POTPOURRI

UKUR

Dengan teriakan mengguntur ia babatkan tombaknya memutar, membuat luka sabetan dalam di wajah dua orang serdadu Kompeni asal Bali. “Nagri Sunda, jaya di buana!” Teriaknya bercampur serak. Bersamaan dengan terjungkalnya dua orang budak Kompeni itu, tubuh Umbul Majalaya pun perlahan menggelosor ke tanah

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode -24

Umbul Majalaya memutar tombak berujung kujangnya ke kanan, mengiringi putaran tubuhnya yang gesit. Terdengar tiga jeritan, menandakan tiga nyawa segera perlaya. Namun tak lama terdengar gelegar tembakan hanya berjarak dua meter dari tubuh Umbul Majalaya yang bergerak gesit laksana walet. Tampak dada Umbul seolah meledak memuncratkan darah.

Sebentar Umbul Majalaya terdiam, tegak seolah mengumpulkan segenap kekuatannya. Dengan teriakan mengguntur ia babatkan tombaknya memutar, membuat luka sabetan dalam di wajah dua orang serdadu Kompeni asal Bali. “Nagri Sunda, jaya di buana!” Teriaknya bercampur serak. Bersamaan dengan terjungkalnya dua orang budak Kompeni itu, tubuh Umbul Majalaya pun perlahan menggelosor ke tanah, kehilangan nyawa tempatnya bertumpu.

Di pasukan tengah, dengan mulut tak pernah terkatup Umbul Sagaraherang hari itu memberi makan duhung atau keris tak bereluknya. Keris asli Pajajaran. Bras bres, keris itu menusuk dan menikam dada, perut dan lambung musuh, meninggalkan tubuh-tubuh lawan yang lantas meregang berkelojotan. Suara Umbul Sagaraherang yang dalam bernada bass seolah berkompetisi dengan erangan musuh-musuh yang berhasil ia jatuhkan. Seolah jampi, tapi bukan.

Bukan pula nyanyian pengisi waktu kosong. Mungkin semacam rajah yang ia lantunkan untuk mengumpulkan kesetiaan, kesadaran dan ketenangan bahwa hidup pada akhirnya hanya menunggu datangnya kematian. Bahwa yang paling penting dalam hidup bukanlah dari garba mana dirimu keluar dan memperoleh harkat pada tatanan sosial. Yang lebih penting justru adalah bagaimana kamu mengisinya, serta dengan cara apa nanti dirimu melepas nyawa.

Ahuung, ka Sang Rumuhun. Ka Allah Nu Murbeng alam. Bismillahi, kalayan Asma Anjeun Nu Maha Luhur. Yeuh nyawa, deuh pati, aing teu ngaboga-boga. Ngan Anjeun nu mibanda hirup hurip kami. Mun enya ayeuna waktunya, nya ke sim abdi ngiwat nyawa musuh salobana.”

“Bismillah, dengan namaMu yang Maha Tinggi. Adapun nyawa dan mati, tak pernah aku merasa memiliki. Hanya Engkau yang mengurusi gerak-gerik kami. Bila saja memang waktunya hari ini, izinkan hamba mengambil teman sebanyak mungkin nyawa musuh,” kata Umbul Sagaraherang. Kalimat-kalimatnya yang teratur dan alunan nada saat melantunkan deretan kalimat itu membuatnya seolah tengah berpantun.

Dengan teriakan mengoyak telinga Umbul Sagaraherang melompat dan menancapkan kerisnya ke dada seorang serdadu mardijker. Keris itu menancap dalam, hampir tembus ke punggung. Secepat kilat keris itu ditariknya lagi untuk menahan serangan bayonet seorang ronin Jepang yang mengincar lambung kanannya.

Terdengar denting dua logam beradu, logam keris dan logam baja yang membangun sangkur. Suaranya menyakitkan telinga di sela berbagai teriak dan umpatan segala bahasa. Secepat itu pula keris itu membalik menyayat perut ronin Jepang tersebut, membuatnya seakan menerima sayatan seppuku, hanya kali ini minus tetakan di leher yang segera membebaskannya dari rasa sakit menjelang ajal.

