Ukur
Selesai mandi dengan tumbukan daun lamtoro di pancuran belakang rumah, Ukur merasa amat segar. Tumbuk daun lamtoro itu begitu ampuh menghilangkan keringat dan minyak-minyak tubuhnya yang keluar deras setelah seharian beraktivitas.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.–
Episode-3
Sultan kemudian berjalan mengelilingi Wangsataruna, seperti meneliti sekujur tubuh prajurit barunya itu. Mencermati bongkah-bongkah otot yang menempel dan berkembang ideal di tubuh si pemuda, seolah Sultan tak hendak di tubuh itu terdapat sebuah kelemahan yang akan mengurangi kualitas prajurit barunya itu. Tak hanya mengagumi otot-otot tangan dan betis pemuda, melainkan juga otot belikat, selangka dan bahu yang kukuh membangun tubuh pemuda itu menjadi begitu tegaknya.
“Hamba, Gusti Prabu,” kata Wangsataruna, tak ingin Sultan Agung menganggapnya tak merespons pernyataan rajanya itu. Ah, kata-kata itu lagi yang diucapkannya. Bukan karena pemuda itu gagap atau tak piawai bersilat lidah. Hanya memang kata-kata semacam itu saja yang bisa ia ucapkan di hadapan penguasa Mataram itu, sesuai ajaran yang berkali-kali ditanamkan kepadanya oleh para atasannya, senapati dan hulubalang Kerajaan Mataram. Kecuali, kata mereka, memang Sultan menghendakinya berbicara.
“Prajurit Wangsataruna, dengar. Mulai saat ini kau kuterima berbakti kepadaku. Untukmu kuberikan nama baru, Ukur, sesuai asalmu. Pangkatmu sejak ini adalah bekel yang mengepalai satu kompi pasukan kavaleri Mataram. Di atasmu ada Senapati Ronggonoto, orang yang kau bertanggung jawab langsung kepadanya. Di atas itu pimpinanmu adalah Tumenggung Bahurekso, baru kemudian diriku,” kata Sultan.
“Sendika, Gusti Prabu!” jawab pemuda Wangsataruna yang kini telah berganti nama menjadi Ukur, disesuaikan dengan tempat asalnya itu. Jawaban tegas yang menyatakan kesiapan untuk menerima perintah junjungannya itu. Memang menjadi kebiasaan Sang Sultan untuk memberikan nama sebagai pengganti nama lama abdi-abdi barunya.
“Tahukah kau mengapa aku langsung memberimu pangkat yang tinggi di ketentaraan Mataram? Karena aku percaya, sebagai terah kulon, kau pasti memiliki kesaktian yang luar biasa. Dan itu telah kau buktikan lewat ujian yang kuberikan. Kesaktianmu itu pertanda bahwa dirimu terahing kusumah rembesing andanawarih—keturunan bangsawan, berdarah raja-raja, dari tanah kulon, Tanah Pasundan,” kata Sultan Agung.[1]
“Hamba hanya sekadar keturunan bulu taneuh[2], Gusti. Ayahanda hanyalah seorang petani di pinggiran gunung…”
“Cukup!” Suara menggelegar Sultan Agung serta merta menghentikan ucapan Bekel Ukur. “Aku tahu pasti adat istiadat kalian, orang kulon, yang senantiasa berusaha merendah. Silakan kau akui dirimu sebagai apa pun. Yang jelas, hanya keturunan bangsawan yang memiliki kedigjayaan seperti yang kamu punyai. Aku tak peduli dengan asal-usulmu, Wangsataruna. Yang paling aku pentingkan darimu adalah ketaatan dan baktimu kepadaku, rajamu, dan kepada Mataram yang kini menjadi negerimu. Kau mengerti?”
“Hamba, Gusti Prabu!”
“Senapati Ronggonoto!” teriak Sultan, mencari pimpinan pasukan berkuda yang sebenarnya tak jauh berada di belakangnya.
“Hamba, Gusti Prabu,”Ronggonoto tergopoh-gopoh menghampiri.
“Aku serahkan Wangsataruna kepadamu. Didik dan asuh dia sehingga menjadi prajurit Mataram sejati. Aku percayakan dia kepadamu.” Sultan memerintah. Sejurus kemudian ia meminta pembesar-pembesarnya pergi. “Ayo, kita ke balairung.”
“Sendika Gusti.” Ronggonoto menjawab kedua perintah itu dengan satu jawaban tadi. Alih-alih mengurusi Ukur, bekel baru bawahan langsungnya, ia malah meminta seorang prajurit untuk mengurusi keperluan Ukur dan mengenalkan seluk-beluk barak dan lingkungan keraton. Tanpa menyapa, ia langsung meninggalkan Ukur, mengejar rombongan Sultan ke balairung.
Tinggal pemuda Wangsataruna yang kini bernama Ukur itu berdiri sedikit merasa ganjil. Ia sempat mencuri pandang wajah Senapati Ronggonoto. Mata pemuda itu menengarai kilatan cahaya di sana. Bukan kilat kasih atau rasa pertemanan, melainkan lebih dekat kepada semacam ketidaksukaan.
