UKUR
Telah lama ia menantikan momen-momen ini, momen seorang prajurit Sunda menghadapi kematian yang nyata di depan. Dulu, sekian ratus tahun lalu karuhun atau moyangnya disebut-sebut perlaya di medan Bubat, bertarung mencari kematian bersama-sama Prabu Linggabuana, maharaja Pajajaran saat itu.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode-23
Pada sore Tumenggung Bahureksa mengirimkan carakanya ke Dipati Ukur, yang dituju tengah berkumpul bersama para pemimpin pasukannya. Tak seorang pun dari pimpinan pasukan alpa di pertemuan itu, kecuali beberapa Umbul yang telah perlaya.
“Akhirnya sampai juga jurig teh,” kata Ukur dalam hati. Ia menyebut Tumenggung Bahureksa sebagai jurig, makhluk halus yang tak kelihatan jasadnya, yang kini tiba-tiba datang bersama wadya balanya.
Ukur menerima caraka itu langsung di depan para anak buahnya. Dilihatnya wajah caraka itu pucat lesi. Yang paling jelas, ia terlihat ketakutan. Ukur tahu, berita yang dibawa pasti tak akan mengenakkan hatinya.
“Silakan, apa yang Tumenggung amanatkan padamu. Ceritakan, jangan kau tutup-tutupi bahkan pada bagian yang kau pikir akan membuatku marah. Insya Allah, aku tak akan marah padamu. Kau sekadar penyambung lidah, tak lebih,”kata Ukur. Ia lihat sejak awal kedatangannya caraka itu terlihat gundah.
Caraka itu sebentar terkesiap. Ia beruntung bertemu pejabat tinggi seperti Ukur yang mengerti posisi petugas seperti dirinya.
“Sendika Kanjeng Dipati. Hamba akan menuturkan seperti apa yang hamba dengar. Semoga Kanjeng Dipati bisa bersabar,” kata Caraka. Tetap saja ia merasa tidak sepenuhnya aman untuk menuturkan pernyataan Tumenggung Bahureksa secara apa adanya.
“Katakan saja. Aku minta kau percaya akan diriku. Kepercayaanmu sungguh merupakan penghormatan yang tinggi untukku,” jawab Ukur.
Tidak perlu diminta kedua kalinya, Caraka itu segera menuturkan ulang apa yang didengarnya dari penuturan Tumenggung Bahureksa. Alih-alih hanya menyampaikan amanat Bahureksa yang meminta Ukur saat itu datang sendiri menghadapnya di Marunda, Caraka juga menyampaikan kondisi pribadi Bahureksa saat itu.
“Kanjeng Tumenggung sangat marah karena Kanjeng Dipati dan pasukan. Kanjeng Tumenggung sampai bicara aturan hukum keprajuritan Mataram soal pembelotan. Bagi Kanjeng Tumenggung, apa yang Kanjeng Adipati lakukan tak lain dari pembelotan,” kata dia, lancar.
“Hm…begitu ya,” kata Ukur. Ia sempat tercenung sejenak. Soal itu bukan tak pernah ia pikirkan. Ia juga mendapatkan latihan dan didikan keprajuritan Keraton Mataram hingga tahu pasti apa yang ia hadapi. Hanya tadinya ia berpikir Bahureksa akan tahu diri dan mempertimbangkan kesalahannya pribadi yang menjadi penyebab semua ini: ia telat datang hingga sepekan lebih. Apa saja yang ia lakukan di laut sehingga telat begitu lama untuk misi sepenting itu?
Ukur akhirnya menganggap memusyawarahkan hal itu dengan para perwiranya sangatlah penting. Bagaimanapun nasib yang menunggunya di markas Tumenggung Bahureksa, akan berdampak kepada nasib sekian ribu anak buahnya di sini.
“Caraka!,”kata Ukur kemudian. “Pulanglah kembali. Katakan kepada majikanmu, aku akan memusyawarahkan dulu apakah aku harus ke sana atau tidak. Bila rapat memutuskan harus, aku akan ke sana menghadap. Bila tidak, jangan ditunggu. Namun jangan pernah menganggap diri dan pasukanku membelot. Majikanmu harus lebih dulu melihat dirinya sendiri, melihat apa yang telah ia lakukan hingga membuat diri dan pasukanku menyambutnya di Karawang.”
