POTPOURRI

The Black Death : Teror Kematian di Abad 14 yang Menghapus 60 persen Warga Eropa

Sepanjang jaman, ada tiga tema besar berita kematian kolosal yang akan selalu dikabarkan : bencana alam, wabah, dan perang.  Tiga tragedi  besar tersebut berujung  pada penurunan populasi manusia di muka bumi. Namun satu peristiwa yang selalu luput dari berita besar yang mematahkan penurunan populasi manusia adalah kelahiran.  Sampai saat ini, angka  kelahiran lebih besar dari angka kematian.  

Indonesia misalnya, berdasarkan proyeksi penduduk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2010-2035, jumlah penduduk Indonesia 2010 mencapai 238,52 juta. Adapun jumlah angka kelahiran mencapai 5 juta jiwa sementara angka kematian 1,52 juta jiwa. Sehingga jumlah penduduk Indonesia pada 2011 bertambah sekitar 3,4 juta jiwa menjadi 242 juta jiwa.

Masih menurut proyeksi tersebut :  angka kelahiran terus menunjukkan penurunan hingga menjadi 4,29 juta jiwa pada 2035, sebaliknya, angka kematian mengalami tren kenaikan hingga mencapai 2,68 jiwa pada 2035. Dengan demikian dependency ratio (rasio ketergantungan) penduduk juga turun menjadi 47,7% pada 2035 dari 50,5% pada 2010. Dengan catatan : angka kematian tersebut terjadi pada penduduk yang meninggal karena usia lanjut. Bukan Karena wabah.

Wabah telah menjadi  penyakit yang paling ditakuti dalam sejarah manusia.  Seiring dengan kemajuan ilmiah dan tekhnologi, wabah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur dll turut berkembang , bermutasi atau malah dikembangkan. Bahkan Teori konspirasi menyebutkan  wabah mikroorganisme  dapat dijadikan sebagai senjata biologis untuk memenangkan perang tanpa biaya mahal. Terlepas dari itu wabah adalah masalah besar bagi umat manusia dari dulu sampai sekarang.

Di abad 21 ini, perhatian dunia terkunci pada  pandemi covid-19 melebihi persoalan konflik peperangan di beberapa negara Asia barat daya. Menurut data Worldometer yang di update Rabu (25/03/2020) angka kematian di dunia  akibat virus corona mencapai  18.907 orang dari 422,829 kasus dan diperkirakan akan terus meningkat mengingat virus corona  begitu cepat ke seluruh dunia dan belum ditemukan obat yang tepat unttuk mencegahnya.

Terlepas dari jumlah kelahiran atau  teori konspirasi modern  serta  meningkatnya pandemi covid-19,  sejarah telah menunjukan bahwa wabah telah dianggap sebagai kejahatan kolosal yang tak bisa dihakimi. Tak ada pengadilan untuk pandemi.   Berkaca pada sejarah ketika wabah Black Death telah memusnahkan populasi warga Eropa sampai 60 persen, manusia hanya mampu menuding bakteri Yersinia pestis sebagai penyebabnya. Tidak ada pengadilan untuk  tikus, kutu,  bahkan manusia itu sendiri sebagai mata rantai tersebarnya  wabah mematikan itu.

Dari tragedi Black Death, pandemi Covid-19  belum mencapai titik tragedi seperti yang terjadi di abad 14. Dan semoga itu tidak terjadi. Namun karakter Covid-19  yang menyebar cepat dan berdampak timbulnya korban nyawa berikut antisipasi penanganan dan  psikologis sosial memberikan gambaran umum yang sama dengan peristiwa-peristiwa wabah yang terjadi  dimasa silam. Social distancing,  lock down, karantina bukanlah istilah baru namun sudah  tersirat sejak lama.

Pelajaran berharga  itu yang kini diupayakan semaksimal mungkin sebelum penawar wabah ditemukan. Jika  manusia saat ini serempak mempelajari sejarah wabah, tentu akan memahami bahwa antisipasi sosial untuk menghambat mata rantai virus – disamping upaya medis dan mempertebal keimanan- merupakan cara terbaik yang dapat dilakukan. Dalam pandangan agama, penyakit adalah cara Tuhan  mengajarkan manusia mendalami syareat dan hakekat yang harus diterima dengan ikhtiar dan tawakal.

