POTPOURRI

Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom

Namun Bendara Wedana tak sempat memarahi Lendra sebab beliau sudah mengarahkan anak-panahnya ke sebuah sasaran. Lendra kembali merasa kaget, sebab dilihatnya di ujung sana ada seorang gadis berlari lamban mengikuti arah menjangan dan akan jadi sasaran panah.

Oleh  :  Aan Merdeka Permana

Pengantar:

Ini hanyalah sebuah kisah fiksi. Namun untuk lebih menekankan suasana, penulis melatarbelakanginya dengan setting sejarah dan kepercayaan tradisi masyarakat Ciamis yang pernah berlangsung puluhan tahun silam. Mohon maaf kepada keturunan para pejabat tempo dulu yang para karuhunnya (leluhur) secara kebetulan ikut diceritakan sebagai tokoh-tokoh figuran dalam kisah ini. Pemberian maaf juga penulis pintakan kepada “bangsa onom” yang dipercaya menguasai wilayah rawa onom dan sekitarnya, seandainya paparan ceritera ini menyinggung perasaan. Penulis.

Rancah 1907

Warga rancah bersuka-cita manakala Raden Bratanagara pindah dari Krangkeng, Indramayu, ke rancah. Mereka bersuka-cita lantaran bangsawan ini dikenal sebagai bangsawan yang jujur, cerdik dan amat menyayangi rakyat kecil. Raden Bratanagara pun sama suka-citanya.

Bagaimana tak begitu, sebab beliau kini kembali ke kampung halaman, setelah lama menembara di negri orang. Kata peribahasa sunda, lir kebo mulih pakandangan, nya muncang labuh ka puhu. Burung bangau kembali ke sarang.

Yang membikin beliau senang, juga karena jabatannya naik. Semula semula sebagai asisten wedana. Manakala dipindah-tugaskan ke Rancah, beliau diangkat sebagai wedana Rancah. Raden Bratanagara adalah pejabat yang mengerti ilmu pertanahan kala itu. Ketika menjabat sebagai camat Krangkeng, banyak melakukan jasa bagi pemerintah, di antaranya mengeringkan tanah rawa seluas 700 ha dan dijadikannya sebagai persawahan subur. Karena kecakapannya ini maka tak heran reputasinya terus meningkat. Dan kini beliau menjadi wedana Rancah dengan tugas yang sama seperti di Krangkeng dulu. Raden Bratanagara diuji kepandaian dan keberaniannya untuk mengeringkan Rawa Onom.

Mengapa perlu keberanian, sebab penduduk Rancah mengenal betul akan Rawa Onom, sebuah areal rawa berhutan, bukan saja banyak binatang buas dan berbisa namun juga angker banyak dihuni makhluk gaib. Orang Rancah menyebutnya sebagai onom, sebangsa makhluk halus yang kerap tampil di muka umum. Tak pernah mengganggu kecuali diganggu. Apakah usaha mengeringkan rawa untuk keperluan pertanian akan mengganggu kedamaian “penduduk” di alam sana?

***

Pagi hari amat cerah. Sulendra, seorang pemuda usia 20 tahun tengah sibuk membereskan busur dan anak panah milik majikannya. Dengan amat gairah, Lendra, demikian panggilan akrabnya secara teliti dan telaten memeriksa anak-panah demi anak-panah. Yang ujungnya sudah karatan, dia bersihkan hingga mengkilap. Demikian pun yang sudah terlihat tumpul, dia tajamkan lagi.

“Selain pandai memanah, Bendara pun senang menggunakan tombak dan cikrak, Lendra,” tutur Mang Sajum, lelaki setengah baya yang memperhatikan di sampingnya.

“Ya, ya … saya pernah melihat beliau melempar tombak dengan jitunya di hutan-hutan Kecamatan Krangkeng sana …” tutur Lendra senyum.

“Ouw, jadi manakala di Krangkeng pun Bendara suka berburu juga, Lendra?”

Lendra mengangguk mengiyakan. “Tapi kata Bendara, berburu menjangan lebih asyik di wilayah Rancah sebab hutannya lebih lebat dan jenis binatangnya lebih banyak,” tutur Lendra teringat ucapan majikannya.

“Betul itu. Tapi harus hati-hati, Rawa Lakbok itu ada penguasanya. Itu masuk ke wilayah Kerajaan Pulo Majeti. Kita jangan sembarangan bertindak-laku di wilayah mereka,” kata Mang Sajum.

