5 PUISI ACHMAD HAFIDZ SHEKTI AJI

ANDAIKATA – PRA DAN FUTURA
Langit semakin membusuk, menjelma tikar dengan fasad tembaga
Romansa: serupa kabut putih, merebak jingga, berujung jelaga tak terhingga
Keresahan serupa kayu lapuk dimamah rayap-waktu
Dalam spektrum mimpi, namamu mewangi
Aku membayangkan Christoper Nolan menjadikanku The protagonist
Dalam proyeksi romansamu: Pisau, pistol, pil bunuh diri, plutonium, dan rompi tahan peluru
Memeriahkan entropi terbalik, merapal cantikmu dalam badai-badai siklik
Andaikata – kita menjelma roh-roh binatang banal
Atau mungkin jajaran pasangan sentral
Mungkin kita bisa menggantikan posisi qais-layla, atau romeo-juliet
Kisah romansa absurdis, penyebar bunga-bunga utopis
Andaikata – kita, dipertemukan di negara klasik berlandas hukum
Bisakah kita menggurat puluhan adagium?
Nafkahku untukmu hasil panen terakhir komoditas gandum
Di lumbung-lumbung kekaisaran bizantium
Andaikata kita jadi penguntit rombongan maxalmena dan thamlika
Turut bersembunyi di Goa dan terbangun 309 tahun kemudian
di sekitar gunung Tikhayus
Meski saat itu belum ada teknologi infus
Aku akan membuatkan untukmu khusus
Dari serat-serat akasia dan serum paus Nabi Yunus
Mencukupi kebutuhan gizimu sebab tidurmu terlalu lama
Abaikan saja tubuhku, anggap saja tubuhku adalah bagian dari tubuhmu
Andaikata-kita, melantunkan tembang 1 millenium, berpijar dalam futura
Dimana kita serupa entitas fisik dengan otak organik
Tubuh kita dilengkapi pernafasan trakea
Sebagaimana dren dalam sinema splice
Yang terburai dalam amniotomi
Kita berjalan-jalan di pusat pengolahan tenaga surya
Gedung-gedung pencakar langit, menjelma menjadi perobek langit
Mencintaimu kembali diatas gedung ketinggian 7000 kaki
Melihat penjoki sibernetik melepaskan gladiator plastik dengan senjata berbahan akrilik
Ke dalam amfiteatrum kapasitas cilik
Kisah kita legenda, penyempurna almanak romansa
Semoga senantiasa tangguh bersahaja : kekasihku, dalam keping waktu
Berjaya 1 millenium kebelakang, saat ini, dan merangsek 1 millenium ke depan
CATATAN REDAKSIONAL
Andaikata Cinta Menjelma Mesin Waktu dan Ledakan Kultur-Pop
oleh IRZI Risfandi
Achmad Hafidz Shekti Aji, penyair muda kelahiran Malang yang mengaku berasal dari kota “paling sedih seantero negeri,” menulis seperti seorang sineas futuristik yang tersesat di ruang puisi. Andaikata – Pra dan Futura, puisinya yang gemerlap oleh simbol, absurd oleh skenario, dan centil dengan referensi pop—dari Christopher Nolan hingga teknologi infus buatan serat akasia—memasang gigi empat dalam balapan antara cinta, waktu, dan kehancuran. Tidak banyak penyair generasi 2000-an yang berani menyodorkan sebentuk romansa sebagai bahan bakar mesin waktu imajinasi se-brutal ini, sembari tetap mengusung lirisisme puitik yang lembut, meski berduri.
Kita dibawa oleh Shekti Aji ke dalam semesta entropi balik—menggema dari Tenet, tentu saja—di mana cinta bukan lagi sekadar relasi personal, melainkan sebuah hipotesis fisikal dalam badai temporal. Seolah-olah Qais dan Layla bisa menjadi pasangan eksperimen dalam simulasi nuklir: romantisme dipersenjatai, puisi dibungkus rompi anti peluru, dan seluruh lumbung kata-kata digiring ke panggung teatrikal post-apocalypse. Bahkan kalimat seperti “pisau, pistol, pil bunuh diri, plutonium, dan rompi tahan peluru” terdengar seperti rima avant-garde dari katalog senjata sinematik yang secara sinis menyindir peran cinta dalam sistem destruktif.
Namun di balik parade distopia dan ledakan metafora yang menyerupai montase Nolan versi DIY, puisinya menyimpan kerinduan yang sangat manusiawi. “Abaikan saja tubuhku, anggap saja tubuhku adalah bagian dari tubuhmu” adalah baris yang merontokkan semua kemegahan sci-fi dengan satu pelukan subtil. Di sinilah Shekti Aji meletakkan jantung puisinya: tubuh, ingatan, dan waktu yang saling membingkai dalam kemungkinan. Mungkin saja cinta memang tak lebih dari perangkat lunak dalam skenario splice, namun bagi Shekti Aji, skenario itu pantas diperjuangkan hingga millenium mendatang.