“Jeddar!” bunyi tembakan flintlock mengagetkan Umbul Sagaraherang. Terasa ada yang panas menembus dadanya. Edan, pelor timah itu tembus juga melawan Aji Batara Karang yang ia miliki? Ah, apalah yang bisa melawan ajal bila ia sudah sampai? Yang jelas, kini tak ada lagi katugenah dan rasa penasaran. Ia sudah mencoba mengikuti jejak para kakek buyutnya, para nonoman Sunda yang penuh bangga perlaya di jalan jurit. Ternyata begini rasanya ditembus peluru. Tampaknya ini lebih baik dibanding ditembus keris, apalagi terpanggang tombak. Alhamdulillah, kata Umbul Sagaraherang, tersenyum.

Lalu dengan teriakan serak yang menegaskan nyawanya tinggal di ujung tenggorok, Umbul Sagaraherang melompat menjatuhkan dirinya ke kerumunan serdadu Kompeni. Sebelum tubuhnya berdebam menyentuh bumi, sabetan panjang kerisnya telah menjanjikan beberapa teman yang akan menemaninya ke alam kematian.

Ukur gemetar menyaksikan kematian satu demi satu orang-orang yang ia cintai dan mencintainya. Para sahabat yang sekian lama sama-sama mengabdi negeri. Negeri Sunda, beda dengan para menak lain yang sekadar turut hidup dengan berbakti kepada raja Jawa, mereka adalah orang-orang yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Bukan para penjilat yang justru memeras keringat dan tenaga rakyat demi kepentingan mereka sendiri.

Ukur turun dari Si Sembrani, menepuk kuda itu agar menjauhi palagan jurit. Dengan segera dirinya bersedekap, memusatkan perhatian dan konsentrasi ke dzat yang Maha Tinggi. Ia melihat kondisi sudah kritis, dan memanggil Lodaya barangkali bisa menjadi solusi.

“Bismillahirrohmaanirrohiim..

Pun sapun dulur linuhung

Linuhung dangiang sihung

Sihung ahung kuku bengkung

Bengkung ngariung simana welang

Welang culang-caling tarang

Tarang kerung panon hurung

Hurung ngempur tanpa piruha

Piruha dangongna awak

Awak lempay buntut ngagebay

Ngagebay marengan gupay

Hiap Bujang, hiap lanjang

Cangreud pageuh tali gadang

Antara dia jeung kami

Papada asuhan Hyang

Pun sapun geura cunduk

Balungbang yap geura datang

Ahuuung…ahuuung..ahuung…”

Namun anehnya, tak terasa ada karuhun yang datang. Tak ada pertanda apa pun yang menunjukkan tanda-tanda kedatangan jirim dari dunia lain. Ukur kembali merapal jangjawokan pemanggil Lodaya, pengemat kedatangan harimau Jawa besar sebesar kerbau yang selama ini tak pernah mengecewakannya di saat-saat terdesak.

Untuk ketiga kalinya dicobanya kembali mantera lama itu ia bacakan dalam hati dengan perasaaan yang dibuat sekhusyuk mungkin. Tetap saja tak ada yang berubah. Biasanya, meski dalam badai teriakan dan keriuhan seramai apa pun, Ukur selalu merasa ada detik-detik yang sunyi, udara seolah beku, menyambut kedatangan sang Lodaya. Tapi kali ini tidak. Tak ada semua pertanda itu semua.

“Duuh, ini mungkin balasan perasaanku yang kadang mendua. Berdalih bahwa semua hanya demi dan atas nama Allah yang Maha Esa, sementara nyatanya kepada makhluk-Nya pula aku meminta bantuan,” kata Ukur membatin. Ia merasa telah begitu kotornya menjadi hamba yang menduakan Tuan, apalagi Tuhan yang Maha Esa, Allah SWT.

