Puisi

5 PUISI BIMA YUSWA

BOCAH SILVER

Bersandar pada tiang jembatan
Bocah itu berdoa supaya tuhan
Menjatuhkan bulan ke pangkuannya,
Ia cukup yakin
Bulan tak akan terlalu besar
Sebab atmosfer akan mengikis tubuh bulan
Hingga jatuh ke pangkuannya
Seukuran bulatan donat

Bocah itu amat yakin
Bulan punya cahayanya sendiri
Tak seperti remang lampu
Yang kerap putus di rumahnya
Dekat bantaran kali

Ia membayang pulang
Membawa bulan
Di kresek hitam,
Menunjukan pada bapa ibunya
Agar mereka
Tak lagi saling menggerutu
Perkara hidup
Yang seremang bohlam lampu

Lampung, 2025

*** 
CATATAN REDAKSIONAL

Bulan, Bocah, Dan Bohlam Yang Remang

oleh IRZI Risfandi

Puisi Bocah Silver karya Bima Yuswa ini seperti potret hitam-putih di pinggir jalan, tapi dengan sentuhan magis ala anak-anak yang belum tahu cara kalah. Ia kecil, manis, getir, dan bikin pembaca tertegun bukan karena bahasanya tinggi, tapi karena kenyataan yang digambarkannya lebih tajam dari satire. Ini bukan puisi tentang kemiskinan yang dikemas dalam duka klise, tapi tentang harapan paling liar yang bisa dimiliki oleh seorang bocah jalanan: menjatuhkan bulan ke pangkuannya. Absurd? Justru di situlah kekuatannya. Ia pakai logika sains—atmosfer sebagai pengikis benda luar angkasa—untuk membungkus rasa rindu akan cinta dan cahaya di rumahnya yang “seremang bohlam lampu.”

Bima Yuswa, penyair kelahiran Bogor yang kini tinggal di Bandar Lampung, adalah contoh penulis muda yang tahu betul bahwa puisi tak harus berdarah-darah untuk bisa menggigit. Ia telah mempublikasikan karya di media arus utama seperti Kompas, Tempo, dan Sastra Media, tapi puisinya tetap terasa jalanan, tetap punya bau aspal yang panas dan keringat yang asin. Ia menulis tentang bocah silver—anak-anak yang mengecat tubuhnya dengan cat berbahaya demi beberapa lembar receh di lampu merah—bukan dengan nada kasihan, melainkan dengan sorotan usil, centil, dan mendalam. Ia memperlakukan si bocah bukan sebagai objek belas kasihan, tapi sebagai subjek yang punya imajinasi, punya skenario kosmis untuk menanggulangi konflik domestik: pulang membawa bulan dalam kantong kresek hitam.

Dan mari kita bicara soal “kresek hitam.” Simbol ini luar biasa diam-diam. Sebuah kantong plastik yang sehari-hari digunakan untuk membawa sampah atau sisa, kini digunakan untuk mengangkut benda paling romantik dalam puisi-puisi klasik: bulan. Dalam dunia puisi Bima, bulan bukan objek pujaan, bukan metafora cinta abadi, tapi barang bawaan yang bisa dibawa pulang untuk menenangkan orang tua yang sedang ribut soal hidup yang “seremang bohlam lampu.” Di sinilah letak genius sosial dari puisi ini: bagaimana benda-benda paling mistis direndahkan ke level fungsional, dan justru dari situ, puisi ini memancarkan cahayanya sendiri—bukan dari bulan, tapi dari cara si anak mengimajinasikan solusi untuk rumah tangganya.

Kalau ada puisi yang bisa menjelaskan kepada kita bagaimana kelas sosial membentuk cara seseorang bermimpi, maka Bocah Silver adalah jawabannya. Ini bukan puisi tentang kemiskinan, tapi tentang bagaimana kemiskinan menciptakan logika keajaiban sendiri. Bocah dalam puisi ini tak punya buku dongeng, tak tahu teori heliosentris, tapi percaya bahwa jika Tuhan baik, bulan akan jatuh dan atmosfer akan menyusutkannya jadi seukuran donat. Kita tertawa kecil membaca itu, tapi di saat yang sama juga tercekat. Karena apa yang lebih menyedihkan dari anak kecil yang mengukur harapan berdasarkan hukum gesekan dan ukuran kantong plastik?

Dengan puisi ini, Bima Yuswa membuktikan bahwa realitas sosial tak harus dijabarkan dengan jargon kritis yang kaku. Ia cukup menempatkan satu tokoh kecil bersandar di bawah jembatan, memberi dia langit dan atmosfer sebagai latar, dan biarkan logika si anak bekerja. Kita sebagai pembaca tinggal menyimak, lalu pelan-pelan terseret ke dalam dunia di mana kantong kresek bisa membawa cahaya, di mana Tuhan ditodong dengan doa jenaka, dan di mana puisi jadi jalan pulang bagi orang-orang yang hidupnya tak pernah cukup terang. Singkatnya: ini puisi yang tak berkeringat ideologi, tapi tetap berkeringat realitas. Dan itu jauh lebih berbahaya.