***

“PULO Majeti itu tempat apa?” tanya Lendra sambil lalu sebab dia tengah membereskan berbagai peralatan berburu. Mang Sajum hanya tersenyum kecil. Untuk beberapa lama dia tak jawab pertanyaan, kecuali ikut bantu membereskan alat berburu.

Kebetulan Jang Dayat yang mau cerita. Kata anak muda yang selalu memakai ketu (ikat kepala) warna hitam itu, Pulo Majeti merupakan sebuah  gugusan pulau kecil yang berada di tengah-tengah wilayah rawa.

“Ow, saya kira tempat aneh. Di Indramayu pun tempat kayak gitu banyak, sih …” kata Lendra sambil memberikan contoh, betapa banyaknya tanah rawa di sisi-sisi Sungai Cimanuk.

“Sungai Cimanuk kan saban taun selalu banjir dan airnya kerap menggenangi persawahan. Dengan demikian, di sana banyak didapat tanah berawa …” tutur Lendra.

Mang Sajum tadinya mau menyela tapi diurungkannya niat itu. Namun tak begitu dengan Jang Dayat. Sebagai anak muda barangkali dia punya kesombongan untuk mengatakan sesuatu yang istimewa pada kampung halamannya.

“Pulo Majeti itu dihuni bangsa Onom, tahu?” bentaknya.

“Sssttt …” Mang Sajum terkejut dan segera memberi tanda dengan menempelkan telunjuk di depan bibirnya.

“Onom itu apa?”

“Sssttt!” untuk kedua kalinya Mang Sajum memberi tanda agar anak muda itu jangan banyak tanya.

“Aneh …” gerutu Lendra. Lantas dia tekun lagi dengan pekerjaannya.

***

Bendara Wedana R. Bratanagara memang senang berburu. Tapi itu bukan satu-satunya tujuan. Tujuan utama sebenarnya melakukan tugas kontrol ke wilayah-wilayah pekerjaannya. Sama seperti ketika manakala bertugas di Krangkeng, maka begitu pun yang kelak akan dilakukan di Rancah.

Wedana R Bratanagara punya misi besar, yaitu mencoba mengeringkan air di wilayah Rawa Lakbok. Bila rawa sudah kering, maka akan diganti menjadi persawahan luas sebab penduduk Rancah punya keahlian bertani. Bendara Wedana pun kelak akan memerintahkan penduduk untuk ramai-ramai menanam kelapa, sebab buahnya bisa diambil sebulan sekali. Maka untuk memasyarakatkan misi ini, Bendara Wedana perlu mengunjungi kampung-kampung di wilayah Rancah. Kampung-kampung seperti Kampung Pangrumasan, Nanggela, Bantardengdeng, Cisontrol atau Kampung Cibeurih, semuanya merupakan perkampungan terpencil yang terkadang dipisah oleh hutan-hutan lebat atau rawa-rawa yang airnya dalam.

Mengontrol wilayah dilakukan sambil berburu agar tak jenuh melakukan perjalanan jauh.

Maka di pagi hari yang cerah, puluhan orang telah berkumpul. Semua telah siap dengan berbagai peralatan berburu. Ada yang membawa trisula, yaitu tombak bermata tiga. Ada juga yang membawa cangkalak, yaitu tali tambang besar dan kuat untuk meringkus kaki binatang buas. Bendara Wedana sudah duduk dengan anggun di atas pelana kuda hitamnya. Di punggungnya menggandul bedor atau paksi, tempat untuk menyimpan anak-panah.

Sementara bahu kirinya menggapit sebuah gondewa berukir indah. Gondewa adalah alat untuk melepas anak-panah. Busur.

Ada beberapa orang yang menggunakan kuda. Mereka adalah Camat Rancah dan para kuwu.

Sementara itu kaum cacah, yaitu para pekerja, tak menggunakan kuda. Lendra adalah termasuk aparat muda yang tak diberi fasilitas kuda namun menerima beban tugas cukup berat. Di sepasang bahunya bergantung beberapa alat berburu lainnya. Sementara itu di tangan kanannya sudah terpegang beberapa batang tombak.

“Ke mana kita akan berburu, Mang Sajum?” tanya Lendra di tengah perjalanan.

Langkah kuda yang ditunggangi para menak berjalan lambat-lambat, sehingga para abdi dalem melangkahkan kaki tak terlalu cepat.

“Kita akan menuju Rancabingung, Lendra …”

“Rancabingung?” tanya Lendra bingung. Dia pindahkan beban gulungan tambang dari bahu kanan ke bahu kiri.

“Ya, sebenarnya banyak yang takut untuk berburu di sana …” gumam Mang Sajum, namun melangkah tenang sambil memanggul beberapa batang cikrak.