Usai berkata demikian Ukur membuka kanjut kundangnya, mengeluarkan beberapa koin perak yang segera ia berikan kepada caraka itu.
“Kau menghadapi kemungkinan buruk. Ini untukmu. Apapun yang kau lakukan sekeluar dari area pasukanku, itu sepenuhnya hakmu,” katanya kepada Caraka itu. Artinya, bila Caraka itu kabur karena takut menyampaikan pesannya, setidaknya koin-koin itu bisa berguna dalam pelariannya.
Caraka Mataram tersebut menerima koin-koin perak itu dengan raut muka yang sukar digambarkan. Ada kegembiraan di sana, tapi bukan perasaan itu yang terlihat mendominasi. Ia bahkan terlihat sedih, ngungun, seolah kehilangan seorang yang selama ini sangat ia sayangi. Setelah menyembah kaki Ukur yang dengan segera pula Ukur tolak dengan mengangkat bahunya, caraka itu segera bergegas menuju kudanya, lalu berangkat meninggalkan markas pasukan Ukur di Jatina Nagara.
“Bagaimana menurut kalian semua, pimpinan prajurit?“ tanya Ukur kepada para pemimpin pasukannya. Semua Umbul memberikan pandangan mereka. Mayoritas meminta Ukur tak datang menghadap. Menurut mereka, tumenggung Mataram itu hanya tengah mencari kambing hitam yang bisa dia berikan kepada tuannya di Keraton Wetan. Bukan untuk mencari solusi penyerangan yang gelagatnya akan meminta waktu lama ini. Bagaimana pun sampai saat ini baik pasukan Sumedang-Ukur maupun pasukan Mataram belum bisa mencari strategi jitu untuk bisa mengalahkan pasukan Kompeni.
Tetapi ada juga sementara Umbul yang mengusulkan sebaliknya. Mereka meminta Ukur datang dengan alasan itu yang terbaik bagi pasukannya. Kalangan ini tak banyak, di antaranya dikenal Ukur sebagai umbul-umbul yang selama ini pun memang sering bermuka dua. Ada empat umbul, yakni Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta. Ada lagi seorang umbul yang kurang Ukur kenal, Umbul Indihiang Galunggung.
“Baiklah, terimakasih untuk kalian semua. Apa pun yang kalian nyatakan tentu menjadi bahan pertimbanganku. Aku telah mengambil keputusan pribadi, sebelum meminta pendapat kalian semua. Kini setelah mendapatkan pandangan kalian masing-masing, tekadku sudah kuat. Aku tak akan datang menghadap Tumenggung Bahureksa. Bukan aku takut, tapi yang lebih kutakutkan adalah nasib kalian.”
“Tumenggung Bahureksa memang sengaja menjadikan aku tumbal dari kesalahan awal yang ia lakukan, telat sampai sepekan lebih. Kupikir lebih baik kita bertahan menyerang dari sini, menunggu para Kompeni itu lengah atau bahkan kehabisan bubuk api. Kalau kita beranjak dari sini, kupikir itu akan membuat klaim Bahureksa bahwa kita memberontak akan dipandang nyata Kanjeng Sultan Mataram,” kata Ukur panjang lebar.
“Sendika!”
“Sapuuk!”
“Setuju! Buat apa menghadap orang keras kepala yang tak mau mengakui kesalahannya sendiri? Kita tetap di sini, menyerang Kompeni!” kata Aria Singaperbangsa, umbul Karawang.
***
Pasukan Ukur tetap bermarkas di Jatina Nagara, sebagaimana pasukan Tumenggung Bahureksa bermarkas di Marunda. Nyaris tak ada komunikasi yang baik di antara kedua pasukan. Setiap pasukan seolah-olah bertempur sendiri, menjalankan strategi dan taktik perang sendiri, tanpa koordinasi satu dengan lain. Sementara jumlah personel kedua pasukan bisa bermanfaat berlipat-lipat seandainya mreka bisa bersatu lebih padu.
Alhasil, hingga telah tiga pekan lebih penyerangan, tak ada kemajuan yang dihasilkan kedua pasukan yang menjalankan pengepungan pasukan Kompeni yang mendekam di benteng-benteng itu. Apalagi pasukan Mataram pun tak memiliki armada laut yang kuat, yang mampu menutup jalur pasukan dan logistik pasukan Kompeni yang selalu dipasok dari arah laut oleh kapal-kapal Kompeni yang sebagian merapat di Dermaga Pulau Onrust.
