SolilokuiVeritas

Kontroversi Menteri Kesehatan: Masa Lalu dan Masa Kini

Beberapa tahun kemudian, setelah beliau tidak menjadi Menkes, kudengar  beliau bolak-balik dipanggil penyidik. Isunya tentang korupsi pengadaan alkes rumah sakit di daerah Indonesia Timur. Walaupun hanya mengenal beberapa jam, aku rasa beliau adalah orang baik. Orang yang baik bekerja di sistem yang buruk, bisa jadi orang jahat. Begitu kata orang bijak. Nyatanya pengadilan tak mengenal perasaan. Beliau divonis penjara selama 2 tahun 3 bulan.

Oleh     :  Rizky Adriansyah*

JERNIH– Hening, sunyi, namun pikiranku bergejolak. Ada kegelisahan yang memuncak. Bukan tentang diriku. Tapi soal buruknya wajah dunia kedokteran. Sejarah sepertinya tak mampu menghentikan degradasi etika. Pun martabat profesi dokter yang dulu mulia tidak menjadi referensi lagi. Semuanya disingkirkan oleh nafsu pejabat yang suka menipu atas nama kepentingan rakyat.

Sudah lama aku tidak menulis dengan gaya melankolis. Padahal itu sering  kulakukan saat awal-awal bekerja sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT) di Maluku Utara. Aku mencatat tentangku dalam buku harian. Namun aku kecewa, buku itu lenyap saat menaiki ketinting, nama lain dari perahu kecil. Kejadiannya di tengah malam, ombak besar, dan hujan lebat. Hanya ada aku dan seorang pemuda pemilik ketinting itu. Rasa dingin, takut, dan gelap menghantuiku. 

Buku itu sempat kugenggam erat, namun jatuh tenggelam di lautan. Aku  sempat menangis, apakah ini adalah hari terakhir hidupku. Alhamdulillah, akhirnya aku selamat sampai di Desa Kedi, Halmahera Barat. Kisah itu memberi hikmah buatku agar jangan bersandar pada masa lalu untuk mencapai masa depan. Dan jangan mudah menyerah, jika pengalaman menginginkan kita untuk berani.

Setelah dua bulan menjalani tugas di Puskesmas Kedi, aku kembali ke Ternate, Maluku Utara. Aku belajar dari kejadian memilukan itu, takkan mau naik ketinting lagi di tengah malam. Dalam perjalanan, aku bertemu sejawat yang bertugas di Kecamatan Ibu, hanya bersebelahan kecamatan dengan tempat tugasku. Aku singgah ke Puskesmas-nya. Wah, antar-Puskesmas saja bisa berbeda fasilitas. Padahal sosio-ekonomi masyarakatnya masih relatif sama.

Kesenjangan antar-Puskesmas itu kulaporkan ke kepala dinas kesehatan.  Alih-alih mendapat dukungan, kepala dinas malah menuduhku sebagai dokter ‘cengeng’. Padahal aku sama sekali tidak menuntut tambahan gaji. Yang kuinginkan hanya bagaimana bisa melayani kesehatan dengan baik. Beliau malah melontarkan pernyataan yang pongah, “Kalau kitorang tara suka, silakan pindah Puskesmas.”  Nuraniku terbesit, dia sama sekali tak memikirkan nasib kesehatan rakyat Kedi.

Di suatu malam, kudengar berita RRI jika Menkes Achmad Sujudi akan  berkunjung ke Ternate. Wah, ini kesempatan bagus buatku. Setidaknya bisa jadi ajang ‘curhat’. Bersama sejawat lainnya, kami melobi pejabat dinas kesehatan agar bisa bertatap muka. Ada Dokter Husein Kausaha, beliau yang membantu mempertemukan kami dengan Menkes dalam sebuah jamuan. 

Terjadi perbincangan hangat. Namun tetiba muncul keriuhan. Menkes  mengatakan pelayanan kesehatan semakin baik sejak adanya kebijakan otonomi  daerah. Mendengar hal itu, emosiku meluap. Diskusi yang awalnya santai mendadak serius. Dengan nada keras anak Medan, aku berteriak. “Pak, faktanya tidak demikian.” Sejawatku yang lain juga ikut berteriak, “Pak, ini hanya di atas kertas”, dan banyak teriakan lainnya. Nyaris rusuh.

Pihak protokoler berusaha menyudahinya. Tapi Menkes memahami  situasinya. Jika dia pergi begitu saja, maka berdampak buruk atas pencitraannya.  “Semua keluhan didengar dan dicatat. Mohon nanti sampaikan tertulis”.

Ketegangan mereda. Di tengah amarah, ada hati gembira. Bagiku bisa berbincang langsung dengan Menkes menjadi kebanggaan tersendiri. Hmm, sayangnya waktu itu belum ada foto selfie bareng pejabat. He he.

Beberapa tahun kemudian, setelah beliau tidak menjadi Menkes, kudengar  beliau bolak-balik dipanggil penyidik. Isunya tentang korupsi pengadaan alkes rumah sakit di daerah Indonesia Timur. Walaupun hanya mengenal beberapa jam, aku rasa beliau adalah orang baik. Orang yang baik bekerja di sistem yang buruk, bisa jadi orang jahat. Begitu kata orang bijak. Nyatanya pengadilan tak mengenal perasaan. Beliau divonis penjara selama 2 tahun 3 bulan.

