Puisi

5 PUISI EKO PETRA

LUBANG YANG TERLAMBAT

Di Pulau Bai pelabuhan ternganga,
pendangkalan menjelma luka yang lama.
Kapal tertahan, solar tak sampai,
jerit mesin menggema di tengah pagi yang sepi.

Bengkulu menunggu, sabar yang nyaris basi,
bagai lubang digali kala tai hendak lari.
Terlambat sudah, tak bisa ditahan lagi—
bau melesat, malu pun tak bisa sembunyi.

BBM langka, antrean seperti doa sunyi,
mata nelayan, supir, petani—semua letih berdiri.
Solusi datang dari provinsi tetangga,
jalan berlubang menertawai roda yang memaksa.

Kota menunggu, bukan janji yang hampa,
tapi langkah nyata, bukan sekadar kata.
Karena hidup bukan tunda dan sabar semata,
tapi tentang hadirnya harapan yang nyata.

Jika pelabuhan tak juga dikeduk,
dan jalan tetap menjerat seperti belukar buruk,
maka Bengkulu hanya akan terus menunggu,
seperti menanti hujan di musim yang kelu.

Namun rakyat bukan hanya tahu menunggu,
mereka mengingat, mencatat, dan merindu:
akan negeri yang tak terus membuat lubang,
saat sesuatu sudah terlanjur hendak pulang.

Bengkulu 26-05-2025


CATATAN REDAKSIONAL

Lubang di Antara Sabar dan Solar

oleh IRZI Risfandi

Puisi “Lubang yang Terlambat” karya Eko Petra bukan sekadar curahan hati warga daerah pesisir yang kehabisan solar dan kesabaran, tapi juga manifestasi protes yang manis dan centil terhadap infrastruktur yang tidak pernah benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Di Pulau Bai, pelabuhan tak lagi menjadi gerbang, melainkan luka yang menganga. Baris pembukanya seperti menyambut pembaca dengan seruan lirih dari kampung yang tak kunjung dilirik, dan dari sanalah, kita langsung tahu bahwa ini bukan puisi tentang rindu atau cinta, tapi tentang BBM, lubang jalan, dan warga yang muak tapi masih bisa tertawa.


Dengan gaya berpuisi yang tidak takut “jorok tapi jujur,” Eko menyelipkan metafora tak terduga—lubang kala tai hendak lari—yang terasa nyinyir namun sangat membumi. Ia berhasil menghadirkan realitas infrastruktur yang rusak dan janji-janji pembangunan yang basi tanpa terdengar menggurui atau mendramatisasi. Justru, inilah kekuatan puisinya: kritik dibungkus dalam humor tipis yang menyengat, seperti tawa pahit yang tahu diri sedang disesatkan tapi tetap harus antre. Warga menunggu solar seperti menunggu anugerah ilahi, dan antrean pun disulap jadi “doa sunyi”—satu frasa kecil yang memuat perih sekaligus puisi.


Menariknya, Eko Petra—nama pena dari Eko Zapetra Srijono—bukanlah penyair salon atau seminar. Ia tumbuh di Bengkulu dari rahim teater dan panggung, menulis sejak SD, dan dikenal luas sejak tampil di level nasional bersama Teater Jengkal. Puisinya bukan hasil ruang baca sunyi, tapi hasil fermentasi lapangan: terminal, pasar, dan jalan berlubang. Ia adalah penulis yang tahu betul tekstur debu di sepatu nelayan dan irama sabar petani saat ban kendaraan mereka terjebak di aspal cacat. Kini, ia tak hanya menulis, tapi menggubah puisi menjadi lagu dan lukisan berbasis AI—sebuah usaha kontemporer yang tak melupakan akar.


Dalam puisi ini, Eko tidak hanya mengajukan keluhan, tapi juga membisikkan harapan. Ia menyelipkan teguran halus: “karena hidup bukan tunda dan sabar semata, tapi tentang hadirnya harapan yang nyata.” Ini bukan sindiran sarkas semata, melainkan panggilan agar pemerintah tidak hanya datang saat kampanye, tapi benar-benar memperbaiki pelabuhan dan jalan dengan niat, bukan janji. Bahwa rakyat bukan hanya tahu menunggu, tapi juga mencatat, mengingat, dan merindu. Kalimat itu berdiri sebagai pengingat: warga kecil tahu, dan mereka menyimpan semua dalam memori kolektif yang tak mudah dilubangi.