Pada pekan pertama September 1628[1], garis pertahanan Pasukan Ukur mulai bergeser ke arah depan, mendekati Kota Batavia. Garis pertahanan tersebut diperkuat dengan kayu dan tumpukan tanah. Pembangunan garis pertahanan tersebut dilakukan sejak awal dan memakan waktu sekitar setengah bulan.
Kejadian yang ditunggu-tunggu Ukur pun akhirnya terjadi juga. Pada 12 September 1628[2], mendadak pasukan Kompeni keluar benteng mereka. Mereka langsung berhadapan dengan pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Wiraguna. Bagaimana pun, bagi Ukur itu lebih baik dibanding terus menyaksikan anak buahnya terbunuh manakala mencoba memanjat benteng kukuh yang dijaga orang-orang VOC itu dengan sangat ketat. Hampir tak ada waktu semenit pun penjagaan benteng itu lengah.
Ukur saat itu belum memerintahkan pasukannya menyerang. Mereka dimintanya menunggu.
Saat itulah Ukur menyaksikan bahwa pasukan VOC, selain dipersenjatai dengan lebih baik, juga lebih terlatih. Kedisiplinan mereka tinggi. Boleh saja mereka orang bayaran. Hanya justru karena itu mereka harus hidup, dan untuk itu berarti saling bantu sesama mereka, saling menguatkan. Tak terlihat oleh mata Ukur yang tajam, mereka bergerak seenaknya. Semua terkontrol, semua menjalankan strategi yang pasti telah diperintahkan atasan mereka.
Akibatnya jelas. Ukur menyaksikan berapa banyak wadya bala Mataram pimpinan Wiraguna, salah satu perwira bawahan Tumenggung Bahureksa, itu berkelojotan kehilangan nyawa, manakala mencoba memanjati benteng untuk bertarung dari jarak dekat. Manakala upaya memanjat itu gagal karena persiapan alat yang kurang, di bawah para prajurit Mataram itu sudah berhadapan dengan sesuatu yang sejak kemarin-kemarin tak mereka dapatkan: serangan langsung dari para serdadu bayaran VOV yang bersenjatakan bayonet, kapak dan tombak.
Serangan VOC itu dipimpin langsung Kapten Jacques Lefebre. Terlihat dari dari epaulet yang terpampang di bahunya. Sebagian penyerang menggunakan kuda, sementara sebagian besar lainnya, dari aneka bangsa, menyerang dengan berlari. Yang membuat kedua penyerang itu sama adalah masing-masing personel menggunakan setidaknya sepucuk bedil dan sebuah bedil yang lebih pendek lagi.
“Mungkin itu yang kudengar sebagai flintlock[3], tampaknya,” kata Ukur membatin. Ia sempat mendengar saat bertugas sebagai prajurit Mataram, pada 1610 ditemukan senjata genggam yang bisa meledak sama seperti bedil. Mekanismenya juga sama, dengan memasukkan bubuk api, memadatkannya dengan merojok-rojoknya kuat-kuat sebelum memasukkan sebutir peluru. Dengan sebuah sentilan kecil pada pemicu, maka peluru besi pun terlontar ke arah musuh yang disasar.
Ukur segera keluar dari garis pertahanan. Diteriakkannya aba-aba kepada pasukannya untuk menyerang. Bagaimana pun hanya melongo menyaksikan pasukan Adipati Wiraguna dibantai bukanlah sifatnya sebagai seorang satria. Ia hanya mempermalukan Tanah Sunda bisa tak menolong pasukan Mataram yang terdesak hebat itu.
Ukur memacu kudanya, seraya menggerakkan pasukan. Dengan teriakan dahsyat ia mengeluarkan perintah. “Bentuk formasi Ratuning Bala Sariwu! Bentuk formasi Ratuning Bala Sariwu! “
Teriakan Ukur bersambut gerakan pasukan. Pasukan yang awalnya akan menyebar itu tiba-tiba seolah menemukan formasi untuk mewujudkan semangat perang mereka. Tak terlihat mereka jeri melihat pembantaian yang dilakukan pasukan VOC kepada sekutu mereka orang-orang Mataram. Tadi mereka menyerbu seolah kesetanan, tak peduli menghadapi pasukan dengan persenjataan jauh lebih lengkap dan mutakhir.
