UKUR
Setelah sekian lama kepalanya dibenam-benamkan ke dalam air, dicekik hingga nyaris mati kehabisan nafas, di hari ketiga Warga menyerah. Ia berteriak ketakutan manakala sebuah alat penyiksaan yang disebut ‘kursi Yudas’ di bawa ke hadapannya
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode -31
Pada 3 Desember 1628 Tumenggung Suro Agul agul memang meninggalkan Batavia. Tetapi sebelumnya dia bukan sama sekali tak melakukan sesuatu. Dan bila melihat karakternya yang keji, memang aneh bila ia sama sekali tak mencoba melakukan apa pun untuk mencelakakan Kompeni.
Bagaimana bisa ia melewatkan begitu saja kekesalannya kepada Kompeni, musuh besar susuhan yang ia sembah–Sultan Agung– bila kepada rekan-rekan senegaranya saja, pasukan Adipati Mandurareja, ia tega membantai habis tanpa perasaan? Tak sedikit pun Suro Agul-agul memberi penghormatan, katakanlah dengan menguburkan ke-744 jenazah pasukan Mataram yang ia bantai itu, bahkan kalau pun dalam satu lubang kuburan besar. Janganlah dengan mengkafani, menyolatkan, dan mengantar mereka semua, pasukan yang datang demi Mataram itu, dengan doa-doa. Ia meninggalkan ladang pembantaian itu begitu saja. Menyisakan sekian banyak mayat terkapar laiknya binatang buruan yang tak dikehendaki. Tak jarang mayat-mayat itu tanpa kepala[1] seolah sengaja membuatnya sebuah monumen berdarah yang keji, mempertontonkan kekejaman tanpa kejelasan arti. Sampai kemudian ditemukan manusia-manusia asing dari negeri lain, yang mencatatnya hingga kekejian itu sampai kepada kita hari ini.
Tiga pekan sebelumnya, sesegera pasukannya mencapai Jakatra, Suro Agul agul memerintahkan mereka membendung Sungai Ciliwung. Tidak kurang dari 3.000 anggota pasukan digerakkan. Sang Tumenggung terinspirasi hasil pertempuran Surabaya, saat Mataram berhasil mengambil alih kota itu dengan membendung Kali Mas dan membiarkan orang-orang Surabaya minum air kotor yang telah diracuni bangkai binatang, tandan-tandan buah aren busuk yang menimbulkan penyakit gatal, serta berbagai sampah busuk lainnya[2].
Suro Agul-agul ingat, pada pertempuran Surabaya, cara itu menimbulkan serangan wabah pes di benteng musuh. Pasukan Mataram kemudian nyaris tak harus berperang. Surabaya langsung menyerah. Saat pasukan Mataram memasuki benteng kota, yang mereka temukan hanyalah orang-orang yang memang sudah tak akan mampu lagi berperang. Semua terkena muntah berak parah, sebagian besar malah telah meninggal. Mayatnya bertebaran sampai di jalan-jalan.
Itulah sebabnya, beberapa hari setelah upaya membendung Ciliwung itu dilakukan, Suro Agul agul sempat bertanya kepada para telik sandinya. Namun alih-alih mendapatkan jawaban memuaskan tentang porak-porandanya pasukan musuh karena penyakit, sang Tumenggung malahan mendapatkan laporan yang membuat wajahnya merah terbakar: saat itu di pasukan Mataram sendiri beratus-ratus jatuh sakit dan tewas mengenaskan. Kelaparan, berbagai penyakit, terutama serangan muntah berak dan disentri, telah membunuh mereka.
Sang Tumenggung tak habis pikir, bagaimana para Kompeni bisa bertahan tanpa air bersih yang alirannya telah mereka bendung?
Itulah yang membuatnya gundah, hingga akhirnya memilih untuk menunaikan tugas paling dasar yang diberikan Sultan Agung: membunuh Adipati Mandurareja dan Adipati Upasanta karena dianggap gagal menjalankan tugas.
