Tiga Periode, Periode Ketiga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah mengingatkan, “Yang akan menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir dari sebuah amal dan bukan buruknya permulaan.” Tentang keutamaan waktu akhir ini Rasulullah Muhammad s.a.w. bersabda, “ Innamal a’malu bil khawatim (Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh bagian penutupnya).”
Oleh : Akmal Nasery Basral
JERNIH—Periode punya banyak arti, antara lain, “fase”, “tahap”, “babak”, atau dalam konteks kekuasaan, “masa jabatan”. Bulan suci Ramadhan punya tiga periode. Masing-masing berdurasi 10 hari dimulai dengan periode rahmah (turunnya rahmat), periode maghfirah (pengampunan dosa) dan itqun minannaar (terbebas dari neraka). Hari ini, 21 Ramadhan, menandai periode ketiga bulan suci sekaligus periode terakhir sebagai klimaks ibadah sebulan penuh.
Semalam (Jum’at, 22/4) saya memasuki waktu maghrib–awal periode ketiga—bersama para karyawan DPPK (Departemen Pengembangan Pasar Keuangan) Bank Indonesia. Saya diminta menyampaikan sharing jelang buka puasa dengan tema “Laki-laki Moderat dan Perempuan Modern, Why Not?”. Sebuah judul unik, bukan?
Acara berjalan santai, hangat dan meriah di Ruang Cut Nyak Dhien Gedung D yang merupakan bagian dari Bank Indonesia Institute. (Respek untuk BI yang memberikan nama ruangan dari sosok perempuan pahlawan Aceh terkemuka). Karpet terhampar di lantai. Karyawan—Muslim dan non-Muslim—duduk di bantal-bantal besar. Semua memakai kemeja putih dengan bawahan jins. Sekelompok lain mengikuti acara melalui daring termasuk seorang karyawan yang sedang bertugas di Glasgow, Skotlandia.
Sharing Ramadhan DPPK ini sekaligus merupakan kick-off program Change Agent yang dipimpin Donny Hutabarat, Kepala DPPK, sebagai Change Leader dan Rahmatullah sebagai Change Coordinator, untuk menyiapkan SDM DPPK yang lebih lincah dan adaptif menghadapi perubahan pasar keuangan nasional maupun internasional. Meski topik serius, penyampaian dilakukan bukan dalam gaya seminar style yang kaku, melainkan lebih seperti bincang antarteman. “Kita harus banyak bersyukur. Di tengah suasana pandemi yang belum pulih total dan banyak masyarakat terdampak ekonominya, kita sebagai karyawan BI masih mendapatkan rezeki yang lancar dan stabil,” ujar Rahmatullah.
Agenda lainnya adalah sambut-pisah untuk karyawan yang baru bergabung serta bagi yang mengundurkan diri. Ini segmen emosional, terutama ketika seorang karyawan perempuan yang resign diminta naik ke panggung. Cuplikan masa kerjanya ditampilkan pada dua layar besar di kanan-kiri ruangan, berlanjut dengan obrolan akrab antara dua host dengan yang bersangkutan. Suasana lucu dan haru berbaur jadi satu. Bagian ini ditutup dengan sang karyawati mendapatkan tali kasih dari para atasan dan departemen.
Melihat keakraban dan kehangatan itu, entah mengapa, membuat saya teringat seorang teman yang pernah lama berkiprah di media massa raksasa. Sekitar satu dekade lalu, teman ini pernah bercerita ketika dia resign, kantor memintanya menjalani exit interview agar “kami bisa mendapatkan feedback untuk perbaikan sistem di masa depan,” ujar Staf HRD yang menjalankan wawancara. Tak ada ‘selebrasi pelepasan’ dalam bentuk sederhana sekali pun yang hangat dan patut dikenang.
Di waktu berbeda dan mundur lebih jauh lagi ke masa paruh pertama 90-an, saya pernah mendapatkan pencerahan–yang agak menggetarkan juga–dari seorang wartawan dan sastrawan kawakan, Yudhistira ANM Massardi. “Salah satu ironi media massa sebagai saluran komunikasi adalah komunikasi internal mereka sendiri sering macet. Tak lancar,” ujarnya.
Melihat sambut-pisah di panggung DPPK membuat saya semakin menyetujui pendapat Yudhistira karena ternyata di perusahaan keuangan dengan para “homo economicus“ yang sering digambarkan hanya sebagai agen kapitalisme dan kurang memiliki kepekaan hati nurani, justru melepas salah seorang anggota keluarga mereka dalam selebrasi yang penuh makna.
Ketika saya diberi kesempatan bicara tentang hikmah Ramadhan, saya mulai dengan testimoni bahwa setelah mengikuti rangkaian acara sebelumnya saya khawatir akan “menebar garam ke laut DPPK.” Sisi “moderat dan modern” yang ingin mereka dengar dari saya sejatinya sudah dipraktikkan dengan sangat baik.
Moderatisme dalam Islam yang disebut wasathiyah. Berasal dari kata wasatha yang memiliki pengertian etimologis sebagai asy syay-i ma bayna tharfaihi atau “sesuatu yang berada di antara dua sisi”.
