5 PUISI ADNAN GUNTUR

PERPUSTAKAAN YANG TERBAKAR
kau membacaku seperti naskah usang dan lorong-lorong menisbikan resep melalui botol, kususun mantra, tubuhku merubah bentuk warna menjadi bau dari tata bahasa yang sesak dilumuri debu
di sini jam-jam berdetak semakin kencang, penjaga mushola adalah rasa sakit seperkian detik yang disalin ke layar-layar kepedihanmu
” dadamu seperti perpustakaan yang terbakar mengeja huruf di kepalaku yang tak tercatat “
Surabaya – Sidoarjo, 2025
PINTU KEMATIAN-KEMATIAN LAIN
kau menggenggam bayangan di balik pintu dan di kamar cat-cat tubuhku mengelupas, pintu semakin tinggi, adzan memekiki langit yang segera patah sebab jendela tak mengetuki pintu dan membisikan lidahnya
jalanan penuh dengan kerikil yang dimuntahkan hujan dan waktu tak pernah mati, mimpi-mimpi, angin bersitegang dengan nyeri dengan sebutan namamu yang berjalan masuk ke telinga sorgaku
doa meraung, memanjati tangga gelap mata, menisbikan kenangan di bawah kuku yang terbuka lebar mengundang kematian pelan-pelan dan kenangan dari kukuku mengaliri kelokan yang dipenuhi pintu bagi kematian-kematian lain
Sidoarjo, 2025
PUISI YANG TERBUKA DENGAN HURUF YANG TAK BISA DIBACA
di sela nama kau berdiri kaku dan nafasku tertahan sebab lemari telah terbuka, tapi hanya ada bau dan huruf yang luntur
keheningan tergelincir, suara-suara menggantung diri, waktu terpecah lalu jatuh, tubuhku kau peluk seperti pelarian yang menggantungi jam dinding walau tak sepenuhnya dimengerti
di langit kursi mencatat pagi melalui sinar matamu yang membayangi matahari
jam berhenti bergetar dan tubuhku menjadi lorong bagi semua gema puisi yang terbuka dengan huruf yang tak bisa dibaca
Sidoarjo, 2025
KESEPAKATAN ADALAH LUKA CUACA
pohon-pohon adalah kabut yang gugur setelah tirai melipat hening pada halaman mati, kau baca huruf yang tak selesai mencari musim, dahi meja menulisi kabut dalam sendok
daun-daun beterbangan mencari cara jatuh dalam pertanyaan, dalam pernyataan yang dinisbikan suara dari benang rambutmu
kesepakatan adalah luka cuaca
pantulan tubuhku terjun menuju cangkir kerongkonganmu dan jari suara tersembunyi di balik tirai lain sebab saat ini kau telah mengucap sesuatu tapi cangkir itu adalah taman bagi kerikil di mimpi yang basah
pelipis malam tumbuh dan kau tak menemukan halaman-halaman selanjutnya dari senter yang padam, lampu-lampu konslet, dan listrik air dari tanda baca yang membusuk
kata-kata patah pada tembok punggungmu sebab kini gema hanyalah kaki yang bergema membeku di meja tanpa suara dari ikan-ikan tubuhku yang mengigil
Sidoarjo, 2025
MENANGISI SORGA
kuterbangkan sayapmu menuju sorga tempat kemana angin pergi
tempat kau mematuki bayangmu sendiri
Surabaya, 2025
CATATAN REDAKSIONAL
MENANGISI SORGA, MEMATUKI DIRI: MEMBACA ADNAN GUNTUR DENGAN SENYUM KRITIS
oleh IRZI Risfandi
Adnan Guntur tidak sedang bermain-main dengan sayap atau surga. Ia menuliskannya dengan nada lirih namun tajam, seperti pengakuan lirih seorang musafir spiritual yang tahu betul bahwa pencarian tak selalu indah. Dalam puisi “Menangisi Sorga”, hanya dua larik yang ditawarkan, tapi cukup untuk menggoyang banyak jendela tafsir. Ia membuka dengan kalimat sakral nan ganjil: “kuterbangkan sayapmu menuju sorga”—seolah ia bukan hanya penyair, tapi juga semacam makhluk utusan, pengantar jiwa atau bahkan penolak balik. Kata “sorga” langsung memantik dimensi Islamis yang kaya, tapi Adnan tidak berhenti di sana. Ia memberi tikungan dengan “tempat kemana angin pergi”—sebuah tempat tak bernama, tak berbentuk, namun justru paling hidup di imajinasi mistikal. Dan larik pamungkasnya: “tempat kau mematuki bayangmu sendiri”—itulah titik hening, titik jeda, tempat renungan berubah jadi sindiran, bahkan mungkin ratapan tersembunyi.
