Puisi

5 PUISI MICKY HIDAYAT

AKU BERTANYA

kepada angin
aku bertanya
dijawab dengan
riuh desirnya

kepada langit
aku bertanya
dijawab dengan
gelegar petirnya

kepada matahari
aku bertanya
dijawab dengan
silau cahayanya

kepada awan
aku bertanya
dijawab dengan
deras hujannya

kepadamu
aku bertanya
tak ada jawaban
yang kudapatkan

Banjarmasin, 2024


CATATAN REDAKSIONAL

Pertanyaan yang Tak Dijawab dan Dunia yang Terus Berisik


oleh IRZI Risfandi

Puisi “Aku Bertanya” karya Micky Hidayat terasa seperti tamparan halus yang dibalut kelakar, sebuah permainan tanya-jawab absurd antara manusia dan semesta, yang dibuka dengan gaya ringan tapi mengandung lapisan makna filosofis. Ada irama sederhana yang mengalir seperti anak kecil yang bertanya dengan polos, tapi makin lama, pembaca menyadari bahwa ini bukan tentang ingin tahu—melainkan tentang tidak pernah benar-benar didengar. Micky, seorang penyair asal Banjarmasin yang telah menulis sejak 1981 dan meraih penghargaan 40 tahun berkarya dari Kemendikbudristek pada 2024, tahu betul bagaimana mengolah diam dan suara menjadi dialog yang menggugah.


Angin, langit, matahari, dan awan menjadi narasumber metaforis dalam puisi ini. Tapi tidak satu pun memberi jawaban berupa kata; semuanya menjawab dengan karakter alaminya: riuh, gelegar, silau, dan deras. Ini seolah menunjukkan bahwa semesta tak pernah benar-benar diam—ia bising, ia responsif, tapi tidak dalam bahasa manusia. Micky memotret ironi ini dengan jenaka dan kritis. Pertanyaan sederhana seperti “kenapa?” atau “bagaimana?” tak mendapat jawaban verbal—sebab mungkin, jawaban justru datang dari cara semesta mengguncang, menyilaukan, membasahi, dan berisik.


Lalu muncul twist paling tajam di bait terakhir: “kepadamu aku bertanya, tak ada jawaban yang kudapatkan.” Di sinilah puisi ini menggali kedalaman eksistensial dan emosional. Kalau semesta saja masih memberi tanda lewat angin dan hujan, kenapa justru manusia yang dianggap paling rasional justru memilih diam? Diam yang bukan bijak, tapi pasif dan abai. Baris ini membalik seluruh nuansa puisi dari yang tadinya ringan menjadi berat: kita hidup di tengah dunia yang tak kekurangan sinyal, tapi kekurangan respons.


Dalam puisinya, Micky tidak meledak dalam protes, tapi mengalir tenang seperti arus yang sabar menghanyutkan. Kritiknya hadir dengan cara yang halus tapi menyentil: bahwa kadang kita berbicara ke langit karena manusia sudah terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Puisinya bukan hanya tanya kepada ‘yang di luar’, tapi juga sindiran kepada kita yang mungkin terlalu sering jadi ‘yang ditanya’ tapi tak pernah benar-benar menjawab. Kecerdasan Micky terletak pada kesederhanaan bentuk yang menyimpan kompleksitas batin: ia membuat kita tersenyum, lalu terdiam, lalu merasa bersalah.


Sebagai penyair yang pernah membaca puisi selama 5,5 jam nonstop hingga tercatat di MURI, Micky Hidayat bukan hanya penuang kata tapi juga penjaga suara nurani. Ia tak sedang menulis sajak religius atau romantik semata—ia sedang menunjukkan bahwa manusia modern, dengan segala kecanggihannya, sering kali kalah peka dibanding hujan. Puisi “Aku Bertanya” adalah refleksi kekinian yang dibalut dalam filosofi lembut, mengajak kita untuk kembali belajar: bukan hanya mendengar, tapi benar-benar menjawab—kalau masih punya hati yang tak sibuk sendiri.

