Puisi

5 PUISI ANUGRAH PRASETYA

ROMANTIC AGONY

mencintaimu berarti memakai kawat berduri
di kepala, dan berjalan di sepanjang dolorosa
adakah salib yang lebih berat dari kasih sayang
yang kupanggul menuju bukit penderitaan?

aku berjalan hingga telapak kakiku berlumur
darah, itu jejak-jejak pengorbanan agar kau
tahu: sejauh apa kepedihan telah kutempuh
agar tak ada kesedihan di seluruh hidupmu

Semarang, 2022


CATATAN REDAKSIONAL


Yesus, Jejak Darah, dan Buaya Romantis dari Semarang

oleh IRZI Risfandi

Kalau Yesus pernah memikul salib di Via Dolorosa, maka Anugrah Prasetya—yang akrab dipanggil Nug—telah menaruh puisi cintanya tepat di tengah jalan itu, tapi dengan twist yang lebih pop, lebih galau, dan, tentu saja, lebih personal. Puisinya yang berjudul Romantic Agony hanya terdiri dari dua bait, tapi menggigit seperti kawat berduri yang ia sebutkan sendiri di baris pertama. Ini bukan puisi cinta ala bunga dan cokelat. Ini cinta versi stigmata: berdarah, berat, tapi tetap ditanggung dengan sengaja. Barangkali karena, seperti kisah Mesianik mana pun, penderitaan adalah bumbu wajib dalam drama hati.


Yang bikin puisi ini menarik bukan cuma karena penggambarannya yang biblikal, tapi karena Nug menyajikannya tanpa pretensi religius. Ia tidak menyembah penderitaan, ia memakainya sebagai metafora. Menariknya, bukan hanya metafora cinta yang menyalib, tapi juga tubuh si tokoh liris yang nyaris menyerupai Kristus modern—berjalan berlumur darah demi kebahagiaan orang lain. Tapi apakah si “kau” dalam puisi ini tahu? Apakah ia peduli? Nah, di situlah ketegangan puisinya menari. Nug tidak memberi jawab. Ia hanya mencatat jejak-jejak darah, bukan reaksi dari sang kekasih.


Dalam konteks kekinian, ini bisa dibaca sebagai bentuk emotional labor—seseorang yang menanggung beban relasi sendirian, tanpa kompensasi emosional dari pihak lain. Tapi Nug tidak meratap. Ia nyaris sakral dalam penderitaannya. Dengan diksi yang sederhana namun bernuansa liturgis (“dolorosa,” “salib,” “bukit penderitaan”), puisi ini menyelinap masuk ke dalam ruang antara cinta dan iman, antara relasi manusia dan penderitaan spiritual. Bahkan bagi pembaca non-religius, nada puisi ini masih relevan: cinta kadang memang terasa seperti praktik iman tanpa jaminan keselamatan.


Yang bikin tambah menarik adalah profil Nug sendiri. Mahasiswa Sistem Informasi dari Semarang, penulis Keletah Cinta, dan bercita-cita jadi seekor buaya. Di tangan penyair lain, ini bisa terdengar nyeleneh. Tapi bagi Nug, “buaya” bukan simbol predator, melainkan penjelajah absurditas dan kelicinan makna. Maka tak heran kalau dalam puisinya, batas antara pengorbanan dan obsesi begitu tipis. Ia menjelajahi cinta seperti reptil spiritual yang melata di antara luka dan harapan. Kita tidak disuruh iba, kita diajak ikut menyeret salib itu. Romantis? Jelas. Agoni? Lebih-lebih.


Maka Romantic Agony bukan puisi sedih biasa. Ini semacam mazmur pendek tentang seseorang yang mencintai sampai habis-habisan, tanpa pamrih tapi tidak tanpa luka. Ia menulis bukan untuk menyalahkan, tapi untuk meninggalkan jejak: bahwa cinta sejati mungkin tidak selalu bahagia, tapi selalu punya darah yang tertinggal di jalan. Dan Nug tahu benar cara menuliskannya—dengan jujur, singkat, dan menusuk, seperti doa yang cuma perlu satu kalimat untuk mengguncang surga.

2025


EPISODE TERAKHIR BUAT AKARI SHINOHARA

apakah kau musim salju
yang menimbun daun sakura?

tokyo yang beku adalah hati
yang selalu ingin aku hangatkan

dengan pelukan, tapi sungguh
aku tak pernah sanggup lagi

menggapai, sebab cuaca
telah menebalkan kesedihan

di tubuhmu

Semarang, 2022


RENDEZVOUS

1/
dadaku kota dengan gemuruh perang, tapi
tak kubiarkan kau dengar suara ledakan
atau tembakan, sebab di telingamu telah
aku bacakan sajak-sajak nizar qabbani

2/
tidurlah, sayangku. barangkali seluruh hari
yang kau miliki adalah pekerjaan yang tak
akan pernah rampung, seperti mencari
kedamaian di antara sengketa dan amarah

3/
selalu ada yang tak mampu kita lakukan
di hadapan waktu; kita hanya bayi yang
merengek minta puting, buat menyusui
mimpi-mimpi yang cemas dan ketakutan

Semarang, 2022


DI HADAPAN RUSIA
kepada Dominika Egorova

perlukah kita ikut berperang
saat pelukan melonggar dan
tak lagi bisa mengusap-usap
penderitaan di punggung?

kubawa diri kabur dari bidikan
matamu, saat cinta serupa ledakan
nuklir, saat peluru menghujani tanah
serupa kecupanmu yang lalu

perlukah kita ikut berperang
sementara sepi telah melahirkan
kangen dan berahi di antara
tubuh yang kian renggang

dan kita, sepasang kekasih
bodoh amat di hadapan negara
yang selalu ingin berkuasa
atas selangkangan warganya

Semarang, 2022


RENDEZVOUS, II

kita mengendarai sunyi
mendengar siul angin kecil
di telinga, yang menggigil
di bulu kuduk, berhembus
seperti burung-burung migrasi

langit kota berwarna kesedihan
matahari yang dulu: hanya hangat
dalam ingatan yang telah pikun —
masa remaja yang terbenam
sebelum pelukan tiba di sangkar

di mana kita akan singgah?
seluruh hotel sudah dipenuhi
aroma berahi persetubuhan cinta
sekilas dan kau tak ingin lagi
bercinta — sementara gelap
seperti serviks hendak menelan kita


BIODATA :


Anugrah Prasetya, lebih akrab disapa Nug, lahir di Medan, November 1999. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi perdananya berjudul Keletah Cinta (Jejak Pustaka, Bantul, 2022). Saat ini ia sedang menempuh studi di Program Studi Sistem Informasi, Universitas Semarang. Mengaku sebagai penyair, Nug menyimpan cita-cita unik: ingin menjadi seekor buaya—barangkali sebagai metafora dari kegemarannya menjelajahi emosi, absurditas, dan kelicinan makna dalam puisinya.

Check Also
Close
Back to top button