“Lubang yang Terlambat” adalah puisi jalanan yang tajam, puitis tapi politis, dan mampu berdiri gagah di tengah literatur yang terlalu sering menghindari realitas konkret. Eko Petra membuktikan bahwa puisi bisa menjadi alat kritik, sekaligus pelipur luka sosial yang terlalu sering dibiarkan sembuh sendiri. Ia bicara tentang Bengkulu, tapi gema puisinya bisa terasa hingga ke mana pun ada rakyat yang bosan dijanji dan lelah disuruh sabar.

2025


BINTANG FAJAR YANG PENYENDIRI

Dalam gulita yang belum sepenuhnya reda,
kau menyala di langit yang lengang—sendiri,
sementara malam enggan pergi,
dan fajar masih ragu untuk datang.

Engkau bukan yang paling terang,
bukan pula yang dinanti puja.
Tapi di sepi ujung malam,
hanya kau yang bersetia.

Bintang fajar, kau tak menunggu tepuk tangan,
kau tak perlu langit cerah untuk bersinar.
Kau muncul saat yang lain masih diam,
mengiring pagi dari jarak yang sabar.

Apakah kau tak lelah,
menjadi cahaya yang tak pernah disapa?
Apakah kau tak rindu,
pada kawan bintang yang telah tidur dalam senyap?

Namun tetap, di batas harapan dan kehilangan,
kau menggantungkan diri di langit yang pudar,
mengajarkan bahwa kadang menjadi sendiri
adalah bentuk paling jujur dari tabah.

Bintang fajar, penyendiri yang setia,
tak perlu ramai untuk bermakna.

Bengkulu 02-06-2025


DENDAM REMBULAN DI LANGIT SORE

Ia tak tunggu malam merunduk,
tak sudi menunggu bintang menyalakan pelipuk.
Rembulan itu muncul saat senja masih berdarah,
dalam langit yang separuh luka, separuh dusta.

Bukan cahaya yang dibawanya—
melainkan bekas rajam dari ribuan tangan,
yang dulu bersumpah menyayanginya,
lalu menikamnya di tengah panggung puisi dan nyanyian.

Dulu, ia hidup di dalam karya,
dalam syair-syair yang dielu-elukan dunia.
Namun cinta yang mereka pekikkan,
adalah belati dalam pelukan.

Mereka lukis senyumnya dengan arang,
mereka sembah wujudnya lalu bakar tubuh bayang.
Ia dibuat mati dalam keabadian,
dikubur hidup-hidup dalam panggung kesenian.

Kini ia kembali—
di langit yang belum sempat gelap,
karena malam tak cukup gelap untuk menampung dendamnya.
Ia menyusup saat sore belum sempat berdoa,
karena langit yang jujur pun takut padanya.

Wajahnya putih, bukan karena suci,
tapi karena tak lagi punya darah untuk menangisi.
Ia tak bersinar—ia membara dalam senyap,
menjadi hantu dari cinta yang dibunuh diam-diam.

Dan mereka yang pernah mencintanya,
akan melihatnya,
akan tahu:
rembulan sore bukan sekadar cahaya,
tapi sumpah patah yang tak mau padam.

Bengkulu 05-06-2025


MENDUNG HATI

Langit dadaku kelabu,
awan-awan berat tak jua berlalu.
Di tiap helaan napas, sunyi mengendap,
seperti hujan yang enggan jatuh, tapi lelah menahan.

Ada rindu yang tak sempat pulang,
dan kata-kata yang gugur sebelum disampaikan.
Luka tak bersuara,
menari pelan di pelupuk jiwa.

Kau bilang: “Ini hanya cuaca.”
Tapi hatiku sudah lama tak kenal cerah.
Mendung ini bukan sekadar langit,
ia bersarang—diam-diam—di balik senyum yang sempit.