Pada saat Suro Agul-agul meninggalkan Jakatra, ia belum tahu apa yang dilakukannya cukup memberikan dampak buryuk kepada para Kompeni penghuni benteng. Suro Agul agul pulang dalam gundah, dengan perasaan kecewa dan kurang terhormat, karena hanya mampu membunuh teman seperjuangan, jauh-jauh datang dari Mataram.
Ternyata kegundahan Suro Agul-agul selama perjalanan dua bulan lebih itu mendapatkan puncaknya saat tiba di Mataram. Sultan Agung, yang merasa disalahkan penasihat spiritualnya, Ki Juru Mertani—kakek Adipati Mandurareja, justru mengkambinghitamkan dirinya atas terbunuhnya kedua adipati bersaudara kandung itu.
Tak hanya itu, warga Mataram pun tak sedikit yang protes. Mereka melakukan pepe[3] di Alun alun Keraton, protes atas kekejian yang dilakukan Suro Agul-agul. Adipati Mandurareja dan Upasanta adalah dua pahlawan pertempuran Pajang dan Surabaya. Keduanya pun merupakan anak cucu pendiri Mataram dari darah Ki Juru Mertani. Tak layak kedua pahlawan itu diperlakukan sehina apa yang telah mereka terima.
Itulah yang membuat Sultan gundah. Sebelumnya ia tak menghitung hal itu akan terjadi. Keluarga besar Ki Juru Mertani adalah keluarga yang sangat dihormati rakyat Mataram. Dan mereka semua loyal kepada raja, siapa pun yang pernah memerintah Mataram. Sultan baru tersadar, apa yang telah ia lakukan benar-benar sebuah kesalahan fatal.
Namun bukan Sultan Agung bila otaknya tak segera berputar dan menemukan celah keluar. Sebagai seorang raja, dengan gampangnya semua kemasgulannya itu diubahnya menjadi gusar. Sultan berubah marah kepada Tumenggung Suro Agul-agul. Menurut Kanjeng Sultan Agung, Suro Agul agul salah mengartikan perintah yang ia berikan. Bukan membunuh, bukan pula membasmi seluruh anggota pasukan. Hanya menggantikan Adipati Mandurareja memimpin pasukan dan menggempur terus Jakatra hingga kota itu mereka rebut. Bila perlu dengan kondisi hancur lebur sekali pun.
Itulah yang kemudian membuat perjalanan pulang Tumenggung Suro Agul agul sejatinya tak lebih dari menyerahkan leher untuk digorok menuju kematian. Hanya berselang waktu singkat sejak kedatangannya ke ibu kota Kartasura, Suro Agul agul pun menerima perlakuan sebagaimana yang ia lakukan kepada Mandurareja dan Upasanta. Mati, perlaya dibunuh sebagai orang bersalah, alih-alih dilimpahi terima kasih telah melakukan perjalanan darat berbulan-bulan dan berkeringat darah menyerbu Kompeni di Jakatra.
Di Jakatra, meski dari luar benteng kelihatan normal-normal saja, Kompeni tak sepenuhnya bebas dari dampak pembendungan Sungai Ciliwung. Sekitar sepekan mereka memang masih bisa bertahan tak kekurangan air karena sudah memiliki persediaan air dalam ratusan drum kayu yang diangkut dari Sungai Untung Jawa. Sungai ini, entah mengapa, luput dari penjagaan pasukan Mataram[4].
Namun untuk seterusnya, manakala pasukan Suro Agul-agul telah berangkat meninggalkan Jakatra, penghuni benteng, baik Hollandia maupun Batavia, mulai terserang diare. Ratusan orang berebut untuk menggunakan jamban-jamban sederhana yang ada di dalam benteng. Sebagian, karena tak tahan mengantre, akhirnya terpaksa membuang hajatnya sembarangan. Di hari ketiga serangan diare itu tak hanya bau tinja busuk meruap kemana-mana, melainkan sekian puluh orang mati lemas kekurangan cairan akibat buang air besar yang frekuensinya tak tertahankan.
