POTPOURRI

Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro dan ‘Guru’ Emha Ainun Nazib, Meninggal

Hilang ia, makin mengada ia. Semua jadi ingat kesintingan hidupnya, masa silam kepriayiannya di Sumba yang Umbu dendami, kekejamannya yang tertinggi terhadap dirinya sendiri, mekanisme kesehariannya yang penuh misteri, dan akhirnya: kesetiaannya sebagai ustadz, yang tak tertandingi.

JERNIH—Sudut kehidupan mana di dunia saat ini yang tidak diporakporandakan corona? Tidak ada. Hari ini Covid-19 bahkan mengobrak-abrik sudut seni yang paling jujur dan nyaris sepi dari pamrih: puisi. Tokoh penyair legendaris-kharismatis, Umbu Landu Paranggi meninggal dunia pada pukul 03.55 WITA.

Kabar maha duka itu diunggah akun “Kenduri Cinta”.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun… Duka kami, mengantarmu ke huma yang sejati Bapak Umbu Landu Paranggi,” tulis Kenduri Cinta pada Selasa (6/4). “Pada hari Selasa tanggal 6 April 2021 pukul 03.55 WITA di RS Bali Mandara.”

Umbu dijuluki Presiden Malioboro, sebuah bentang jalan pendek di Yogyakarta. Almarhum membina komunitas seniman di kawasan itu tahun 1960-an 70-an. Dia guru Emha Ainun Nadjib, mendiang Linus Suryadi AG, mendiang Korie Layun Rampan, dan Ebiet G Ade, untuk menunjukkan betapa besar jasa ‘Sang Guru’.

Penyair kelahiran Sumba Timur 10 Agustus 1943 itu merupakan guru sajak bagi anak-anak muda saat itu, Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santoso, Ebiet.

Di bawah ini tulisan Emha yang dimuat sebagai kolom di majalah TEMPO pada 26 Februari 1983. Tulisan yang sama juga dimuat pada buku kumpulan kolom Emha yang legendaris, “Slilit Sang Kyai”, halaman 202-204.

Ustadz Umbu

Kulit nangka, kulit jipang, rompesan kubis, sawi, slada, serta berbagai sampah dari sayuran dan buah-buahan, dihimpun, dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang darurat. Dan anak muda Sakimin si buta huruf menyeretnya dari pojok Pasar Beringharjo Yogya ke pusat pembuangan sampah.

Itu kerja tetapnya tiap dinihari: untuk sarapan pagi, dan seterusnya, ia berimprovisasi membantu siapa saja di pasar, Sakimin hidup tanpa pijakan, ibunya yang gelandangan sudah lama meninggal dan bapaknya entah siapa.

Suatu malam seorang lelaki gondrong yang garis mukanya kelam jantan seperti kuda menegurnya dan mengajaknya ngobrol. Sampai usianya menjelang 20 tahun cukup banyak yang Sakimin alami, namun tidak banyak yang mampu dirumuskan oleh otak Sakimin. Juga perihal laki-laki itu, tidak banyak yang diketahui Sakimin, kecuali bahwa yang jelas pria itu sangat memperhatikannya.

Beberapa bulan kemudian si gondrong mengusahakannya untuk narik becak. Selanjutnya ia diajari baca tulis. Pada suatu malam, di trotoar Malioboro utara tempat mangkalnya Mas Gondrong itu, Sakimin duduk metingkrang di becaknya sambil membaca komik. Si gondrong dengan beberapa kawannya muncul sambil tersenyum dan berkata, “Lihatlah ini Sakimin, setahun dua tahun lagi ia sudah bisa baca puisi….”

Tidak sampai setahun kemudian si gondrong ini lenyap, sesudah membantu “karier” Sakimin untuk meningkat jadi penjaul rokok. Dan perihal “sudah baca puisi” itu? Wallahualam. Tetapi itulah Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro, yang sesudah kepergiannya tidak seorang pun mampu menggantikanya. Seorang “penyair kehidupan” yang tata nilai kepenyairannya tak mampu kita hitung. Seorang guru paling setia, yang kemungkinan tidak bakal pernah dilahirkan lagi oleh Indonesia. Seorang penggali, pembunuh, pemacu, pelecut, tukang bakar, dan tukang bikin gila, yang di Yogyakarta selalu hadir kembali sebagai fenomena — terutama ketika lingkungan kesusastraan menggelisahkan kemandekan kreativitas. “Habis sekarang tidak ada Umbu…. Kita mestinya membuat suasana seperti pada zaman Umbu dulu…..”