Aku berjalan di dalam diriku sendiri,
menyusuri lorong tanpa lampu, tanpa denting.
Andai ada pelangi yang tahu arah pulang,
akan kupeluk warnanya dalam senyap yang panjang.

Tapi untuk kini, biarlah begini:
hati mendung, langit pun mengerti.
Kadang, kita hanya perlu diam,
agar hujan bisa menangis sampai reda sendiri.

Bengkulu 20-05-2025


DI SUBUH HUJAN, BERSAMA WALANG SANGIT

Hujan datang tanpa suara,
menyusup di antara sisa mimpi dan doa yang belum selesai.
Langit masih pucat,
tak sepenuhnya terang, tak sepenuhnya gelap,
seperti hati yang ragu
antara mengenang dan melepaskan.

Rintiknya jatuh perlahan
di atap seng tua,
di dedaunan yang menua,
di jalanan lengang yang mengingatkan akan kenangan
yang pernah tumbuh, lalu hilang.

Udara membawa dingin yang menggetarkan,
bukan dingin yang menusuk,
tapi yang mengingatkan akan pelukan yang tak lagi ada.
Dan di tengah sunyi yang hampir suci,
datanglah ia—
bau walang sangit,
tajam, menyusup,
menabrak hening dengan cara yang tak sopan
namun jujur.

Ia seperti kenangan pahit
yang muncul tiba-tiba di tengah doa,
mengganggu,
tapi tak bisa diabaikan.
Ada sesuatu yang nyata dalam baunya,
seperti luka yang belum sembuh,
atau nama yang masih tertinggal
di ujung sajadah.

Subuh ini menjadi saksi—
antara rintik yang jatuh dari langit,
dan aroma tanah yang basah
dengan getir yang tak bisa dihindari.

Aku duduk diam,
tak ada yang perlu dikatakan,
hanya menatap hujan yang jatuh dengan setia,
sama seperti aku yang masih
menunggumu
meski tahu kau tak akan datang.

Dan bau walang sangit itu,
anehnya,
menemani.
Ia tak indah,
tapi nyata.
Ia tak diinginkan,
tapi hadir.
Seperti perpisahan
yang tak sempat diucapkan.

Bengkulu 26-04-2025


BIODATA :

Eko Petra, nama panggung dan pena dari Eko Zapetra Srijono Z.R., lahir dari pasangan Zaidum Mar’i dan Ratsiba. Ia tumbuh dalam keluarga abdi negara, namun sejak usia tiga tahun hidup bersama perpisahan orang tuanya. Kecintaannya pada dunia penulisan dimulai sejak bangku SD, dan semakin mendalam saat bergabung dengan teater sekolah di MAN Model Bengkulu pada tahun 2001. Perjalanannya berlanjut ke SMA Muhammadiyah 1 Bengkulu, tempat ia turut membangun cikal bakal komunitas teater sekolah.


Selepas SMA, ia sempat bergabung dengan Sanggar Teater Bahtra di Universitas Bengkulu, meski kemudian memilih berhenti kuliah dan sempat menjajal dunia kerja sebagai agen asuransi. Ia kembali ke dunia seni, melatih teater di almamater SMA-nya dan aktif dalam berbagai komunitas dan organisasi. Tahun 2011 menjadi titik penting ketika ia bergabung dengan Teater Jengkal dan mulai tampil dari panggung ke panggung, hingga ke level nasional pada 2016.


Pada tahun yang sama, ia menerbitkan kumpulan puisi perdananya berjudul Sampah (Probi Media Group), serta tampil dalam acara seni di Malaysia. Kegiatan tersebut mengantarkannya bergabung dengan ZK Nusantara, komunitas sastra internasional yang kini memiliki perwakilan di Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, dan sejumlah negara lain.


Kini, Eko Petra masih aktif berkarya, tengah menggubah puisi-puisinya menjadi lagu, gambar, dan lukisan dengan dukungan teknologi AI. Ia juga mendampingi mahasiswa Universitas Dehasen Bengkulu dalam kegiatan teater, serta terus menetap dan berkarya di Bengkulu.


Media Sosial:
FB: Petra Sikinlil & Eko Petra
IG: @sikinlili


Check Also
Close
Back to top button