Waktu Masyarakat Gila Lari Hingga BAB Pun Harus Berdiri
JAKARTA— Berani bertaruh, saat ini tak pernah ada lomba lari lima kilometer, sepuluh kilo, setengah marathon, marathon atau bahkan over-marathon yang kekurangan peserta. Orang– dari anak muda hingga kakek usia renta yang bisa dipetik paksa Malaikat dengan tiba-tiba, seperti tengah menderita gila. Tak pernah ada ajang lomba lari yang sepi, semua ingar bingar diikuti!
Yang teranyar adalah Borobudur Run, lomba lari yang diikuti 11 ribu peserta dan digelar di seputaran Candi Borobudur, 17 November lalu. Di sana, sebagaimana juga event-event lari sebelumnya, kita bisa melihat seolah orang-orang tengah kerasukan hanya untuk merebut dan mengoleksi sebuah logam berhias yang disebut medali. Mungkin pula ada sementara mereka yang menjadikan hal itu sebagai katarsis kehidupan, alias nawaitu mereka mengikuti ajang lari tak lain sebagai juga pelarian dari kenyataan.
Tetapi sebenarnya kegilaan orang Indonesia kepada lari tak hanya terjadi hari-hari ini. Bahkan pasti jauh sebelum Hari Olahraga Nasional (Haornas) dicanangkan Presiden Soeharto pada 9 September 1983. Lagu yang merekam betapa gila larinya orang Indonesia—termasuk orang-orang di kampung saya saat itu, Kampung Putat Timur, Desa Liang Julang, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Daerah Tingkat II Majalengka, Jawa Barat (apa yang kurang?), itu adalah ‘Lari Pagi’ yang dikarang, dinyanyikan dan menjadi meledak karena Raden Haji Oma Irama. Belakangan namanya lebih gampang diucapkan Rhoma saja. Rhoma, bukan lagi R.H. Oma.
Lagu itu telah dikenal publik jauh sebelum Haornas. Setidaknya ‘Lari Pagi’ telah didengar masyarakat mulai 1982, tahun di mana film yang dibintang Rhoma—dan biasa, Yati Octavia serta Ricca Rahim, ‘Sebuah Pengorbanan’, mulai beredar. Di film itu, ‘Lari Pagi’ menjadi salah satu sound-track film, di samping beberapa lagu Rhoma yang kemudian hits, seperti ‘Keramat’, ‘Pengorbanan’, ‘Aduhai’, ‘Ghibah’, ‘Kubawa’, dan ‘Tersesat’.
Karena sejatinya ‘Lari Pagi’ adalah lagu yang merekam fenomena, maka fenomena merebaknya trend kegilaan berlari pagi di masyarakat tentu terjadi sebelum lahirnya lagu itu.
Saya dan kawan-kawan yang saat itu masih anak SD kelas 5-6 juga turut keranjingan lari. Waktu itu, masyarakat kami menyebutnya ‘jogjrog’. Jogging, kalau istilah saat ini.Bedanya, tak sebagaimana anak-anak ‘kota’ Kadipaten, anak-anak Kampung Putat benar-benar menyukai lari sebagai olahraga. Bukan arena pacaran—buat senior-senior yang sudah SMP-SMA, atau tempat pamer sepatu, kolor atau kaos dan celana training baru sebagaimana terjadi pada ibu-ibu (muda) saat itu. Memang bukan dari merk-merk mahal, karena Nike saja baru saya kenal manakala kelas 2 SMP. Itu pun ternyata Nike abal-abal yang solnya akan lapar menganga pada bulan ketiga.
Karena waktu berlari itu Minggu pagi, setiap Sabtu malam saya dan teman-teman biasanya sepakat untuk menginap bersama agar kami tak perlu lagi keliling kampung saling membangunkan. Tentu saja, tempat menginap itu tak lain Tajug (Surau) Al-Bakiak yang pernah saya ceritakan itu.
Tak pernah ada di antara kami yang membawa sepatu olahraga saat malam-malam bada Isya datang kembali ke tajug. Bawaan itu hanya baju yang kami pakai—tak semua juga memaksakan berkaos, celana—entah pendek atau panjang, serta yang pasti: kain sarung. Tak hanya wajib buat shalat subuh, sarung juga bisa menjadi penahan dinginnya udara malam. Apalagi selain tak memiliki pintu dan menggunakan jendela-jendela terbuka, lantai tajug pun hanya berplester semen. Dingin menusuk tulang karena hanya dialasi tikar pandan (samak pandan) yang kini lazim dipakai pembungkus mayat. Itulah yang menjadi peralatan untuk kami ber-jogjrog ria di Mingu dini hari.