“Tapi saya tak takut. Saya hanya bingung saja. Kok namanya Rancabingung?” potong Lendra.

“Itu karena bila orang masuk ke wilayah tersebut adakalanya suka bingung. Bisa masuk susah keluar. Makanya berburu ke tempat itu tak sebanyak bila berburu ke hutan karet di Gunungbitung, Lemahneundeut atau ke Bangkelung …” tutur Mang Sajum lagi.

“Rancabingung, ya …?” gumam Lendra masih dibuat bingung. “Kalau banyak orang bingung, kenapa musti berburu kesana, Mang?” tanyanya lagi mengerutkan dahi.

“Ya, orang suka khawatir. Sebab sebelum tiba kesana, rombongan musti lewat Rawa Onom dulu. Rancabingung itu terletak di arah utara Rawa Onom …” tutur Mang Sajum.

“Tak perlu takut, aku sudah kenal Onom …” potong Jang Dayat.

“Sssttt …” Mang Sajum beri peringatan agar Jang Dayat tak sembarangan bicara. Namun gerak-gerik Mang Sajum ini malah membuat hati Lendra tambah penasaran.

“Saya ingin tau apa yang barusan disebutkan Jang Dayat …” tuturnya.

“Sssttt …” lagi-lagi Mang Sajum memperingatkan kendati Lendra tak menyebut kata apa yang dilarangnya.

Menuju Rancabingung hampir menghabiskan waktu empat atau lima jam dengan langkah cepat. Perjalanan selalu melalui jalanan setapak yang terkadang masuk keluar hutan lebat atau bisa juga lewat ke jalanan becek berlumpur.

Ketika lewat wilayah Rawa Onom, jalanan semakin becek dan gelap karena rimbunnya pepohonan. Jang Dayat beberapa kali musti menepuk-nepuk punggungnya yang tak berbaju lantaran nyamuk-nyamuk besar terkadang hinggap dan menggigitnya. Sementara Mang Sajum beberapa kali musti mengebut-ngebutkan baju kampretnya lantaran sesekali ada ulat sebesar ibu-jari jatuh ke bajunya. Hanya Lendra saja yang melangkah dengan santainya dan terkadang menatap ke arah kegelapan hutan dengan senyum dan kedipan mata.

Ketika Rawa Onom sudah terlewati, hampir semua anggota rombongan bernapas lega, kecuali Lendra. Dia malah merahuh kecewa sambil sesekali melirik ke belakang seperti orang tertinggal sesuatu.

“Waduh … nyamuk di Rawa Onom sungguh dahsyat menciumi punggungku …” keluh Jang Dayat.

“Ow, kau sempat diciumnya, Jang Dayat?” tanya Lendra dengan senyum dikulum namun dengan nada setengah iri.

“Cobalah lihat punggungku, mungkin banyak tanda-tanda berwarna merah saking kuatnya gigitan mereka,” kata Jang Dayat coba memperlihatkan punggungnya.

Benar seperti apa dikatakan Jang Dayat, di punggung Jang Dayat terlihat noda-noda bitnik merah. Herannya, ini malah membuat iri pemuda Lendra.

“Nasibku memang selalu sial. Di mana pun dan siapa pun jarang tertarik padaku …” kata Lendra mengeluh lirih.

Mang Sajum melirik heran namun Jang Dayat ketawa terpingkal karena geli.

Kenapa tak minta satu padaku, Lendra? Atau, semuanya pun boleh kau ambil nyamuk-nyamuk berbisa itu,” kata Jang Dayat masih ketawa ngakak. Tapi Lendra malah terlihat muram.

SETIBA di daerah Rancabingung, beberapa kuda berbunyi keras-keras dan mulutnya berbusa. Hanya kuda yang ditunggangi Bendara Wedana yang tak terlalu gelisah kendati mulutnya sama berbusa. Sementara kuda-kuda lainnya meronta-ronta sambil menyepak-nyepakkan kaki depannya. Beberapa anggota rombongan merasa kaget. Apalagi ada salah seorang kuwu yang terjatuh dan terjerembab ke permukaan rawa. Sementara itu, Lendra malah tertawa lucu melihat kejadian itu. Bendara Wedana, sebagai majikannya, menegur Lendra dengan mendelikkan mata.

“Maaf Bendara. Saya tak bisa menahan tawa saking lucunya melihat Juragan Kuwu ditarik gadis cantik itu …” tutur Lendra pelan karena merasa bersalah telah mentertawakan Juragan Kuwu terjerembab.