Batavia, Juni-Agustus 1629
Bulan tengah berada di puncak langit manakala perahu yang dinakhodai Warga mulai merapat ke dermaga Pelabuhan Kalapa. Demikian pula ke-12 perahu di belakangnya, meski masing-masing mengambil jarak beberapa ratus meter agar tak terlalu kentara sebagai rombongan. Lepas tengah malam, bahkan beranjak dini hari saat ke-13 perahu itu merapat ke dermaga.
Warga mengeluh. Angin laut yang berembus sepoi sejak mereka berangkat dari Tegal sehari lalu benar-benar menjadi kendala, membuat pendaratan itu lebih lambat dari rencana. Ia tak sadar, sesuatu yang lebih buruk tengah menantinya di daratan.
Baru saja kakinya menginjak tanah pelabuhan, ia dan orang-orangnya telah dikepung. Kompeni! Tak berdaya, Warga tak bisa lain kecuali membiarkan dirinya dan anak-anak buahnya dibawa ke dalam benteng. Tiga hari lamanya ia bertahan menjalani siksaan pasukan Kompeni. Dia saksikan satu persatu anak buahnya mati tak tahan menanggung siksa Kompeni. Para serdadu bayaran Kompeni itu benar-benar brutal dalam menyiksa orang. Mereka datang bergantian dengan caranya masing-masing. Orang-orang Jepang, ronin tak bertuan, senang sekali menggunakan wakizashi[5] mereka untuk mengiris-iris perut tawanan yang disiksa untuk dikorek keterangannya. Usai itu, dengan pedang yang sama mereka akan mengiris-iris limau atau jeruk nipis dan mencucurkan airnya ke perut yang sudah diiris-iris itu. Bisa dipastikan ruang penyiksaan akan riuh oleh lolong kesakitan mereka yang menjalani penyiksaan.
Orang-orang mardijker lain lagi. Mereka lebih suka menggunakan alat semacam rak. Tahanan akan dibaringkan di dalam rak tersebut. Lalu leher, kedua tangan serta kakinya diikat. Dengan dua orang di bagian kepala dan kaki memutar sebuah balok tempat tali pengikat tangan, leher dan kaki bergulung membelit balok tersebut, leher, tangan dan kaki tawanan pun akan tertarik ke arahnya masing-masing. Biasanya, sebelum kaki dan tangannya terlepas, si tawanan akan lebih dulu mati tercekik.
Sementara orang-orang Ambon, Bali dan orang Celebes yang tergabung ke dalam serdadu Kompeni lebih memilih palu untuk menyiksa. Mula-mula mereka akan menggetok jari-jemari si tawanan. Kalau belum juga mengaku, sasaran akan berpindah ke tempurung lutut, jari kaki, serta akhirnya apa pun yang mereka maui.
Selama dua hari Warga mampu bertahan. Itu karena siksaan yang dia alami masih masuk akal. Namun, setelah sekian lama kepalanya dibenam-benamkan ke dalam air, dicekik hingga nyaris mati kehabisan nafas, di hari ketiga Warga menyerah. Ia berteriak ketakutan manakala sebuah alat penyiksaan yang disebut ‘kursi Yudas’ di bawa ke hadapannya. Sesuai namanya, alat itu memang sebuah kursi. Namun alih-alih menyenangkan untuk diduduki, melihatnya pun akan membuat orang tergidik ngeri. Alat serupa kursi itu hanya memiliki tempat duduk berupa logam runcing panjang laiknya puncak gunung. Maka manakala seseorang didudukkan di sana, sudah pasti yang terjadi adalah duburnya diterobos logam runcing tersebut. Warga sadar, tak mungkin ia akan bebas dari maut setelah didudukkan di sana. Maka sebelum orang-orang itu memaksa dirinya, ia memilih lebih dulu menyerah.
Dari mulut Warga, keluarlah segala macam persiapan yang telah dilakukan Mataram untuk serangan besar kedua mereka ke Batavia.