Usai shalat Subuh, bahkan kadang saat imam masih memimpin dzikir, kami anak-anak bersicepat keluar tajug. Siap untuk melakukan kegiatan jogjrog atau lari pagi, aktivitas yang lirik lagunya kami semua hafal.
“Heii….lari pagi ( koor : lari pagi!)
“Tua muda semua…
Lari pagi…(koor: Lari pagi!)…”
Tujuan yang jogging yang saat itu trend adalah Sasak (Jembatan) Monjot di Desa Kertajati, dekat Kawasan Bandara Kertajati saat ini. Jembatan tersebut membentang di atas Sungai Cimanuk, sungai yang sejak usainya zaman Kerajaan Padjadjaran dulu telah menjadi sarana transportasi berbagai bangsa yang datang ke Nusantara. Konon, di dekat situlah—sekitar 5 km ke hulu, terletak Dermaga Cimanuk, yang sempat didatangi penjelajah Portugis, Tome Pires. Pada titik bekas Dermaga Cimanuk itulah, jalan Raya Pos yang dibangun Daendels, membentang terpotong Sungai Cimanuk, terus menuju Cirebon, hingga Panarukan. Kampung tempat dermaga itu dulu berdiri kini sudah menjadi desa bernama Babakan Anyar, dari Babakan Sinom dan Karangsambung sebelumnya.
Ke ‘Sasak Monjot’ itulah semua orang,–tua-muda, kanak-dewasa, laki-perempuan, berlari. Wajar bila sepanjang jalan yang dilalui, sekitar tujuh km dari pusat kota Kadipaten, penuh dengan orang-orang, berlarian berlawanan arah. Pasalnya, ada juga yang sudah melakukan jogging ke Monjot itu saat belum lagi adzan subuh tiba, sebagaimana lirik lagu Bang Rhoma.
Kami berada di tengah ratusan, kalau tak boleh dibilang ribuan massa itu. Agak lain sendiri, meski sama sekali tak unik karena ada juga rombongan lain yang sejenis kami, anak-anak langgar. Berlari tanpa alas kaki. Paling sandal jepit, itu pun hanya pada beberapa anak yang terbiasa bersandal. Baju kami dari jenis apa pun, kemeja dan koko umumnya, laiknya anak sok nyantri. Kepala rata-rata berpeci—hitam, karena kopiah putih dalam budaya kami saat itu tabu, hanya untuk para haji. Sementara pada dada hingga menyampir ke punggung terselempang kain sarung. Gambaran paling gampang ya…ingatlah Si Unyil! Dengan kostum seperti itulah, kami berlari.
Ternyata latihan itu jelas-jelas sangatlah perlu. Kami yang tak hanya berlari seenaknya dalam kostum, juga seenaknya dalam waktu. Sering kami berlari pagi menempuh jarak hampir 10 km itu hanya empat bulan sekali. Ada yang tiga atau dua bulan sekali, manakala ingat. Yang paling rajin pun tak sampai sebulan sekali tampaknya.
Akibatnya, kalau pun sampai ke Sasak Monjot, kami rata-rata memaksakan diri. Itu berakibat cukup serius ternyata. Saya sendiri sepulang dari Monjot itu—bolak-balik sekitar 18 km, menderita tak hanya pegal-pegal betis dan kram di paha. Saya tak bisa jongkok tiga hari lamanya! Di hari Minggu itu pas juga hari saya harus buang air besar.
Untunglah saat itu hampir semua rumah di Putat tak punya kakus untuk buang hajat. Untuk buang air—kecil maupun besar, kami melakukannya di luar rumah. Wajar bila saat itu nyaris semua halaman kami berbau pesing. Sementara untuk BAB, orang Putat melakukannya dengan nyaman karena dilewati Sungai Cikasarung. Bayangkan orang-orang Lapangsari, Cibogo dan Heuleut saat itu yang tak memiliki aliran sungai. Mereka biasa ber-BAB di tanah-tanah kosong, kebun, bahkan pekuburan. Sawah tak pernah diganggu gugat, seolah ada tabu untuk melakukannya.
Nah, alhasil hari itu saya BAB sambil berdiri. Waktunya saat mandi bermain di sungai, siang-siang. Agak melipir, jauh dari kerumunan teman-teman agar tak memancing kecurigaan. Sesekali kening saya berkernyit karena cukup susah juga mengejan sambil berdiri. Untung saja taka da teman yang bertanya, mengapa saat bermain air di sungai, kok dahi saya justru keringatan? [dsy]