Benar, para prajurit Sunda itu tepat sebagaimana digambarkan pengelana Portugal, Tome Pires. “Sunda adalah tanah para pemberani. Mereka mengatakan bahwa diri mereka jauh lebih daripada orang Jawa. Mereka bersaing sengit dengan pihak Jawa, dan pihak Jawa pun demikian. Mereka mengatakan bahwa orang Sunda lebih pemberani daripada orang Jawa..”[4]
Lalu dengan segera formasi pasukan Sunda itu pun terlihat. Rapi, siap untuk berjudi menyabung nyawa.
“Prajurit, siap mapag nyawa. Teuing nyawa musuh atawa nyawa dia. Siap-siap urang begalan pati! Prajurit, persiapkan diri untuk menghadapi ajal. Tak tahu apakah nyawa musuhmu atau nyawamu sendiri. Persiapkan diri untuk bertaruh nyawa!” teriak Umbul Tarogong, diikuti hampir semua pimpinan pasukan.
Mata Umbul Tarogong berkaca-kaca terhalang air matanya yang hendak tumpah. Telah lama ia menantikan momen-momen ini, momen seorang prajurit Sunda menghadapi kematian yang nyata di depan. Dulu, sekian ratus tahun lalu karuhun atau moyangnya disebut-sebut perlaya di medan Bubat, bertarung mencari kematian bersama-sama Prabu Linggabuana, maharaja Pajajaran saat itu. Kini, meski bukan dengan raja Pajajaran yang memang telah musnah ditelan masa, kebanggaan Umbul Tarogong tak berkurang.
“Aing rek paeh ngabelaan lemah cai Sunda. Aing paeh lain sabab sumerah ka Raja Jawa. Aing begalan nyawa lantaran ceuk ageman aing, Islam, begalan nyawa ngabela hak eta jihad inyana! Bismillahi Allahu Akbar!”
“Mungkin sebentar lagi aku perlaya meregang nyawa membela tanah Sunda. Aku akan mati tidak karena kewajibanku terhadap Raja Jawa. Aku bertaruh nyawa karena menurut agamu, Islam, bertaruh nyawa membela hak itu tak lain dari jihad. Bismillahi Allahu Akbar!” teriak Umbul Tarogong.
Sebentar para umbul lain dan sekian ratus pasang mata prajurit memandangnya. Lalu tanpa komando ratusan orang tadi meneriakkan kata-kata sama, menggelagar membelah udara Batavia. Sekian ratus orang siap mati demi membela hak dan harga diri.
Umbul Tarogong menyentak tali kekang kudanya, menerjang ke depan menyambut serbuan pasukan Kompeni. Golok panjang ramping yang digenggamnya mengarah ke depan, siap menembus tubuh musuh. Begitu tiba di tengah-tengah para penyerbu tangannya sibuk membabat, menusuk, menjatuhkan sekian banyak pasukan musuh dalam sekali gebrak.
Dari sisi kanan, Umbul Majalaya melompat, menjatuhkan diri dari kuda dan langsung menyerbu pasukan Kompeni yang datang menyerang. Di tangannya tergenggam tombak bergagang pendek dengan kepala kujang yang secepat itu pula telah merah oleh darah. Ujung kujangnya kemudian berputar-putar membabat beberapa orang Cina yang merasa jumawa bisa merobohkannya. Alih-alih Umbul Majalaya, justru orang-orang bayaran bertaucang itu yang bergiliran kelejotan meregang nyawa.
[bersambung]
[1] http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/15/6
[2] Ibid
[3] Pistol flintlock sudah dikenal sejak abad ke-16. Flintlock juga kadang disebut kunci (lock) Prancis, karena ditemukan Marin le Bourgeoys, seorang pembuat senjata dari Prancis yang bekerja untuk Raja Henry IV. Ia menemukan mekanisme ini sekitar tahun 1610. Cara kerjanya sangat sederhana, ketika pelatuk ditarik, percikan api akan muncul dan meledakkan bubuk mesiu.
[4] Tome Pires dalam ‘Suma Oriental’ (1513), seperti termuat dalam Paul Michel Munoz,”Early Kingdom of Indonesia Archipelago…”