5 PUISI DEVI OKTAVIANA

BUKU FAVORIT
2.410.022 puisi darimu
Menempel di plafon-plafon ingatan.
Aku tidak pernah menggulungnya,
Masih indah binar-binar diksi
Membuatku sumringah.
Setiap malam mereka menemani tidurku
Mengawasi tangis, marah, kesal
Yang muncrat dari wajahku.
Kalau kau akan mati lebih dulu,
Aku enggan membacakan puisi untukmu.
Tiada puisi yang pantas mendampingi kedukaanku
Akan kepergianmu.
Namun, air mataku yang menetes di liang kuburmu
Bisa memeluk dan menghangatkan badanmu.
Kalau kau akan m**i lebih dulu,
Itu takkan terjadi.
Hurufnya sudah parau,
Dan, kau tetap di sini
Bersama tumpukan buku-buku favoritku.
CATATAN REDAKSIONAL
2.410.022 Alasan untuk Tidak Melupakanmu
oleh IRZI Risfandi
Devi Oktaviana, perempuan muda kelahiran Jakarta tahun 2002, menulis puisi seperti seseorang menyembunyikan rahasia di balik kelopak bunga—penuh kelembutan, tapi juga menyisakan tanda tanya. Dalam puisinya “Buku Favorit”, ia merangkai kata-kata yang tidak hanya berbicara tentang cinta dan kehilangan, tetapi juga memeluk absurditas hidup dengan gaya khas: centil tapi dalam, mellow tapi tetap kritis. Ia seperti sedang bergosip dengan diri sendiri di kamar, ditemani tumpukan buku, sembari bertanya: “Kalau kamu pergi duluan, siapa yang akan menulis puisi untuk siapa?”
Puisi ini tidak sekadar berkisah tentang kehilangan, tetapi menegaskan bahwa kenangan bisa membatu dalam bentuk diksi. Ada 2.410.022 puisi yang menempel di “plafon ingatan”—metafora yang centil tapi menghantui, mengajak pembaca membayangkan bagaimana cinta bisa menjelma jadi arsip internal yang tak bisa dihapus. Gaya bahasanya terasa santai, nyaris seperti curhat, namun di situlah kekuatannya. Ia tidak memaksa kedalaman dengan kata-kata rumit; justru kesederhanaan ini yang membuatnya merasuk ke dada.
Devi bermain-main dengan diksi dan imaji seperti remaja yang tahu betul bagaimana caranya menghindari drama tapi tetap menyisipkan luka di setiap kalimat. Kalimat “Kalau kau akan mati lebih dulu, aku enggan membacakan puisi untukmu” bukan hanya pernyataan getir, tapi juga bentuk resistensi. Ia tahu bahwa kehilangan tak bisa dijinakkan dengan puisi, dan dengan jujur menolak klise persembahan kata di pemakaman. Meski demikian, ia tetap menyodorkan sesuatu yang lebih intim—air mata yang memeluk dan menghangatkan. Ini bukan puisi tentang kematian, tapi tentang keabadian dalam ruang baca yang bersifat pribadi.
Yang menarik, penutup puisi ini menggugat kenyataan dengan satu kalimat: “Itu takkan terjadi.” Ia menolak kehilangan. Ia menolak akhir. Ada romantisme posesif di sini, tapi juga ada kekuatan afirmatif: selama buku favorit itu ada, selama kata-kata bisa dibaca, maka sang kekasih tak pernah benar-benar pergi. Ini bukan pengingkaran, ini perlawanan: bahwa dalam dunia yang fana, Devi memilih ingatan sebagai tempat tinggal paling setia.
Melalui karya ini, Devi Oktaviana—yang aktif di Instagram dengan nama @devioktaavv—membuktikan bahwa puisi bukan cuma untuk yang patah hati, tapi juga untuk mereka yang masih ingin bercakap-cakap dengan orang yang sudah tak bisa ditemui. Ia menyatukan keromantisan ala Gen Z dengan kegetiran eksistensial, menjadikan puisinya bukan sekadar bacaan ringan tapi juga refleksi yang manis getir. Dan ya, kalau pun harus memilih buku favorit yang tak akan pernah dibuang, puisi ini jelas pantas masuk dalam daftar.
