5 PUISI AI LUNDENG

PUISI YANG HILANG
Syair puisi menghilang pergi
Disapu angin kerinduan yang menyapa
Membawa setiap kata yang sudah tertata
Berlalu Bersama deru
Kini syair Kembali ku rangkai
Kucari larik lariknya dibalik qolbu
Kugali sampai kedasar
Agar tak tersisa lagi luka
Tapi semua sudah menyatu
Terlalu sulit tuk hilang
berkarat melekat
laksana hitam dengan pekat
PWK 22-12-2024
*
CATATAN REDAKTURIAL
Ketika Puisi Hilang, Tapi Emak-Emak Tetap Ngegas
Oleh IRZI
Kalau puisi bisa hilang, maka Ai Lundeng tahu betul bagaimana rasanya. Tapi jangan bayangkan hilangnya puisi itu seperti kehilangan remote TV atau kunci rumah, ya. Ini lebih dramatis—sekelas sinetron jam tujuh malam dengan backsound hujan dan tatapan nanar ke jendela. “Puisi yang Hilang” milik Ai bukan sekadar tentang lirik-lirik yang lenyap tertiup angin, tapi tentang proses emosional seorang perempuan—seorang ibu, guru, dan pencinta syair—yang tetap bisa tampil elegan sambil mencari-cari larik dalam hati yang barangkali sudah bolong-bolong oleh rindu.
Lahir di Purwakarta, 19 April 1972, Ai Pipih—yang nama panggungnya Ai Lundeng, sebuah nama pemberian ayah tercinta—adalah emak-emak keren yang hobi menulis puisi, traveling, dan bernyanyi. Cita rasa puisinya punya sentuhan yang jujur, hangat, dan penuh empati. Jangan remehkan karena ia ‘hanya’ guru Madrasah dan ibu rumah tangga. Justru dari rutinitas harian yang berisik oleh cucian dan PR anak didik, lahir larik-larik yang gemetar oleh perasaan. Dan, tentu, sebagai emak-emak zaman now, puisi-puisinya pun sudah diunggah ke YouTube, TikTok, dan Facebook. Musikalisasi puisi? Cek. Buku puisi? Sudah dua. Emak-emak digital banget!
Dalam puisi ini, Ai seperti sedang curhat sambil nyeduh teh manis sore hari. Tapi jangan salah—curhatnya bukan main-main. “Disapu angin kerinduan yang menyapa…” adalah baris yang bisa bikin emak-emak komplek terdiam sejenak sambil mikir: siapa yang disapu? Siapa yang dirindukan? Dan memang di situlah kekuatan Ai. Ia tidak pakai bahasa ribet ala sastrawan menara gading. Ia menulis apa yang ia rasa, dan justru karena kesederhanaannya itu, puisinya terasa dekat. Terlalu dekat. Seperti aroma terasi dari dapur tetangga—tak bisa diabaikan.
Larik demi larik terasa seperti perjalanan batin emak-emak yang sedang mencoba menyatukan kembali dirinya yang retak-retak. Tapi jangan kira ini puisi pasrah. Ai Lundeng itu emak-emak dengan semangat juang yang tinggi. “Kugali sampai ke dasar, agar tak tersisa lagi luka”—nah, ini bukan kalimat sendu. Ini manifesto! Karena siapa bilang ibu-ibu tak bisa puitis sekaligus tegar? Dalam puisinya, Ai sedang menyapu perasaan seperti nyapu teras: telaten, pelan, tapi bersih sampai ke sudut-sudut hati.
Dan pada akhirnya, ia menyimpulkan: “Terlalu sulit tuk hilang, berkarat melekat…”—ini tentang luka, tentang puisi, tentang kenangan. Ai Lundeng tahu, kita bisa mencoba menghapus, tapi ada hal-hal yang memang membandel seperti noda minyak di kerudung putih. Maka, daripada terus diseka, lebih baik ditulis. Dan itulah yang ia lakukan. Di balik gaya puisinya yang sederhana tersimpan kepedihan yang dikemas sopan, dengan kritik halus terhadap ingatan, kehilangan, dan hidup yang kadang memang lebih lihai menyembunyikan makna ketimbang mengungkapkannya. Sudah siap belum kalau nanti puisimu sendiri juga ikut hilang?