Tak ada sedikit pun rasa gentar di batin Ukur. Hanya ia tahu, tak mungkin dirinya membiarkan anggota pasukannya dibantai. Untuk apa? Dia tak tega.

“Jangan biarkan pasukan kita mati sia-sia!” teriak Ukur sekerasnya. Teriakan yang tentu saja didengar seluruh wadya bala Sumedang-Ukur dan para pimpinannya. “Mundur! Mundur masuk ke rawa-rawa! Mundur, pilih pertarungan jarak dekat di rawa-rawa!”

Teriakan Ukur diulangi para pemimpin pasukan, kemudian menyebar secara estafet dari satu sisi pasukan ke sisi yang lain. Tak perlu dua kali, pasukan Sumedang-Ukur segera bergerak mundur menuju rawa-rawa Jatina Nagara. Ada banyak perdu dan tanaman rawa yang membuat mereka terhalang dari sasaran langsung moncong bedil dan flintlock para serdadu Kompeni. Mereka berharap para Kompeni itu sudah mengalami rasa haus darah sehingga gila dan menerjang mengikuti hingga ke mari. Di sini, di rawa-rawa ini mereka punya harapan untuk melawan bedil dibanding pertarungan jarak jauh yang jelas-jelas membuat kemampuan pribadi para prajurit Sunda seolah tak berarti.

Namun orang-orang VOC itu pun sadar telah banyak kehilangan serdadu. Mengejar orang-orang Ukur-Sumedang ke rawa-rawa tak lain hanya akan menambah korban di pihak mereka. Mereka pun akhirnya menarik pasukan, kembali masuk benteng.

“Awas hati-hati, buaya!” teriak beberapa prajurit Sunda di sebuah sudut rawa, diikuti teriakan ramai orang-orang seperti tengah merencah sesuatu. Pasti, mereka sudah membantai buaya itu. Hanya entah apakah ia sempat membunuh para prajurit Sunda atau tidak.

“Awas oray euy! Oray sanca! Awas ular, ular sanca!” teriak sekelompok prajurit di sudut lain. Rawa-rawa Jatina Nagara memang terkenal sanget. Tak hanya angker karena rimbunan pepohonan yang menutupinya, rawa-rawa itu telah lama dikenal sebagai sarang ular piton dan buaya. Pada bulan-bulan tertentu rawa-rawa itu bisa disusuri perahu saat air laut naik. Pada bulan tertentu pula airnya surut, menampakkan banyak akar pohon yang biasa hidup di rawa-rawa, berbongggol-bonggol menampakkan rupa mengerikan laiknya dedemit. Pada bulan-bulan surut itulah biasanya orang-orang Banten datang berburu buaya yang tengah marak-maraknya.

Di sarang ular dan buaya itulah kini wadya bala Sumedang-Ukur terpojok dan bermarkas.

Sore itu pasukan Sunda bisa beristirahat. Peperangan terhenti segera setelah mereka nekad nyemplung ke rawa-rawa tadi. Ternyata orang-orang Kompeni masih berpikir panjang untuk menyerbu mereka dan bertempur di rawa-rawa. Dari segi apa pun memang tak ada perhitungan yang akan menghasilkan prediksi kemenangan ada di pihak Kompeni manakala mereka nekat menyerbu rawa-rawa. Belum lagi orang-orang asing itu belum tentu biasa menghadapi ular, buaya, lilitan sanca atau katakanlah yang tak berbahaya macam lintah.

Ternyata tak ada ruginya juga nekat menjebloskan diri ke rawa-rawa Jatina Nagara itu. Setidaknya hasilnya sudah kentara, mereka berhasil menghindari serangan langsung moncong-moncong bedil dan pistol di arena terbuka, yang tadi pagi mengantarkan puluhan prajurit Sumedang-Ukur ke alam Barzakh. Selain itu, ada pula dampak yang tak disangka-sangka: logistik bertambah.