Tidak lebih dari tiga hari Ukur menginap di rumah Senapati Ronggonoto. Benar-benar sementara. Selain karena merasa tidak kerasan dengan suasana yang diciptakan empunya rumah, atasannya sendiri itu, keraton pun sudah menemukan sebuah rumah yang layak untuk seorang bekel seperti dirinya. Letaknya hampir di sudut benteng, dekat dengan istal kuda dan lapangan tempat para prajurit berlatih olah kanuragan dan seni kemiliteran.
Ukur benar-benar menyukai tempat itu. Tempat yang cocok, tak hanya buat seorang lajang, juga untuk seorang pemuda dengan kepribadian sedikit pemalu seperti dirinya. Di rumah itu, setiap sore usai tugasnya sebagai seorang bekel di keraton, ia akan menemukan keheningan yang benar-benar menenteramkan jiwanya.
Bahkan sebelum magrib pun lapangan di depan rumah itu sudah sesunyi layaknya tengah malam di bagian keraton lainnya. Hanya suara jangkrik, kodok, atau nyanyian seranggga malam lainnya, itu pun hanya di waktu-waktu tertentu. Selebihnya, bunyi-bunyi yang didengar Ukur kadang hanya suara-suara yang ia hasilkan sendiri dalam aktivitasnya.
Seperti juga petang itu. Selesai mandi dengan tumbukan daun lamtoro di pancuran belakang rumah, Ukur merasa amat segar. Tumbuk daun lamtoro itu begitu ampuh menghilangkan keringat dan minyak-minyak tubuhnya yang keluar deras setelah seharian beraktivitas. Dengan kain sarung kumal yang dibawanya dari Timbanganten, wilayah di lereng Gunung Malabar yang dicintainya. Wilayah yang asri, hijau dengan beragam pepohonan, makmur dengan deretan ladang yang luas sejauh kata memandang.
Saat di Timbanganten Ukur tinggal di Tegal Luar, wilayah perbatasan antara Dukuh Banjaran dan Kampung Cipeujeuh. Dulu kala Timbanganten termasuk wilayah Kerajaan Pajajaran. Dengan bijaksananya Pajajaran memperlakukan wilayah-wilayah bawahannya, kemakmuran segera melingkupi warga-warga seantero Pajajaran. Apalagi Timbanganten yang memang berada di kawasan pegunungan yang subur.
Sering ingatannya menerawang kembali ke Tanah Pasundan yang membesarkannya. Selalu tanah subur berpemandangan alam indah itu mengusik batinnya, menegurnya untuk segera pulang. Sekian banyak leuwi dan curugnya selalu saja membuat Ukur merasa rindu untuk segera pulang dan mengabdi kepada bali geusan ngajadi itu.
Ingatan akan alam Sunda itu selalu membawa Ukur mengingat-ingat petikan syair Kacapi Suling yang selalu membuat hatinya basah akan kasih.
Sunda surup kana tangtung,
Sunda sieup, nimbang kana wanda
Gunung-gunungna, cur-cor caina
Ngaplak pasawahannana…
Dengan sarung tua itu Ukur mengeringkan badannya. Diambilnya kemudian selembar kain cukup panjang yang akan dipakainya sebagai pakaian dalam. Salah satu ujung kain itu ditariknya melewati selangkangan, menutupi pantat. Setelah itu baru ia mengenakan celana pangsi hitam, juga bagian dari bekalnya saat berangkat beberapa bulan lalu ke Mataram.
Untunglah, seragam prajurit Mataram pun memakai celana pangsi hitam, hingga kepemilikannya akan celana jenis itu segera bertambah. Agar kuat, celana dan kain kancut itu pun diketatkan dengan sebuah ikat pinggang kulit selebar telapak tangan.
Barulah kemudian Ukur mengubek-ubek buntalannya, mengeluarkan selembar baju mulai lusuh dan dipakainya. Baju kampret putih hasil tenun tangan para pengrajin tenun di daerah Banjaran yang terkenal tak hanya di Timbanganten, Sumedang Larang atau pun Banten. Kehalusan kain tenun Banjaran juga terkenal sampai Mataram, bahkan Kerajaan Sampang dan Lampung di seberang pulau.
Sebelumnya, baju yang seharian ini ia kenakan telah direndamnya dalam baskom kayu bersama beberapa butir buah lerak. Ukur bermaksud mencucinya selepas isya nanti.
Di tengah rumah, sambil bersila Ukur membuka kiriman dapur umum yang diterimanya setiap pagi dan sore. Dibukanya daun jati yang menutup gerabah tanah itu, dan segera didapatinya sepotong besar ayam di atas tumpukan nasi merah. “Hm, garang asem. Lumayan dibanding pagi tadi,” ujarnya membatin. [bersambung]
*Illustrasi
dari grafik novel ‘Kisah Wali Songo’, Gerdi WK
[1] Mataram memiliki dua jalur pengangkatan prajurit professional, yakni melalui cara magang dan test penerimaan keprajuritan. Lihat HJ de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Graffitipers, Jakarta, 1990, hal. 127.
[2] Keturunan petani pengolah tanah.