Apa makna “mematuki bayangmu sendiri”? Dalam dunia simbol sufistik dan puisi Islam, itu bisa dibaca sebagai bentuk muhasabah: refleksi, perenungan, bahkan penyesalan diri. Tapi Adnan menyelipkan diksi yang nakal secara halus—“mematuki”—yang memberi rasa satir terhadap spiritualitas generik masa kini: penuh gaya terbang, tapi yang dipatuki justru bayangan sendiri. Adakah ini kritik pada tren-tren hijrah yang instan dan estetis belaka? Atau pada manusia kekinian yang gemar bicara tentang surga, tetapi tak pernah selesai dengan dirinya sendiri? Kita tidak diberi jawaban, dan di situlah letak kekuatan puisi ini: menggoda kita untuk bertanya tanpa merasa dihakimi.
Adnan Guntur sendiri bukan sosok sembarangan. Lahir di Pandeglang dan kini menetap di Surabaya, ia adalah penyair dan penggiat seni yang menolak diam. Ia mendirikan Saung Indonesia, ruang kreatif yang aktif di dunia sastra dan pertunjukan, dan bergiat di Teater Gapus serta Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Buku-buku puisinya pun punya judul-judul yang berani dan penuh luka, seperti Tubuh Mati Menyantap Dirinya Sendiri atau Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api—judul yang mengabarkan bahwa Adnan bukan penyair yang bersembunyi di balik estetika puitis semata, tapi penyair yang menyalakan bara-bara eksistensial dalam liriknya. Ia menulis dengan tubuh dan sejarah, bukan sekadar pena.
Maka membaca puisi ini di tahun 2025, dari Surabaya yang masih sibuk dengan polusi dan mimpi-mimpi urbanisasi, menjadi pengalaman yang centil sekaligus getir. Ia hanya menulis tiga baris, tapi cukup untuk mencubit bahu kita yang terlalu sering berpikir soal akhirat dengan cara duniawi. Adnan tidak menawarkan khutbah, melainkan gambaran yang absurd, simbolik, dan ironis. Ia tidak menyuruh kita menunduk, tapi membuat kita mematung. Ia tidak menggugat surga, tapi membuat kita mempertanyakan jalur terbang kita sendiri. Sebuah puisi mini yang tidak ingin menjawab, hanya ingin membuat kita menunduk—dengan senyum kecil dan mata yang tiba-tiba basah.
Adnan Guntur tahu betul bahwa puisi tidak harus panjang untuk menyampaikan kedalaman. Dalam tiga larik ini, ia berhasil menyentuh ranah iman, estetika, dan kritik sosial secara bersamaan. Dan justru karena begitu ringkas, puisi ini membuka lebih banyak pintu interpretasi daripada yang tertutup. Ia menertawakan sekaligus menangisi pencarian ke sorga yang tak pernah selesai. Kita pun akhirnya tertangkap sedang mematuki bayangan sendiri. Mungkin di situlah, entah bagaimana, letak rahmatnya.
2025
BIODATA :
Adnan Guntur, lahir di Pandeglang, telah menyelesaikan studi di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Saat ini berdomisili di Surabaya.
Ia adalah pendiri Saung Indonesia—sebuah ruang yang bergerak di bidang sastra, pertunjukan, dan rumah kreatif. Selain itu, ia aktif berkegiatan di Teater Gapus serta Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP).
Beberapa karya buku yang telah ia terbitkan antara lain:
– Tubuh Mati Menyantap Dirinya Sendiri (kumpulan puisi, 2022)
– Sebagai Daun yang Tak Lagi Raib Terbakar oleh Darah Api (kumpulan puisi, 2023)
– Tubuh di Pukul 11.11 (kumpulan lakon, 2022)
Instagram: @adnan_guntur
Email: adnan9guntur@gmail.com