2025


SELEPAS TENGAH MALAM,
BERBICARA PADA DIRI SENDIRI

Jam berdentang
0:26
Pecahkan saja kepalaku
Seperti botol bir
Yang kau lempar
Sejenak tadi
Setelah terdengar
Anjing melonglong tiga kali.
Lalu kau teringat
Pada sejumlah dusta

Orangorang tua,
“hidup yang tak dipukul
Tak akan terbentuk!”
Sampai kau sadari
Sekujur tubuhmu biru,
Tak ada yang kau dapat;
Hanya bangkai kucing
Menggenang di aliran sungai,
Geliat belatung di tengkorak
Burung dalam sangkar, lalat
Memutari sisa daging busuk
Di meja makanmu.
“hidup yang tak dipukul
Tak akan terbentuk!”
Nyatanya hidup membalas
Dengan akurasi yang lebih pas
Buuuuuuumm! Seperti pukulan
Tyson yang mengarah
Ke rahang bawah carl williams.
Persetan dengan
Hidup yang tak dipukul,
Aku ingin memukul diriku sendiri
Sampai pecah seperti
Botol bir sejenak tadi,
Supaya aku tak perlu memukul
Siapapun
Tak kalah dan mengalahkan
Siapapun

Lampung, 2025



LANGIT MEI TERINFEKSI POLUSI

/1/
Mei seperti langit yang terinfeksi polusi,
Bangkai anjing mengambang di sungai sewarna tinja,
Matahari terjebak di kaca retak rumah kumuh,
Tak ada yang berani bermimpi menjadi superhero
Menjabat tangan manusia gagal, sebab
Hidupnya sendiri nyaris tak tertolong.
Kapan Tuhan mengutus kembali para nabi?
Supaya terbakar kemunafikan yang beranak
Pinak bagai kutu di kepala para raja

/2/
Apakah mei akan membuat kita makin pasrah?
Mimpi menguap lewat ubunubun; berkelindan
Asap kendaraan, jerebu pabrik,
Dan janji peremen karet penguasa lalim

/3/
Para pengkhotbah bilang segala derita
Berdampingan dengan bahagia, namun mereka
Mengedar kardus bekas air mineral ke kerumunan jamaah
Membuat orangorang mau tak mau mengisi barang dua ribu,
Sesudahnya para pengkhotbah pergi menunggang kuda emas,
Meninggalkan orangorang yang hidupnya terlampau masam

/4/
Adakah alamat yang mau menampung segala duka
Akan kusurati ia, kuceritakan tentang kesukaran yang terlampau
Betah mendekam di nadi; merangsek rongga kepala, menyesaki jiwa.
Tunjukan alamat siapapun! Meski tak ada tinta, akan kutulis
Dengan genang air mata.

Lampung, 2025
*** 


BERMALAM DI BANGSAL RUMAH SAKIT

Adakah maksud dari derita yang kau tulis pada kitab tragedi itu Tuhan?

Serpihan dosa menyusun dirinya
Jadi semacam mozaik dalam diriku; wajah yang tak asing
Terkbara, hitam, mengelupas. Lalu didongengkannya
Sejumlah ketakutan bahwa manusia lahir
Dari rasa bersalah. Tuhan sekiranya manusia terbaca sebagai apa?

De profundis clamavi ad te, domine! Domine, exaudi vocem meam!
Segala yang putih dan pernah ternoda peluk aku dengan tangan embunmu

Lampung, 2024

*** 
RUMAH MERAH

Semalam ibu merobek kulitku
Lalu ia gunakan mengusap air matanya
Aku tak mengerti kenapa lakilaki
Gemar menancapkan batangbatang mimosa
Ke dada seorang wanita

Seharihari ibu bergumul
Tanah dan lumpur, usaha merubah
Rumah tandus ini semerbak wangi
Bungabunga mekar di dinding
Dan lantainya

Tetapi bapak anak nakal yang selalu usil
Mencabut tanaman—menyabet bungabunga
Dengan sebatang kayu
Sambil sesekali menjulurkan lidah

Aku curiga muasal tangis yang kudengar
Tiap subuh hari mungkin layu seorang wanita
Yang tercabut hidupnya

Sampai pagi tadi kulihat bapak
Berlumur slai strawberry
Berlari mengejar ibu
Yang menjelma kupukupu
Berhamburan terbang ke luar pintu

Lampung, 2025


BIODATA :

Bima Yuswa lahir di Bogor dan kini berdomisili di Bandar Lampung. Beberapa puisinya telah dipublikasikan di Tempo, Kompas, Sastra Media, dan berbagai media lainnya. Ia dapat disapa melalui akun Instagram: @raksebelahkiri.

Check Also
Close
Back to top button