2025
*
NAJIS
Sandiwaramu menarik perhatian publik
Menggelitik penuh intrik
Peranmu sangat asyik
Buat kami enak berbisik bisik
Aku si miskin kau kambing hitamkan
Digiring menuju jagal mengerikan
Kau berseru dengan kemenangan penuh kepalsuan
Berkibar bendera syetan kemunafikan
Dasimu mencekik kebebasanku
Sepatumu menginjak harga diriku
Sorot mata ambisimu
Laksana lampu pijar
Menyerang saraf mata ketulusan
Kau makan uang comberan
Rakusmu hitamkan kebenaran
Menuju tahta Kerajaan iblis
Penuh glamor tapi Najis
PWK 27-7-2024
*
GORESAN PENA SANG PENDIDIK ANAK BANGSA
Jalinan ini begitu indah
Ku temani kalian menuju harapan
Kalian laksana Bintang Bintang
Menerangi langit kehidupan
Tak ada kata lelah apalagi menyerah
Mengajar,mendidik ,menyanyangi,mengayomi
Kami curahkan semua jiwa raga
Demi kalian wahai anak bangsa
Meski kalian tidak terlahir dari Rahim kami
Namun ketulusan jangan pernah kau ragukan
Warnai harimu dengan Pelangi ilmu
Ada kecewa di dada
Ketika sua di waktu yang sudah berbeda
kau palingkan muka…
seakan kami siapa..
kami manusia biasa
Bisa lupa dan alpa
Ketika semua harus baik baik saja
Kami pun kadang lengah
Kami tak minta dihargai
Tapi ingatkah kalian,bukankah kami telah mengajarkan tuk saling menghargai
Kami tak minta dihormati,
tapi ingatkah kalian,bukan kah kami telah mengajarkan tuk saling menghormati
Sekarang kau tau ilmu hukum
Tapi mengapa kau bawa kami ke ranah hukum
Sekarang kau jadi pejabat
Tapi mengapa kau perlakukan kami seakan kami tak bermartabat
kelak jika kami mati
Kami tak minta berdampingan dengan para pahlawan bangsa ini
Yang kami minta..
Biarkan ilmu yang kami beri
Membuat kalian jadi manusia berbudi
PWK 23-11-2024
*
LELAKI DI WAKTU SENJA
Lelaki itu datang Ketika senja menjelang
Dia bawa ketenangan
Walau senja di jemput malam
langkahnya penuh keyakinan
Ada yang tak tenggelam kala senja datang
Dialah rasa yang Tuhan titipkan
Dia terus bermain dalam dua muara jiwa
Hingga senja fana
Lelaki yang datang diwaktu senja
Memberi ketenangan dalam jiwa
Dia Bagai oase di Tengah padang pasir
Memberi harapan hidup yang dulu getir
Bahagiaku ibarat senja hari
Dia datang menjelang waktu sore pergi
bersama lelaki yang datang di waktu senja
kini ku Kembali menyulam asa
PWK 18-9-2024
*
BATAS WAKTU
Sebuah penantian yang tak diinginkan
Sebuah batas waktu yang telah ditetapkan
Seandainya ku lari,tetap ia kan menghampiri
Karena ia takdir yang sudah Tuhan beri
Setiap jiwa ingin pergi ke Surganya
Namun tak ingin dengan kematiannya
Dunia sering membuat lupa
Hingga badan terlena dengan balutan dosa
Jika datang si pemutus kenikmatan
Jika datang si pemutus sebuah ikatan
Semoga Tuhan memanggilku dalam Ridhonya
Agar kelak kudapat RahmatNya
*
Ai Pipih, S.Pd.I., lebih dikenal dengan nama pena Ai Lundeng.
Dia seorang ibu rumah tangga dan seorang tenaga pendidik di salah satu Madrasah Negeri di Purwakarta. Lahir di Purwakarta pada tanggal 19 April 1972, memiliki hobi menulis dan membaca puisi, bernyanyi, serta traveling.
Pendidikan terakhir S1 Pendidikan Agama Islam (PAI). Nama pena “Ai Lundeng” sebuah nama yang diberikan oleh ayahnya sejak kecil. Bagi dia, menulis puisi adalah suatu kegiatan yang menyenangkan ,juga sebagai sarana mengisi waktu luang dan ungkapan emosi.
Kini, ia sudah memiliki banyak puisi yang disuguhkan dengan musikalisasi puisi dan di uploud di berbagai media sosial,di youtobe,tiktok,facebook, juga buku kumpulan puisi pertamanya, “Gemuruh Palung Hati dan buku kedua Goresan Pena Di Ujung Senja”.
Dengan menuangkan isi hati ke dalam puisi,dia mampu menghasilkan karya yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca ,terutama yang menyukai bait-bait puisi. Kini, ia sudah memiliki banyak puisi yang disuguhkan dengan musikalisasi puisi dan di uploud di berbagai media sosial,di youtobe,tiktok,facebook, juga buku kumpulan puisi pertamanya, “Gemuruh Palung Hati dan buku kedua Goresan Pena Di Ujung Senja”.
Informasi Kontak:
• Email : aipipih72@gmail.com
• Nomor HP : 081809071583
• Alamat : Kp. Simpang Rt 01/Rw 01, Desa Salem, Kec. Pondoksalam, Purwakarta, Jawa Barat.