“Mangga, Kanjeng Dipati, daging buaya bakar,” kata seorang prajurit dapur umum mengangsurkan sepotong daging bakar berbungkus daun jati kepada Ukur. Yang ditawari segera menerima, melirik kanan-kiri. Setelah yakin semua orang pun telah memegang ransum yang sama, Ukur segera mengajak pasukannya makan.

“Ayo, yang baru dapat ransum buaya, kita makan!” serunya. Para prajuritnya sebagian tersenyum, lalu segera melahap potongan daging putih yang kini telah bersemu hitam terpanggang itu. Baunya harum, nyaris seharum panggang daging mencek, terwelu, trenggiling atau pun ayam hutan.

“Hm, lumayan juga. Enak,” kata Ukur. “Insya Allah, halal..”

“Kalau saja ada kecap Sindangkasih ya, Kanjeng Dipati.” Seorang pimpinan prajurit berteriak. Tampaknya ia punya pengalaman berkesan tentang bakar daging dicelup kecap Sindangkasih.

“Ha ha ha, benar, Prajurit. Sate kadal pun akan jadi nikmat rasanya bila kecapnya kecap Sindangkasih,” sahut Ukur.

Seseorang berteriak, menawarkan makanan lain yang jauh lebih ganjil. Mungkin kalau itu dilakukan saat mereka berkumpul di seputar area keraton dalam kondisi normal, akan membuat orang-orang terganggu. Hanya di sini, di rawa-rawa Jatina Nagara, dalam kondisi perbekalan begitu minim, tawaran itu terdengar begitu tulusnya.

“Ada yang mau panggang Tokek? Ternyata enak. Di sini banyak, mau?”

“Daging Sanca ternyata gurih juga. Ayo, siapa mau bakar Sanca?”

Ukur sempat hendak mengambil satu potongan lain bakar buaya. Namun segera ia mengurungkannya. Buaya bagaimana pun bukanlah makanan saat normal. Jadi kalau ia makan saat ini, itu hanya karena kondisi yang ia hadapi pun jauh dari normal. Menurutnya, di saat tidak normal tak ada alasan apa pun untuk menikmati makanan lebih dari ukuran wajar. Tak elok juga bila para prajuritnya memandangnya haranga[1], melakukan pesta makan meski hanya dengan modal daging buaya!

Rawa-rawa Jatina Nagara memang membuat aman pasukan Ukur dari serangan Kompeni Belanda. Tetapi mereka sama sekali tak aman dari serangan nyamuk. Malam itu hampir seluruh pasukan diganggu nyamuk. Besar-besar, hampir sebesar kelingking bayi ukurannya. Saat terbang memutari kepala bunyinya berdenging kencang, membuat para prajurit tak bisa tidur.

Akhirnya karena tak tertahankan, sebagian membuat unggun dari daun-daun kering, sengaja asapnya dibiarkan membubung kuat. Sebagian lagi memilih melumuri badan dengan apa saja yang ada. Yang beruntung menemukan serai melumuri tubuh dengan tumbukan serai. Ada pula yang memakai daun salam, lengkuas, jahe, apa saja tanaman yang menghasilkan bau. Namun ada pula yang salah karena justru melumuri diri dengan getah rengas yang membuat kulit tak sekadar gatal-gatal, melainkan juga melepuh, mengelupas dan mengeluarkan air yang bau.

Pada saat-saat seperti itu wajar bila ada orang-orang yang juga ‘tidak normal’. Alih-alih melumuri tubuh dengan tumbuhan antinyamuk, mereka malah melumuri badan dengan gemuk ular atau buaya, sisa-sisa pemanggangan. Tetapi apa pun yang mereka lakukan, itu cukup membuat serangan nyamuk sedikit berkurang. Buktinya, pada saat dini hari hampir semua pasukan tertidur, kecuali mereka yang kebagian berjaga.

***

Esoknya tiba-tiba datang seorang caraka dari Tatar Ukur, membawa surat dari Nyimas Saribanon yang saat itu sudah tak lagi berdiam di keraton Tatar Ukur. Surat itu mengabarkan bahwa Tatar Ukur diserang pasukan Mataram.