“Gudang beras didirikan di Tegal, amunisi dan meriam sudah diberangkatkan dari Pekalongan, menuju pelabuhan Subang,” kata Warga yang ketakutan. Kompeni belum juga membebaskannya, tak hanya kuatir info yang diberikan Warga bohong semata. Selain itu, mereka masih ingin mengorek apa pun dari mulut orang Tegal yang sempat tinggal di Jakatra di rumah Maseyk, seorang pejabat pajak di Batavia[6]. Belakangan, orang-orang Kompeni sadar, Warga adalah utusan Tumenggung Tegal saat Mataram mengajak Kompeni bersama-sama memerangi Banten, sekitar dua tahun sebelumya. Ajakan yang berbuah kemarahan Sultan Agung manakala Jan Pieterzoon Coen alias Murjangkung menolaknya.
Berbekal informasi dari Warga, Coen memerintahkan Komandan Block Marts memberangkatkan kapal-kapal cepat Cleijn Arnemuijden, Kemphaen dan Cleijn Hoope berlayar bolak-balik melakukan patroli di sepanjang pantai Laut Jawa. Satu pekan kemudian diberangkatkan pula dua kapal cepat lainnya, Cleijn Heusden dan Teyouhan, menguatkan armada patroli tersebut[7]. Tiba di Tegal, kelima awak kapal cepat itu turun ke darat, menyisir kota untuk menemukan gudang-gudang beras Mataram. Saat menemukannya, beras-beras itu sebagian diangkut ke kapal-kapal mereka, sebagian besar lainnya dibakar sekalian bersama gudangnya. Tak cukup hanya membakar gudang beras, Kompeni juga membakar setidaknya 200 perahu dan 400-an rumah di sepanjang Pantai Tegal.
Serangan untuk menghancurkan kekuatan logistik Mataram itu tak berhenti sampai di situ. Sekitar bulan Juli, Kapten Wagensvelt yang menggantikan Block, merasa bahwa selama ini Keraton Cirebon telah bermuka dua. Saat berlayar dengan kapalnya, Salm, ia berlabuh sebentar di Desa Gabang, di wilayah Keraton Cirebon. Dari sana, ia dan pasukannya menyisir pelabuhan dan membakar puluhan gudang berisikan ribuan karung beras. Sebagaimana Block, Wagensvelt pun membakar semua perahu yang tertambat di pelabuhan, tak memandang apa kapalnya dan siapa pemiliknya. Alhasil, dengan dua serangan itu pun hancur leburlah logistik Mataram yang mereka siapkan untuk penyerangan kedua kalinya itu.
Bila semua itu membuat Kompeni berharap pasukan Mataram mengurungkan niat mereka melakukan penyerbuan, harapan itu jelas sia-sia. Pasukan Mataram, terutama para pimpinan mereka tahu pasti apa yang akan mereka dapatkan bila kembali dengan kekalahan sebagaimana para pimpinan pasukan pada serbuan pertama tahun sebelumnya. Dari Tumenggung Bahureksa, Adipati Mandurareja, Adipati Upasanta dan Tumenggung Suro Agul agul, tak ada satu pun dari mereka yang kini masih hidup. Tumenggung Bahureksa dan putranya jelas perlaya di medan laga. Tapi yang lain? Mereka justru mati karena perintah Kanjeng Sultan sendiri, yang gusar karena tak mampu memberinya kemenangan.
Ketakutan akan kematian diri dan seluruh keluarga mereka di Kartasura, membuat Adipati Jumena, Adipati Puger, Pangeran Purbaya dan Tumenggung Singaranu tetap melanjutkan penyerangan, sekali pun hasilnya sudah hampir bisa ditebak. Seberapa lama pasukan mereka yang jumlahnya puluhan ribu itu bisa bertahan sementara logistik yang disiapkan justru kini mengisi gudang perbekalan musuh dan lainnya dihancurkan?
