapa tidak dibicarakan saja kalau tak suka? Barangkali saja ada hal yang luput kuketahui dari persoalan itu, sehingga meskipun tidak akan pernah tergolong perbuatan terpuji, kemarahan yang barusan ditampakkannya itu bisa terasa sedikit rasional.
Tetapi itu tidak ia lakukan. Bimbim mengunci pintu kamarnya, dan baru keluar pagi berikutnya.
Setelah itu, bukan sekali dua aku merasa Bimbim tidak sepenuhnya terbuka padaku. Entah apa, tetapi sejak itu aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan. Begitu pula Kaka. Masalahnya, Bimbim adalah keluarga langsung, anakku sendiri, yang hampir setiap hari bertemu muka. Perubahan apapun akan segera terasa.
Beberapa kali memang tak sengaja aku mendengar kabar putra keduaku dan sepupunya itu termasuk pemakai. Tidak pernah kusikapi lebih dari rumors semata. Bahwa keduanya, bahkan semua personel Slank kerap kedapatan ngegele, aku tak memandangnya terlampau serius.
Sepekan selinting dua, pikirku. Di Aceh, ganja bahkan menjadi salah satu bumbu penyedap masakan yang jamak digunakan orang.
Hingga dua tahun lalu, 1996, aku mengetahui Bimbim, Kaka dan Ivanka ternyata pemadat hebat.
Jadi sebenarnya, kemarin pun obrolan telepon itu tidak berakhir tuntas. Aku masih ingin mengorek lebih jauh di tempat siapa kedua anak itu tinggal sementara waktu sebelum ke Bandung. Tetapi berlaku cerewet, apalagi di telepon, jelas bukan sifat asliku. Karena itu aku tak memprotes saat Bimbim bilang segera menutup telepon.
“Ya udah, hati-hati. Jaga diri.”
“Beres, Ma…”
‘Janjiku’ mulai memasuki bait-bait akhir. Kulihat Bimbim dan personel lainnya sedang duduk menunggu dipanggil ke pentas. Terus terang sebenarnya hatiku masih kesal. Hatiku seolah-olah melonjak ingin menegur Bimbim dan Kaka saat itu juga. Ingin rasanya membobol kata-kata yang terbendung di lidah yang selama tiga hari terakhir menahan diri ini.
Heh, kalian pikir orang akan terus memberikan pemaafan, mau menerima terus menerus dibikin was-was, hah? Kalian sangka tanpa dispilin, kerja keras dan kesungguhan untuk berlaku profesional,orang akan tetap mau menghargai kalian? Kalian anggap…
Tetapi niat itu segera kuurungkan. Jangankan tercekat di kerongkongan, bergerak saja lidahku untuk membiarkan semburan kata-kata itu menjebol tembok penahannya, tak pernah terjadi. Selebihnya, aku masih sadar tidak akan ada gunanya menegur Bimbim dan Kaka di hadapan banyak orang, bahkan di hadapan para personel grup band lain yang tengah sama-sama mengisi acara di sini. Aku tahu, memaksakan diri menegur untuk memenangkan egoku, hanya akan membuahkan hasil yang parah.
Aku hanya diam memandangi mereka satu demi satu, dengan hati yang bergemuruh. Ada kesal, ada keraguan mengingat jarangnya mereka berlatih. Praktis panggunglah kemudian wahana pendewasaan musik mereka. Karena itu tak heran, selalu saja ada yang baru—hasil improvisasi sesaat—pada penampilan Slank.
Syukurlah, Tuhan masih melindungi anak-anakku dengan memberi mereka ketajaman intuisi untuk merasakan kehendak yang meletup di jiwa penonton mereka. Naluri sensitif guna meraba kemungkinan atraksi dan aneka permainan musik yang mereka yakini akan memuaskan penggemar.
Semua tampak meyakinkanku bahwa mereka siap. Kecuali putraku sendiri, Bimbim.
Sementara yang lain tampak tak sabar untuk berdiri dan mendatangi pentas—bahkan kelihatannya bila perlu dengan berlari, Bimbim sama sekali tidak menunjukkan itu. Dari tadi kulihat kepalanya berkali-kali mengangguk-angguk dengan mata terpejam seolah diganduli kantuk berat.
Lucu sebenarnya. Tetapi melihat keadaan terkantuk-kantuk itu berkombinasi dengan pupil mata yang kian hari tampak mengecil, cekungan pipi yang semakin melembah, dan di saat yang sama tulang pipi justru kuat menonjol mendominasi raut wajah, ibu mana yang takkan dicekam khawatir?