“…Para gadis, istri-istri prajurit banyak yang diperkosa para prajurit Mataram. Dinda sendiri hampir diperkosa kalau saja tidak diselamatkan prajurit Kakanda. Mohon pertolongan segera…” demikian Ukur membaca cepat surat tersebut.

Segera Ukur tertegun. Badannya tergetar karena amarah yang menggedor dadanya. Hm, begini ternyata sikap dan perilaku para urang wetan itu? Merasa sah untuk memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Dia tahu, pasti pasukan Mataram itu sebagian dari pasukan Tumenggung Bahureksa yang kini tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdiam di sekitar api unggun setiap malam di Marunda, menantikan bala bantuan dari Mataram datang.

Tetapi menunggu apa? Yang diperlukan pasukan Mataram dan Ukur saat ini adalah meriam kuat yang mampu menjebol dinding batu tembok Benteng Batavia. Sekian banyak katapul sudah dicoba, sekian kali serangan ribuan prajurit yang kini rata-rata membawa tali berpengait untuk memanjat tembok. Tetapi hingga hari ini para serdadu Kompeni dan keluarganya aman-aman saja di balik tembok. Jelas, yang diperlukan pasukan pengepung saat ini tak lain dan tak bukan hanya meriam, terutama meriam yang kekuatan ledakannya mampu menghancurkan tembok batu setebal tiga perempat meter dalam satu ledakan!

“Caraka!” kata Ukur, siap memerintah. “Istirahatkan kudamu. Makanlah apa yang ada. Di sini sejak lama kekurangan makanan. Nanti tunjukkan jalan tercepat menuju tempat perlindungan keluarga Tatar Ukur.” Caraka yang masih berkeringat akibat perjalanan itu segera mengacungkan sembah, lalu membawa kudanya ke istal darurat yang dibangun di markas yang sama daruratnya itu.

Meski matahari pertengahan September tengah terik-teriknya membakar apa yang ada di bumi, Ukur dan pasukannya siang itu juga segera berangkat meninggalkan wilayah rawa-rawa Jatina Nagara. Entah bagaimana perasaan para prajurit Sumedang-Ukur saat itu manakala meninggalkan Batavia tanpa kemenangan. Barangkali senang, karena bagaimana pun sebenarnya di hati masing-masing percaya bahwa peperangan yang mereka lakukan sejatinya bukanlah peperangan mereka. Itu jelas perang karena ambisi orang-orang wetan untuk menaklukan Batavia, mengusir Kompeni.

Tetapi mereka juga tahu bukan Kompeni itu yang menjadi penyebab sebenarnya. Kompeni yang bercokol di Batavia harus diusir dan dihancurkan karena kekuatan mereka menghalangi niat Mataram untuk menyerbu dan menaklukan Banten, salah satu kerajaan di Jawa yang berdiri dengan merdeka, bebas dari aturan dan cengkeraman Mataram. Jadi persoalannya bukanlah pembebas berhadapan dengan pasukan penjajah, karena pasukan Mataram pun sebenarnya tak lebih dari penjajah kedaulatan negeri-negeri lain di Pulau Jawa sendiri.

Tetapi bagaimana mungkin para prajurit Sumedang-Ukur itu bisa merasa senang? Mereka mendengar kabar bahwa rumah tinggal mereka didatangi para duruwiksa Mataram. Bukan hanya harta benda, kehormatan para istri dan gadis mereka juga dianiaya dan diperkosa. Wajar bila mereka sangat bersyukur manakala majikan yang mereka cintai, Dipati Ukur, memerintahkan mereka segera pulang dan kembali ke anak istri. Mereka juga tahu, sejak terlambatnya kedatangan pasukan Mataram di Karawang, tampaknya majikan mereka sudah tak lagi punya rasa hormat kepada Keraton Wetan.