Di satu sisi adalah segala sesuatu yang berlebihan dan melampaui. Dalam ibadah disebut ghuluw, dalam muamalah disebut israf. Contohnya ada Sahabat Nabi s.a.w. (peace be upon him) yang berpuasa—di luar bulan Ramadhan–tanpa putus, salat malam tanpa tidur, dan tidak menikah karena takut konsentrasi beribadahnya terganggu. Apakah Nabi memuji sahabat ini? Tidak. Nabi bahkan mengoreksi dengan mengatakan kepada orang itu bahwa dirinya (Nabi) tetap berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, serta menikah dan membina keluarga. Padahal dirinya adalah sebaik-baik manusia.
Dalam muamalah, contoh israf bisa dilihat saat berbuka puasa. Terkadang para shoimin-shoimat (lelaki dan perempuan yang berpuasa) melampiaskan waktu berbuka dengan makanan melimpah ruah, padahal dengan porsi yang lebih sedikit sudah mencukupi. Sikap berlebihan ini disebut israf. Boros. Bahaya dari israf adalah jika makanan tak habis dan ada yang terbuang percuma. Ini disebut tabzir dengan para pelaku disebut “mubadzir”—istilah yang populer di Indonesia. Islam mengecam keras gaya hidup ini melalui ayat pengingat, “ … jangan berlaku tabzir/karena para mubadzir (pelaku tabzir) adalah kawan-kawan setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan.” (QS 17: 26-27).
Sisi berseberangan dengan ghuluw dan israf (serta tabzir) adalah bersikap masa bodoh, cuek bebek. Agama sudah memberitahukan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan pelipatgandaan pahala kebajikan, tetapi masih saja apatis ibadah. Rajin ikut buka puasa bersama, tapi enteng saja meninggalkan salat magrib. Sudah tahu informasi Nabi memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan, namun tetap saja alokasi THR lebih banyak digunakan untuk “baitul mall” (konsumtivisme) ketimbang disalurkan baitul mal atau infak dan sedekah.
Sudah paham anjuran agar di bulan Ramadhan lebih intens baca Al Qur’an, tetap saja waktu tersita untuk baca WA dari sahur sampai sahur berikut. Sehingga prestasi maksimal paling hanya khatam 1 juz,tidak lebih baik dari Ramadhan tahun sebelumnya. Ini bukan karena tak lancar baca melainkan karena, ya itu tadi, salah prioritas yang bersumber dari sikap masa bodoh akut dalam beragama.
Ini ciri mereka yang menyalahgunakan makna hadist Nabi “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya.” (HR Bukhari-Muslim) dengan semangat memudah-mudahkan yang berlebihan. Jika kita termasuk dalam kelompok ini, harap selalu diingat bahwa beragama itu mudah namun jangan dimudah-mudahkan.
Senyampang masih ada kesempatan periode ketiga, dan periode terakhir, evaluasi lagi cara ibadah Ramadhan kita pada 20 hari sebelumnya. Termasuk kelompok manakah kita dari empat jenis ini?
Pertama, mereka yang sudah gas pol sejak awal dan konsisten sampai sekarang. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam, dini hari, full ibadah. Kedua, mereka yang semangat pada hari-hari pertama lalu mengendur seiring berjalannya waktu. Ketiga, mereka yang late-starter di awal dan bertipe diesel. Namun dari hari ke hari terus memperbaiki diri dan kian bersemangat mendulang berkah Ramadhan. Keempat, mereka yang sejak awal bulan suci sampai sekarang tetap “business as usual”. Kesucian dan daya tarik Ramadhan tak menggetarkan dawai kalbu apalagi menggerakkan semangat untuk melipatgandakan ibadah.
Periode ketiga pada 10 hari terakhir ini adalah pembuktian yang sebenarnya bagi setiap muslim apakah dirinya lebih baik atau lebih buruk dari seekor kuda, hewan yang hanya mengandalkan insting dalam bertindak. Imam Ibnul Jauzi mengatakan, “Seekor kuda pacu jika sudah mendekati garis finish akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk meraih kemenangan. Sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Karena itu jika kalian termasuk orang yang tidak baik dalam penyambutan, semoga kalian bisa melakukan yang terbaik saat perpisahan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah mengingatkan, “Yang akan menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir dari sebuah amal dan bukan buruknya permulaan.”
Sahabat terdekat Nabi dan khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq rajin berdoa, “ Allahummaj’al khoiro ‘umri akhirohu, wa khoiro ‘amali khawatimahu, wa khoiro ayyami yauma alqoka (Ya Allah, jadikan usia terbaikku ada di pengujungnya, amal terbaikku ada di penutupnya, dan hari terbaikku ketika aku bertemu denganMu)”.
Tentang keutamaan waktu akhir ini Rasulullah Muhammad s.a.w. bersabda, “ Innamal a’malu bil khawatim (Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh bagian penutupnya).”
Inilah salah satu makna kemudahan dalam beragama itu. Kita mungkin terlalai pada periode pertama dan periode kedua bulan suci karena satu dan lain hal, namun jangan sampai menyia-nyiakan periode ketiga Ramadhan yang masih dihamparkan Allah dengan penuh cinta bagi hamba-hambaNya yang berakal. [ ]
*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.