Ya Tuhan, aku sontak teringat sebuah artikel yang kubaca. Itulah kondisi seorang pemakai dalam nod off, alias giting dalam bahasa kalangan slengean.
Anakku akan segera tampil dalam kondisi setengah sadar? Ya Tuhan!
***
BARANGKALI aku kemudian terkena sirep demit, karena tak ingat lagi apa yang kulihat, apa yang seharusnya kudengar melewati gendang telingaku. Hingga kemudian lengking melodi yang dipetik Abdee menyadarkanku. Anak-anak itu telah berada di atas pentas. Abdee memainkan intro untuk Mawar Merah, salah satu lagu andalan dalam album kedua Slank, Kampungan. Tapi sontak alunan gitar itu berhenti.
“Bukan, bukan ini,” kata Abdee.
Disambungnya dengan memainkan intro yang setiap penggila rock pasti tahu: Under The Same Sun, milik Scorpions. Kudengar penonton bertepuk rapi, meningkahi beat-beat lagu tersebut.
“Eit, bukan.”
Segera berhenti. Sejenak tak ada suara, baik dari gitar maupun Abdee . Lalu senarnya mulai mendengking, dan kali ini penonton seolah meledak. Tak salah lagi, ‘Balikin’, lagu yang awalnya tak pernah dianggap para Slankers sebagai lagu nge-Slank itu belakangan tercatat sebagai lagu yang membawa album ketujuh, ‘Tujuh’, mencatat penjualan tertinggi dibanding album-album sebelumnya. Mengalirlah lagu itu.
“Balikin oh balikin
Kehidupanku yang seperti dulu lagi”
Antusiasme penonton menyanyikan lagu itu membuatKaka praktis tak harus berpayah-payah menyanyikan seluruh lirik lagu. Penonton yang berdesak sampai ke bibir panggung dengan suka rela menggantikan tugas sang vokalis. Mereka bernyanyi dengan suara masing-masing. Tak peduli yang terdengar mungkin sember. Satu suara sumbang memang tak akan terindra dalam alunan gemuruh.
Tetapi lama-lama aku mendengar ada yang tidak lazim. Gebukan drum Bimbim kadang terdengar, kadang hilang selama beberapa ketukan. Lantas terdengar lagi dengan pukulan yang lebih kencang dari seharusnya. Tetapi memang itu hanya terasa untuk penonton yang jeli dan datang untuk mendengarkan musik. Bagi anak-anak Slankers yang berjingkrakan di bawah panggung dan seantero lapangan, tampaknya keganjilan itu sama sekali tidak mengurangi hasrat dan kefanatikan mereka.
Lagu demi lagu mengalir, dengan kondisi tak berubah: pukulan drum Bimbim seolah suami tak terpuji. Kadang datang menyambangi istri, lalu sekian lama tak ketahuan kemana pergi.
“Tong kosong nyaring bunyinya
Klentang-klentong kosong banyak bicara
Oceh sana-sini nggak ada isi
Otak udang ngomongnya sembarang
Hak manusia ingin bicara
Hak manusia ingin bernyanyi
Kalau sumbang janganlah didengarkan
Kalau merdu ikutlah bernyanyi
Jangan ngelarang-larang
Jangan banyak komentar
Apalagi menghina”
Kembali, lagu-lagu itu lebih banyak dinyanyikan penonton daripada Kaka atau personel Slank lainnya. Begitu terus hingga giliran tiba giliran band lain untuk tampil ke atas panggung. Itu pun sulit, karena di bawah para penonton tetap ngotot meminta tambahan lagi. “We want more! We want more !” kata mereka, seolah para personel Slank itu bule-bule yang datang dari Amerika yang jauh. Tapi memang tak sedap juga bila yang terdengar adalah teriakan,” Mau lagi! Mau lagi !” yang disuarakan ribuan orang.
Akhirnya disepakati satu lagu terakhir. Lagu yang dimainkan dengan tiga personel Slank berada dalam kondisi setengah mabuk. Betotan bas Ivan kadang meleset, sementara ia asyik membetot dengan mata merem melek seolah menghayati lagu.
Dan dalam kondisi teler segila apapun, di bawah, para penggemar mereka masih tetap memberikan respons besar dan antusias. Tepuk tangan, lambaian baju dan bendera, sapu tangan; teriakan suitan yang menggemuruh masih terarah ke atas panggung, meningkahi aksi idola mereka yang dikendalikan sepenuhnya oleh rangsang narkotika.
*** [bersambung]