“Umbul Tarogong, Umbul Limbangan, pimpin wadya bala kita menuju Tatar Ukur. Hanya lewatilah wilayah Gunung Bukittunggul, karena kata Caraka, di wilayah itu ada sisa-sisa keluarga kita mengungsi. Kula akan mendahului bersama sepasukan kecil pasukan berkuda. Makin cepat kita menenteramkan keluarga kita, tentu lebih baik,” kata Ukur memberi perintah. Kedua pimpinan pasukan yang diberi amanat segera menyembah, lalu menemui barisan prajurit untuk segera melaksanakan titah.

Hari itu pasukan Sumedang-Ukur berjalan hampir tanpa istirahat. Dari Jatina Nagara mereka menuju arah tenggara, melintas wilayah Baghasasi. Di sini mereka bermalam semalam, sambil beristirahat dan menambah perbekalan seadanya. Paginya pasukan yang masih berjumlah ribuan itu terus mengarah ke selatan melintas Cibarusah dan Cipunagara, menuju daerah bergunung-gunung di utara Tatar Ukur. Umbul Tarogong memperkirakan mereka akan tiba di daerah pegunungan utara Tatar Ukur itu di hari keempat perjalanan.

Perjalanan Ukur dan sepasukan berkudanya juga tak kurang berat. Bukan karena medan perjalanan, melainkan lebih karena dada yang penuh rasa kuatir. Ukur dan pasukannya sadar, waktu kini beranjak sangat berharga. Mereka berpacu dengan rombongan pasukan Mataram yang tentu juga tengah mencari para pelarian dari Tatar Ukur. Orang-orang Mataram itu pandai menyakiti hati orang, dan mereka tahu bagaimana dampak rasa sakit itu terhadap psikis musuh.

“Bila ternyata istri-istri kalian telah dirogahala, dilecehkan kehormatan, jangan pernah menyalahkan mereka. Kita tahu orang-orang Mataram itu liarnya seperti apa. Mereka laiknya anjing-anjing yang dibiarkan tuannya untuk merambah, merusak. Jangan salahkan apa pun yang mereka rusak. Balaslah dengan membunuh anjing-anjing ganas itu,” kata Ukur saat mereka beristirahat.

Tak ada yang menjawab. Semua diam, menunggu saat-saat bertemu, entah dengan istri-istri dan keluarga mereka, atau justru dengan musuh yang juga mereka harapkan bersua. Seorang prajurit tanpa sadar mengelus pegangan duhungnya, keris tak bereluk khas Sunda. Tampaknya prajurit itu tak akan banyak bercakap bila nanti bertemu orang-orang Mataram. Keris duhungnya itu yang akan menjadi juru bicara dirinya.

Mereka telah jauh meninggalkan pasukan infanteri yang masih berada di wilayah Baghasasi. Bila dihitung dengan perjalanan jalan kaki, jarak antara pasukan berkuda yang dipimpin Ukur dengan pasukan infanteri yang dikendalikan dua Umbul itu sekitar sejauh sehari perjalanan. Ukur dan pasukannya telah melewati Cibarusah, Cipunagara, dan kini memasuki aliran besar Sungai Citarum. Tempat itu jauh letaknya dari Caravam atau Karawang, tetapi masih termasuk wilayahnya di ujung selatan. Udaranya sudah tak lagi ada hawa-hawa laut, bahkan mulai dekat ke hawa dataran tinggi di pegunungan.

Tak berapa lama pasukan Ukur telah menunggangi kembali kuda masing-masing. Dimulai dari Ukur yang menyentak kekang agar Si Sembrani maju, pasukan itu pun segera bergerak cepat. Kuda-kuda dengan para prajurit di atas punggungnya itu bukan lari berlari, melainkan seolah menyambar laksana anak panah lepas dari busurnya. Tujuannya satu, menemukan istri dan sanak keluarga mereka, atau menemukan musuh, orang-orang Mataram, dan membunuhnya saat itu juga. [bersambung]

[1] Maknanya dekat dengan serakah

Back to top button