Sastra Yogya sering kali jadi nostalgik, romantik, dan nyinyir, sepeninggal Umbu, 1975. Beberapa sastrawan lain yang potensial, hanya berhasil memacu dirinya sendiri, sedikit mengguncang situasi, tetapi tidak seorang pun mampu menempati peranan Ustadz Umbu.

Tahun 1969, melalui media koran “Pelopor Yogya”, ia mendirikan Persada Studi Klub (PSK): tempat siapa saja belajar menulis sastra, dalam arena percaturan yang unik. Umbu memperhatikan setiap puisi, pertumbuhan kreatifnya, dalam santunan yang tidak general, melainkan menekuni watak, kecenderungan bahkan latar belakang hidup setiap penulisnya. Kalau ia merasa “keliru” memutuskan pemuatan sebuah puisi, sehingga dianggap merugikan perkembangan penyairnya, Umbu tidak segan-segan mendatangi rumah penulis itu untuk “meralat”-nya dan “menormalkan kembali” prosesnya.

Itu berlangsung intensif dan konstan. Umbu merangsang dan melontarkan tantangan lewat “Pos Konsultasi” yang hampir setengah halaman koran, menggunakan metafor seakan itu permainan sepak bola yang menggairahkan: stamina, teknik intuisi, gorengan, dribling, heading, solo-run, akurasi tembakan — dan Umbu berperan sebagai penjaga gawangnya. Para pemula yang menghuni kelas “persada” akan mabuk mimpi memasukkan gol ke “Persada Pilihan” serta cita-cita jangka panjang ke kelas berat “Sabana”. Ditambah dengan diskusi dan reading tiap Minggu pagi, potensi sastra Yogya dan sekitarnya terserap ke dalam suatu greget Galatama puisi, cerpen, esai yang penuh kemungkinan.

Sampai tahun 1975 terdaftar tidak kurang dari 1.500 penulis, dengan 100-an yang berbakat dan 30-an yang menginti. Nama-namanya kini mungkin banyak Anda kenal. Pada waktu itu Yogya betul-betul terasa gayeng, punya darah hangat, serta punya degup jantung tertentu yang khas. Dan tiba-tiba Umbu lenyap.

Pamitnya cuma pergi sebulan, namun tak pernah lagi kembali: kabarnya soal kawin paksa….

Hilang ia, makin mengada ia. Semua jadi ingat kesintingan hidupnya, masa silam kepriayiannya di Sumba yang Umbu dendami, kekejamannya yang tertinggi terhadap dirinya sendiri, mekanisme kesehariannya yang penuh misteri, dan akhirnya: kesetiaannya sebagai ustadz, yang tak tertandingi.

Suatu hari ia telegram ke rumah saya: “Awas, Paranggi mau masuk Yogya…” Kami sibuk suntuk dan mau ekstase, tapi sampai kini ia tak pernah muncul lagi. Ia di Bali: tetap seperti dulu, tempat tinggal tidak jelas, mandi di mana tidak jelas, menyimpan uang di galian tanah, tak pernah banyak cakap, namun satu hal: ia melakukan hal yang sama di Denpasar, lewat Bali post. Tiap Minggu, dua halaman penuh, koran sibuk meriah oleh suasana Galatama Sastra yang amat merangsang pertumbuhan. Tentu Sastra di kota ini, kecematan itu, di desa sana, kampung sini, dalam pengolahan yangs serius hangat.

Sastra Indonesia kini ditantang oleh “gagasan besar”, dan Umbu telah dan sedang melakukan sesuatu yang besar, yang tidak dilakukan oleh orang lain, “Sayang” ia tidak melapor ke “pusat sastra”. [ ]

Back to top button