Dengan memahami sejarah wabah setidaknya akan membungkam  sikap ‘ngeyel nan jumawa’ yang memandang enteng  penyakit. Bagi manusia yang ingin hidup bahagia, kesehatan  jasmani dan rohani adalah kebutuhan fundamental  lebih dari apapun dan penyakit adalah musuh manusia paling primer karena tidak ekslusif memandang kekayaan, pangkat, penjahat maupun orang suci.  

Pandemik di Eropa yang terjadi di abad 14-17 M merupakan fase lanjutan dari wabah yang terjadi sebelumnya. Kemungkinan besar Pes atau sampar bukan barang baru karena dalam Kitab Perjanjian Lama yaitu dalam Ibrani (I Samuel 5:6 of the Hebrew Bible) dituliskan adanya wabah mirip pes  terjadi pada abad 11 SM. 

Wabah tersebut menimpa orang Filistin dari Asdod yang memindahkan tabut emas dari  Ebenezer ke Asdod untuk diletakan di Kuil Dagon.   Tuhan kemudian menghukum orang Filistin dengan wabah tumor  yang ditandai dengan munculnya tikus. Wabah tersebut kemudian melanda seluruh kota dan menimbulkan kematian. 

Wabah berikutnya muncul tahun dalam perang Peloponnesia (430 SM) yang menimbulkan dampak mengerikan dan mengakibatkan sepertiga penduduk Athena di Yunani meninggal. Buku History of the Peloponnesian War menggambarkan wabah maut  itu datang dari Ethiopia,  melewati Mesir  Libya, Yunani dan menyebar ke seluruh Mediterania.

Wabah selanjutnya melanda dunia di abad 1 Masehi. Berdasarkan temuan dokter Aleksandria bernama Dioscorides dan Posidonius,  seorang ahli anatomi Yunani Rufus of Ephesus menuliskan wabah yang melanda Libya, Suriah dan Mesir dengan gejala demam akut, nyeri, agitasi, dan delirium. Buboes-besar, keras, dan non-bernanah-dimulai dari daerah di belakang lutut sekitar siku

Gejala wabah bubonik yang menyerang getah bening

Wabah yang menjangkit abad pertengahan terjadi dalam tiga periode, yaitu Wabah Julistian tahun 541 – 750 M yang menyebar dari Mesir, Mediterania sampai Barat Laut Eropa. Wabah kedua yang dikenal dengan The Black Death, dan wabah ketiga terjadi dari 19960 menyebar dari Cina, India, Pantai barat Amerika dan menjangkiti seluruh dunia.

Dari peristiwa wabah tersebut,  wabah Black Death  yang paling  terkenal diseluruh dunia.  Terjadi antara 1346 dan 1347, merupakan titik muram dari sejarah wabah di  Eropa akibat  pandemi  bakteri Yersinia pestis yang menurunkan tiga bentuk wabah di Eropa,  yaitu wabah bubonik yang menyerang getah bening, wabah pneumonik yang menyebabkan infeksi paru-paru, dan wabah septikemia yang menimbulkan infeksi paru-paru. Penyakit pes disebut juga sampar karena adanya gejala bercak-bercak hitam di kulit.

Kuburan massal korban pandemi pes di Ellwangen, Jerman (Rainer Weiss)

Karena menewaskan kurang lebih 75 juta jiwa penduduk dunia, termasuk sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa maka  peristiwa wabah tersebu  dikenal dengan nama “The Black Death”. Mereka yang terjangkit meninggal setelahterjadi kematian jaringan pada ujung jari tangan, kaki, atau hidung hingga warnanya menghitam. Gejala khas itu disebut acral necrosis akibat  pendarahan subdermal. Dan penyakit yang terus muncul di hingga awal abad ke-18 di belahan dunia lainnya.

Dari sejarah diketahui bahwa  pes menjadi pandemi di Eropa pada pertengahan abad 14 dimulai dari kota Caffa (sekarang Feodosia), Semenanjung Krimea, di sepanjang Laut Hitam.  Kota ini pada  1346  dikepung oleh tentara Mongol yang membawa  penyakit  itu. Dari prajurit yang mati epidemi itu akhirnya menyebar.  Para pedagang Genoa yang tinggal di Caffa segera segera melarikan diri ke Eropa setelah mengetahui adanya penyakit menular itu.