Sudah jam 12 malam. Pikiranku meloncat pada Menkes sekarang. Budi Gunadi Sadikin, yang punya background bankir. Awal menjadi Menkes, BGS masih harus ngurusin ‘PR’ Menkes sebelumnya, dr Terawan, yang terbengkalai. Pun akhirnya pandemi berlalu, bukannya menjadi tonggak memperbaiki sistem kesehatan nasional, hubungan BGS dan para dokter perlahan ‘meregang’.

Semua diawali dengan rencana Pemerintah merancang  Undang-undang (UU) ‘sapu jagat’ Kesehatan.  Undang-undang yang seolah-olah pro-rakyat, namun faktanya tidaklah demikian. Sebagaimana yang aku rasakan saat menjalani PTT, semua aturan dibuat dengan narasi indah. Dokter tidak lagi punya peran sentral dalam upaya kesehatan.

Kini aturan itu sudah bernama UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), organisasi profesi tidak lebih dari ‘ormas’. Ralat Kemenkes tak lagi penting karena telah menimbulkan luka.  Seperti yang terjadi saat aku bertugas sebagai dokter PTT, keinginan untuk bersinergi “hanya di atas kertas”. Dialog dengan akademisi dibuat formalitas untuk menutupi ambisinya. Dibandingkan Menkes sebelumnya, BGS lebih ‘licik’, kata lain dari cerdik. Semua dibungkam dalam suatu jamuan makan malam. Taktik itu  yang kebanyakan orang tidak menyadarinya. Diam-diam BGS mengendus, mana yang bisa diajak karena ‘yes man’, dan mana yang harus disingkirkan karena ‘no man’

Ada benang merah yang bisa ditarik lurus antara lahirnya UU itu dengan kebijakan-kebijakan ala BGS. Mulai dari penghapusan rekomendasi izin praktik, penyelenggaraan pendidikan kedokteran berkelanjutan, pengawasan etik dan disiplin, sampai pada soal independensi kolegium. Berbagai tuduhan halus Menkes sampai dengan fitnah kasar’ buzzer-buzzernya, sengaja diviralkan. Tujuannya untuk memecah-belah dokter dan melemahkan organisasi profesi.

Akhirnya kritik memuncak pada soal independensi kolegium. Menkes BGS ingin benar-benar seluruh kolegium yang ada di organisasi profesi ‘dikudeta’. Ini membuat gundah para akademisi dan guru besar dari berbagai Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia. Menkes BGS telah nyata-nyata melakukan kesewenang-wenangan. Syukurnya, kritik tidak hanya datang kalangan kedokteran, teriakan tokoh-tokoh masyarakat dan ‘emak-emak’ juga menggema.

Setelah terjadi geser dan gusur para pengurus Ikatan Dokter Anak  Indonesia (IDAI) yang vokal, makin banyak yang tersadar akan ‘kudeta kolegium’ ini. Semakin kontras saat BGS mengatakan ada 300-an RS di daerah yang belum ada dokter kandungan. Padahal hanya 30-an saja. Atas alasan itu, dia ingin prosedur sectio caesarea diturunkan ilmunya,  agar bisa dikerjakan dokter umum.

Bukankah itu kewenangan kolegium untuk menentukan siapa yang berkompeten?

Kontroversi kudeta kolegium ini seperti belum lengkap. Di tengah-tengah penolakan kebijakan Menkes itu, BGS malah melontarkan ucapan lainnya yang kontroversial. BGS blunder saat mengatakan ukuran celana jeans 33 – 34 lebih cepat menghadap Allah. Hal ini justru memantik sikap kontra masyarakat. Bahkan ada yang menduga jika BGS sedang menyindir Presiden Prabowo Subianto dan beberapa menteri lainnya yang punya ukuran pinggang gede.

Belum puas dengan kepeleset lidahnya, BGS bilang masyarakat yang gaji lebih dari Rp15 juta lebih pintar dan sehat. Ucapan yang sangat tidak bijak dan diskriminatif. Dia mencoba klarifikasi melalui rapat dengar pendapat dengan wakil rakyat. Walapun mengakui kesalahan dengan gaya playing victim-nya, rakyat sepertinya sudah paham dengan model kepongahan BGS. Sulit untuknya mengubah kebijakan otori-tariannya, karena ada misi terselubung yang ingin diselamatkan.

Ya, sudah banyak uang negara yang dibebankan. Beli alkes canggih, USG dan cath-lab, proyek-proyek pembangunan gedung mewah RS, dan masih banyak lagi. Nyatanya penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) juga harus tertunda karena fasilitas kesehatan di daerah belum memadai. Sangat paradoks. Untuk apa dan siapa ini semua, jika rakyat masih banyak yang sakit dan miskin?. Hu hu hu, hanya pemimpin masa depan yang bisa menjawab itu semuanya. [ ]

* Dokter spesialis anak, subspesialis jantung anak

Back to top button