2025


PUISI KESEKIAN

beribu puisi
dari ribuan kata
yang kutulis
menghambur
jadi debu
mengotori udara
dan memeriahkan
mataku

beribu puisi
dari ribuan kata
yang kuhamburkan
tak menemu jejak
di lorong kegelapan

beribu puisi
mengumbar kata
percuma saja
tanpa bahasa
sia-sia saja
tanpa makna


MURID KATA

sebagai murid kata
aku mencari guru
sesungguh guru
tidak sekadar berilmu
mesti digugu atau ditiru
dan menyuruh ini itu

sebagai murid kata
aku mencari guru
tak cuma pandai berkata-kata
tapi kuperlukan guru kata
ahlinya ahli dalam kata-kata

sebagai murid kata
yang nyaris putus asa
tersebab kemiskinan kata
aku mencari kekayaan kata
kaya diksi, bahasa, dan metafora
dari guru super canggih kata-kata

sebagai murid kata
aku ingin berguru
kepada siapa saja
aku ingin belajar
sebenar-benar kata
dengan bijaksana
di setiap waktu
dan cuaca

Banjarmasin, 2024


BERTERIMA KASIHLAH KEPADA KATA

berterima kasihlah kepada kata
yang memberimu banyak kata
tanpa meminta balas jasa

berterima kasihlah kepada kata
yang memberimu kekuatan kata
sehingga puisimu punya daya

berterima kasihlah kepada kata
apa pun yang telah diberikan oleh kata
berprasangka baiklah kepada kata
maka, janganlah kau hardik kata
dengan ledakan amarah kata

berterima kasihlah kepada kata
jangan sia-siakan kata
tulislah sesungguh kata
bukan asal-asalan kata
apalagi obral kata

berterima kasihlah kepada kata
apabila puisimu tak bisa bicara
bagaikan berhala tak bernyawa
jangan kau campakkan kata!

Jakarta, 2024


KATA

dengan kekuatan kata
kurapalkan mantra
kutiupkan ruh
ke jasad puisi
telah mati suri

dengan kekuatan kata
kubangunkan puisi
kudekap erat tubuhnya
sepenuh jiwa
mengalirkan gerakan
pelan-pelan

dengan kekuatan kata
kuusap wajah puisi
tampak pucat
dan berkeringat
kutatap dengan khidmat
kucium-kecup
sepenuh nikmat

dengan kekuatan kata
kuajak puisi bicara
tapi tak satu pun kata
terlontar dari mulutnya

hening menyergap
sunyi meruap
kata-kata senyap
tak ada lagi cakap
segalanya lenyap

Banjarmasin, 2023


BIODATA :

Micky Hidayat lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 4 Mei 1959. Ia mulai menulis puisi dan esai sejak tahun 1981, dengan karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media nasional seperti Banjarmasin Post, Bali Post, Pelita, Suara Karya, Jawa Pos, Republika, Horison, hingga Panji Masyarakat dan Majalah Hai.
Buku kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Meditasi Rindu (2008), dan puisinya juga termuat dalam sejumlah antologi puisi bersama. Buku Memikirkan Sajak Micky Hidayat (Pustaka Puitika, 2016) merupakan kumpulan ulasan atas karya-karyanya. Ia juga menjadi editor buku Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020).


Alumnus forum “Puisi Indonesia ’87” dan “Cakrawala Sastra Indonesia” (2005) di TIM, Jakarta, Micky adalah salah satu deklarator Hari Puisi Indonesia (HPI) di Pekanbaru, Riau, tahun 2012. Namanya tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) atas pencapaian membaca puisi selama 5,5 jam nonstop. Pada tahun 2024, ia menerima Penghargaan Sastrawan (kategori 40 tahun berkarya) dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI.

Check Also
Close
Back to top button