2025
AKU BERBARING BERSAMA BUKU-BUKU PEMBERIANMU
Menata buku pemberianmu di rak kayu berdebu, buku-bukunya berjajar tegak dari berbagai tema dan hampir sudah kubaca tuntas sembari mengulas rapi-rapi.
Kau tak perlu khawatir, hadiah buku darimu takkan kubiarkan rayap menggerogoti lembaran kertasnya. Tiap saat, aku rawat sambil mengecek penanda buku, apakah masih tertanggal di sana atau hilang karena lupa menaruhnya.
Ingat sekali setiap menerima buku karena kegirangan jadi reaksi pertama. Kau memberiku buku n.h dini yang sedari lama aku ingini. Lusa, aku akan membacanya setelah tugas akhirku rampung. Pastinya, buku itu ciamik karena pilihanmu.
Bulan empat, aku dapat buku kumpulan puisi terakhir eyang sapardi sebelum dirinya wafat. Sangat susah dicari. Namun, kau mendapatkannya untuk diberikan kepadaku. Pertama kali pula aku mempunyai buku hard cover warna abu. Lamat-lamat, kuelus dan ciumi setiap lembaran bersama harum khasnya. Walau tak seharum wangi tubuhmu.
Juli, 2024
MATAMU BERBICARA LEWAT KUMPULAN PUISI “MBOEL”
Kugenggam kalimat pertama dalam buku puisi pemberianmu.
“aku mencintaimu” tertera di halaman pertama,
Berulang kali kubaca sampai tak habis membalik
Lembaran sesudahnya.
Penasaran menyelimuti
Membaca puisi berisi semarak aksara.
Sambil membaca gelap di tengah kota,
Lalu terpeleset ke dalam lengkungan bait panjang.
Pada deretan puisi lain selaras dengan isinya,
“jangan khawatir, aku di belakangmu”.
Kau memang selalu di situ,
Tapi tak bisa menopang langkah demi langkah
Bersuara riak menggema di antara kita.
Aku mendengar kata di bola matamu,
Hari ini, penggalan katanya terpencar liar
Karena tidak disirami setiap malam.
Mungkin mendapati kata lain,
Untuk dipasangkan menjadi kalimat
Yang membuat hatimu terperanjat.
April, 2024
PERCAKAPAN TAK KUNJUNG SUDAH
Langit memancarkan cahaya
Kepada kekasih yang dipenuhi gelak tawa
Di bawah birunya langit amerta
Mereka hidup tak lekang bercinta
Tiap saat mereka membaca
Buku puisi karya penyair sastra
Tuk berbincang perihal kosa kata
Berujung cerita yang tak ada ujungnya
Bangku seberang tempat wisata
Memotret kehadiran mereka
Yang kerap mengulang reka
Dan berakhir sebelum pukul dua
Obrolan tak kunjung reda
Jika salah satu tidak berkata sudah
Sepertinya, langit gelap tak menggema
Lantaran mereka teramat lupa
Lupa kalau langit akan berganti warna
Tak bercahaya berganti jingga
Percakapan tak dapat diterka
Langit menanti di esok malamnya
November, 2023
KOTA, KITA, HAMPA
Alam Sutera,
Seterang asap pohon-pohon yang ditebang.
Komplek Pondok Indah,
Semewah pejabat yang memberangus band Sukatani.
Patung kuda,
Selalu penuh belukar aspirasi yang dihempas.
Kita semua tetap buruh,
Entah yang di BSD, SCBD,
Dan kawasan industri elit lainnya.
Hampir seminggu full meraba BSD,
Terpapar Teras Kota yang jauh dari kota Jakarta.
Idealnya,
Makan malam di The Breeze
Sambil pakai lanyard kantor.
The Breeze, mahal buatku
Yang penghasilannya habis dirauk tagihan tak kasat mata.
S11 sudah tiba.
Stress di kepala mengkelakar lagi,
Melihat macetnya kota kita yang selalu dihinggapi bahaya.
Maret, 2025
BIODATA :
Devi Oktaviana, perempuan kelahiran Jakarta tahun 2002. Ia senang menulis, membaca, dan menjelajahi kota. Beberapa karyanya telah dipublikasikan di media-media daring. Ia dapat disapa melalui Instagram: @devioktaavv.