Bendara Wedana R Bratanagara mengerutkan kening demi mendengar ucapan pegawainya ini. Beliau melirik kesana-kemari namun tak dilihat ada gadis di sana. “Kau mengigau, Lendra …” gumam R Bratanagara namun sambil sedikit melamun.

Lendra tak memperhatikan omongan tuannya, sebab dia lebih tertarik kepada cekikikan belasan gadis cantik yang tengah mempermainkan kuda-kuda milik rombongan. Kuda-kuda itu ada yang diganggu hidungnya dengan ujung rumput. Ada juga yang digelitik pantatnya oleh ujung ranting. Jadi pantas kalau kuda-kuda itu banyak yang meronta-ronta karena geli dan kaget. Itu pula yang membuat Lendra tertawa karena baginya itu adalah pandangan amat lucu. Apalagi para gadis pengganggu itu, selain usianya nampak masih muda-muda, juga rata-rata punya kecantikan yang amat khas dibandingkan dengan gadis-gadis di dusun sekitar Kewedanaan Rancah. Tubuh mereka molek-molek dan kulitnya putih serta halus. Mereka berpakaian kebaya warna hitam dan kain hitam pula. Beberapa di antaranya sengaja menggeraikan rambutnya sebatas pinggul. Jadi manakala mereka meloncat ke sana-ke mari untuk mempermainkan kuda milik rombongan, rambut terurai panjang itu bergerak-gerak bergelombang.

Selesai mempermainkan kuda, rombongan para gadis belia ini segera berlarian sambil tertawa cekikikan. Ketika itu pulalah, terdengar suara Bendara Wedana Bratanagara untuk melakukan pengejaran. Lendra merasa heran, mengapa rombongan para gadis itu musti dikejar.

Keheranannya bahkan tergantikan oleh rasa kaget manakala Bendara Wedana mencabut busur dan melakukan ancang-ancang untuk melepas anak-panah. Lendra panik. Benarkah majikannya akan melakukan kekejaman, membunuh rombongan gadis-gadis itu dengan anak panah?

“Bendara, jangan sembarangan membunuh!” teriak Lendra menepuk paha kuda yang ditunggangi majikannya sehingga kuda itu sedikit melonjak. Anak panah yang sudah dipasang di busur melesat jauh ke atas sebab kuda-kuda Bendara Wedana terganggu oleh lonjakan kaki kuda.

“Engkau gila, Lendra!” teriak Bendara Wedana gusar.”Lihat, buruan kita kabur ke daerah rawa!” kata Bendara Wedana gemas.

Lendra memindahkan pandangannya ke arah tempat yang ditunjukkan oleh majikannya.

Dengan amat jelas, pemuda itu menyaksikan, betapa beberapa ekor menjangan berlarian ke semak-semak berawa. Dan semakin menghilang manakala masuk ke daerah rimbun dan gelap oleh pepohonan. Namun Bendara Wedana tak sempat memarahi Lendra sebab beliau sudah mengarahkan anak-panahnya ke sebuah sasaran. Lendra kembali merasa kaget, sebab dilihatnya di ujung sana ada seorang gadis berlari lamban mengikuti arah menjangan dan akan jadi sasaran panah.

Sebelum Lendra mencegahnya, anak-panah sudah dilepas oleh Bendara Wedana.

“Crep …” anak-panah menancap di bahu gadis itu. Gadis itu terjatuh. Bendara Wedana memerintahkan pegawainya untuk ramai-ramai memburu tangkapannya. Namun sebelum mereka sampai, gadis malang itu sudah terbangun dan dengan terhuyung-huyung mencoba menjauhkan diri. Dia segera masuk ke kegelapan rimbunnya hutan.

“Cepat susul! Susul!” teriak Bendara Wedana.

Yang diperintahkan ternyata tak berani masuk ke semak belukar yang gelap-pekat. Kata Mang Sajum, di daerah berhutan itu ada banyak rawa dengan kedalaman amat tinggi.

“Bila membenamkan sebatang bambu gombong, maka bambu itu hilang lenyap saking dalamnya dasar rawa …” katanya memperingatkan R. Bratanagara.

“Biar saya yang susul …” kata Lendra menerima perintah majikannya.

“Ya. Tapi hati-hatilah!” sahut Bendara Wedana.

Lendra menyanggupi perintah, sebab dia khawatir akan nasib gadis malang itu. Makanya, tanpa memperhitungkan bahaya yang disebutkan Mang Sajum, dia mau menerima tugas itu. [bersambung]

Back to top button