Shekti Aji, yang kini bergiat dalam KPKP (Kelompok Puisi Kata Pengantar) di Malang, menulis dari luar orbit sastra arus utama. Puisinya belum banyak menghiasi halaman-halaman antologi besar, tapi justru di situ letak vitalitasnya: ia bukan penyair dari menara gading, tapi dari semacam pusat kendali indie-literer, tempat para penulis muda menyusun ulang peta puisi dengan kompas yang salah arah secara sengaja—dan membanggakan. Ketika sebagian besar penyair sezamannya masih bermain aman di ladang metafora klasik, Shekti Aji menambang uranium imaji dan mengirimnya ke laboratorium semiotik.
Andaikata – Pra dan Futura adalah puisi yang tidak meminta dimengerti sepenuhnya. Ia ingin dibaca seperti kita menonton film dengan plot nonlinear: bukan untuk memahami logika, tetapi untuk merasakan denyut detik yang berlari ke belakang sekaligus ke depan. Dalam lanskap sastra kontemporer Indonesia, ini semacam manifesto minor—berani, sinematik, dan nyaris nekat—tapi juga sangat jujur. Sebab di balik jargon-jargon masa depan, Shekti Aji tetap menulis dengan satu napas yang paling purba dari segala bahasa: cinta.
2025
MENYISIR ZULAWSKI : DIATAS BOLA DUNIA PERAK
Menjelma pemenang dalam fasad jagad
Satu tikaman pisau cukup untuk menghunus balon udara
yang terserak
kilau perak
dan mulai
melayang-layang
dan musafir membenamkan wajah
pada kemah: dan membangun peradaban kepompong
pada kitab-kitab imitasi
pada revolusi gravitasi
Daratan dingin seperti logam
Sementara cacing-cacing kecil akan memakan sayap
Yang penuh kudis dan kurap
“aku adalah penjara bagi kebebasanku sendiri,
aku hewan diantara para hewan,
aku membenci siapapun yang jadi pembenci”
– bunyi-bunyian firman artifisial
SURATAN LANSKAP APOKALIPTIK
-Untuk Eric, anakku terkasih
Hari ini aku terbangun, anakku. Kini aku pandai berpakaian necis
Sambil mengembara jalan pikiran yang realistis
Aku enggan keluar dan mati dengan magis
Sedang manusia insan materialistik
Berharap lekas diperasing di gurun kosmik
Melakukan eksodus besar-besaran
Bukankah katamu: “Manusia, ialah alien bagi makhluk lain”
Yang mengendap dalam zat-zat radioaktif
Besoknya, aku terbangun lagi
Menyelesaikan persamaan dan Cooper dalam 1 jam yang seharusnya 1 millenium
Meski risetku 30 tahun soal ini, dan hidup dibawah ratapan museum
Aku masih gagal juga memahami
simbiosis cinta dan maut
***
PRAKTIKAL ARTIFISIAL
Ritual bekerja di pusat kota
Memburai, membelai koridor mimpi
Membawa semai dan samar desis angin
Jiwa yang bersarang di tubuhku
Membawa kebahagiaan industrial dimana kebahagiaan dikekang dan kecintaan dipasung
Mengantungkan kesenangan pada daun magnolia
Yang berguguran di sepanjang zaman
Melenyapkan kesedihan di bibir tabir
(Menurut penglihatanku)
Kita adalah tahanan dan produk arssitektur di masa lampau
Bak pahatan-pahatan di ujung Manhattan
***
HIPNAGOGIK SISTEMIK
Lanskap soviet gagah meliuk, menimbulkan kubangan sebesar lautan periuk
Merambah gertakan transedental
Terbangun dari mimpi buruk, atau
mimpi basah dengan sensasi mutakhir
Di dinding galeri Museo Novecento
Aku mengendus — kebrutalan manusia
Tarkovsky mahir mengolah, menaungi segala celah
Bermedium pada gurun industri
Baik yang spiritual bahkan ke ranah supratemporal
Degradasi manusia dan objek-objek fana
Kamera meluncur diatas kubang radiasi yang hina
Koin-koin, senapan mesin, dan gelondongan mesin berkarat
Kebusukan anti-psikotik
Membongkar segala intrik
Di kehidupan yang semi-licik, semi-picik
***
BIODATA :
Achmad Hafidz Shekti Aji, lahir di Malang, 30 November 2002. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, Program Studi Agroekoteknologi, Jurusan Budidaya Pertanian.
Terlahir di salah satu kota yang ia sebut sebagai “paling sedih seantero negeri”—Malang—ia bukanlah sosok penyair yang kerap tampil di majalah sastra. Beberapa kali puisinya ditolak, namun hal itu justru menguatkan langkahnya dalam berkarya. Ia kini bergiat di KPKP (Kelompok Puisi Kata Pengantar) Malang, sembari terus menulis dan mengusahakan penerbitan manuskrip puisinya.