Pada 21 Agustus 1629 pasukan Mataram pun sampai ke wilayah Jakatra. Pasukan darat sudah sampai di wilayah Dirckxlant[8] , sementara pasukan laut datang dari mulut Sungai Ciliwung dan sepanjang pantai utara Jakatra. Entah dengan cara bagaimana mereka bisa menghindari patroli lima kapal cepat Kompeni yang hilir mudik melayari pantai utara hampir setiap hari. Tetapi mereka harus mendarat jauh dari benteng, sebab seluruh dermaga pelabuhan Kalapa sudah dijaga ketat serdadu Kompeni.
Demikian pula pasukan darat. Mereka tertahan di Dirckxlant. Kompeni telah mengerahkan hampir seluruh serdadu mereka keluar benteng, berjejer siap menembaki pasukan Mataram dengan membuat basis pertahanan di Heerenweg[9] .
Kedua pihak hanya berjaga-jaga, sama sekali tak berusaha memulai peperangan. Sampai akhir bulan Agustus, tak ada pertempuran terjadi. Tak ada sebutir peluru Kompeni atau sepucuk anak panah pasukan Mataram, atau peluru meriam kedua pihak yang iseng ditembakkan oleh masing-masing pihak kepada lawannya.
Apalagi memang pasukan Mataram pun sengaja mendirikan markas yang jauh di luar jarak tembak meriam-meriam Kompeni.
Satu-satunya provokasi yang dilakukan pasukan Mataram adalah melepas dua orang Tionghoa yang mereka tawan. Kedua Tionghoa itu dilepas, setelah sebelumnya disiksa habis-habisan. Yang seorang dipotongi tangan, bibir, hidung dan telinganya, lalu dihanyutkan dengan sampan ke anak Sungai Ciliwung yang mengalir ke sekitar benteng. Yang seorang lagi ditarik kakinya sampai putus, dan kemudian mereka sambung dengan rotan. Pada kondisi tersebut orang Tionghoa itu disuruh berjalan kaki ke kota.[10]
Dari
beberapa orang Tionghoa tawanan Mataram yang berhasil melarikan diri, Coen tahu
kondisi pasukan Mataram amat berat. “Mereka punya kuda, gajah dan banyak orang
untuk bertempur,” kata Coen saat meminta para perwiranya berkumpul dalam sebuah
briefing. “Tetapi persediaan beras mereka sudah mulai menipis. Mungkin mereka
haru kembali makan gadong dan mabok weureuh[11],
ya?” kata Coen tergelak. [bersambung]
[1] “VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam ‘Sejarah Indonesia Modern 1200–2008’
[2] ‘Hikayat Jakarta’, Willard Anderson Hanna
[3] Cara rakyat Mataram kala itu melakukan protes dengan duduk sepanjang hari di alun-alun kota Kartasura.
[4] ‘Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia’, Sutrisno Kutoyo, dkk, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1986
[5] Pedang yang lebih pendek dibanding katana, namun selalu dibawa serta. Sepasang katana dan wakizashi disebut daisho, atau ‘panjang dan pendek’.
[6] Surat Gubernur Jenderal J Specx kepada De Heren XVII, 15 Desember 1629, Adolf Heukeun buku 3, hal 74
[7] ibid
[8] Sekitar Jalan Gunung Sahari saat ini, sebagaimana dijelaskan Heukeun pada bukunya, jilid 3
[9] Sekitaran Jalan Pangeran Jayakarta saat ini, Heukeun, ibid.
[10] Surat Gubernur Jenderal J Specx kepada De Heren XVII, 15 Desember 1629, dakam Jonge, JKJ, de, 1877, yang ditulis pula oleh Heukeun dalam bukunya. Tetapi deskripsi ini meragukan, karena pada surat yang sama juga dikatakan keduanya dibunuh.
[11] Mungkin maksudnya untuk melukiskan sebagaimana deskripsi urang Sunda untuk orang yang keracunan gadung, yakni ‘weureu gadung’.