 Para pedagang Genoa singgah di Sisilia namun dikapalnya membawa mayat dan orang yang sakit parah karena  telah terpapar saat di Caffa.  Penduduk Mesina Sisilia, segera menyadari bahaya penyakit baru yang sangat menular itu. Namun wabah telah menjangkiti Sisilia. Mereka yang sehat menyelamatkan diri ke Catania untuk  berdoa memohon mukjizat kepada St. Agatha  agar lselamat dari wabah.  Upaya itu sia-sia, wabah malah menyebar di pulau itu.

Baca juga : Pandemik di Athena Gambaran Covid-19 di Abad Milenial

Kapal-kapal Genoa lainnya berlayar membawa wabah dan   merapat ke semenanjung Italia. Dari sana akhirnya wabah tersebar  melintasi daratan benua dan menyebar cepat di kota-kota besar yang padat populasinya.  Selain melalui kapal, pes juga di bawa melaui karavan yang berisi orang yang terinfeksi termasuk  tikus, dan kutu.  Akhirnya wabah tersebar melalui  jalan laut dan darat. Penyebaran wabah melalui  laut dapat melebihi  48 km/hari sedangkan melalui darat mencapai  0,5 – 2 km/hari.

Wabah pes tersebut berlangsung dalam kurun waktu 300 tahun menjangkiti Kawasan Eropa  yang terdiri  Turki, kepulauan Italia, Prancis, Yunani, Spanyol, Yugoslavia, Albania, Austria, Jerman, Inggris, Irlandia, Norwegia, Swedia, Polandia, Bosnia-Herzegovina dan Kroasia.  Di tahun 1386, beberapa kota kehabisan populasi warganya yang sehat, kota Smolensk, di Rusia hanya menyisakan lima orang yang tidak terjangkit.

Demikian pula di London peluang bertahan hidup warganya hanya satu dari 10 orang. Di Semenanjung Iberia  populasi manusia  turun dari 6 juta menjadi 2,5 juta. Di selatan Prancis tercatat kematian terjadi  antara  55% -70% .  60%  populasi penduduk Tuscany  meninggal karena wabah. Pednduduk  Florence  yang berjumlah 90.000 berkurang menjadi hanya 60.000

Di Abad pertengahan, saat penyebab wabah tidak ditemukan dan tak bisa diobati  maka  diterima sebagai murka Tuhan karena dosa-dosa manusia. Sebagian lagi menganggap wabah ditularkan melalui asap yang naik dari orang yang sakit.  Ada yang mengaitkan dengan geologis karena adanya letusan gunung berapi dan sebaran  gas beracun. Termasuk akibat gempa bumi dan ramalan astrologi.

Akhirnya di abad 19, Dunia medis dan ilmu pengetahuan menemukan jawaban tentang  penyebab wabah di abad 14-17 M itu. Adalah Alexandre Yersin , seorang dokter dan bakteriolog asal Swiss yang menjadi warga Prancis  berhasil mengidentifikasi bakteri penyebab pes ketika wabah itu mencapai Hongkong tahun 1894. Penelitian Yersin dari Institute Pasteur  di Hongkong juga atas perintah menteri kolonial Prancis

Pada saat yang hampir bersamaan Ahli bakteriologi Jepang Shibasaburo Kitasato juga pergi kehongkong untuk meneliti virus itu. Dari hasil penelitian dua ahli yang dilakukan masing-masing dan terpisah tersebut  menemukan bakteri yang menjadi penyebab penyakit pes.

Hasil penelitian Yersin diumumkan tanggal 20 Juni 1894 dinilai lebih kompeten dibanding laporan Kitasato. Sehingga saat ini bakteri penyebab pes itu dinamakan sesuai nama penemunya, yaitu Yersinia pestis. Dari hasil temuannya itu maka wabah pes kemudian dapat diberantas.

Walau dapat diberantas, pes termasuk penyakit yang diwaspadai. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.2 tahun 1962, pes atau pleague termasuk wabah penyakit karantina bersama kolera (cholera), demam kuning (yellow fever), cacar (smallpox), tifus (louse borne typhus) dan demam balik-balik (louse borne Relapsing fever).

Back to top button