Puisi

5 PUISI ENCEP ABDULLAH

KOITUS

lelaki tak bisa bertarak
pada hasrat yang berjarak

jauh melampaui batas sangkala

duhai, aku mencarak dada
melegar segala raga: daraku

kainmu yang lejas
semakin ingin aku bergegas
berlezat pukas

berlekap kelat tak berlepas
mendaduhkannya: leka!

duhai, tuhan
aku mencapai adnan
*

CATATAN REDAKSIONAL

Di Antara Lejas dan Adnan: Percintaan Encep yang Tak Bertarak

*

Kalau ada puisi yang layak disebut meditasi erotik Nusantara, Koitus dari Encep Abdullah mungkin adalah salah satunya. Dari judulnya saja sudah terasa tidak basa-basi: frontal, tapi tetap puitik, dan yang paling penting—berakar. Encep tidak asal bicara tubuh; ia menulis dengan kosakata yang menggema dari dalam tanah, dari akar bahasa yang menolak disterilkan oleh norma moral kekinian. Dengan sepuluh baris yang terasa seperti satu tarikan napas klimaks, Encep mengajak kita menyusuri tubuh puisi seperti meniti tubuh kekasih yang samar antara kehadiran dan kenangan.

Bait pembuka, “lelaki tak bisa bertarak / pada hasrat yang berjarak”, langsung menyingkap tesis utama puisi: bahwa dalam medan cinta, tak semua jarak melahirkan keheningan. Kadang justru sebaliknya: jarak adalah pemantik gelora. Tarak, atau menahan nafsu, menjadi mustahil ketika tubuh kekasih hadir lewat imaji, walau samar dan jauh. Apalagi jika waktu (sangkala) tidak berpihak. Di sini, Encep seperti mengumandangkan deklarasi kecil: cinta, atau lebih tepatnya hasrat, tak bisa dijinakkan hanya dengan waktu dan niat baik.

Lalu masuklah kita ke baris-baris yang intens dan meletup: “duhai, aku mencarak dada / melegar segala raga: daraku”. Kita tahu bahwa mencarak berarti mengisap, dan melegar adalah tiruan bunyi petir menurut KBBI. Maka yang terjadi di sini bukan hanya puisi tubuh, tapi juga puisi atmosfer: tubuh yang disedot dalam hisapan hasrat, sementara tubuhnya sendiri memekik bagai petir. Tubuh menjadi cuaca, kemesraan menjadi badai, dan cinta menjelma cuaca ekstrem yang tak bisa ditangguhkan. Citra ini lalu dipertajam dengan baris “kainmu yang lejas / semakin ingin aku bergegas / berlezat pukas”. Bayangkan! Betapa tiga kata saja—lejas (transparan), bergegas, dan pukas (kemaluan perempuan)—sudah mampu membangun adegan yang erotik tapi tidak jorok. Ini teknik yang hanya bisa dilakukan oleh penyair yang mahir mengatur tekanan emosi dan imaji.

Lantas, ketegangan dijahit rapat dalam irama baris “berlekap kelat tak berlepas / mendaduhkannya: leka!” Di sini tubuh dan tubuh melekap seperti mantra. Lekap kelat, yang berarti menempel erat, dikombinasikan dengan daduh (meninabobokan) dan leka (asyik), membentuk atmosfer cinta yang tak hanya fisikal tapi juga psikis. Hasrat bukan lagi cuma pertemuan kulit, tapi juga pertemuan nyanyian sunyi yang membuat lupa waktu dan duka.

Puncaknya adalah bait pamungkas yang mendobrak haru dan menggoyang iman: “duhai, tuhan / aku mencapai adnan.” Bayangkan, adnan sebagai metafora surga, dan koitus menjadi jalan spiritual menuju sana. Encep tidak sedang mengerdilkan agama, justru ia tengah meradikalkan pemahaman kita tentang ibadah yang lebih jujur: ketika tubuh tidak ditolak, tapi dirayakan; ketika cinta fisik adalah jalan menembus langit. Di sinilah Koitus menjadi semacam zikir rahasia, yang dibisikkan para kekasih di kamar sunyi.

Sebagai penyair, Encep Abdullah tidak sedang bermain-main dengan kata-kata. Ia sedang menyulam kosakata lama ke dalam arsitektur puisi masa kini. Ia tidak takut memakai kata-kata seperti pukas, mencarak, atau lekap kelat karena ia tahu bahwa bahasa puisi sejati harus mampu mencampurkan spiritualitas dan sensualitas tanpa rasa bersalah. Dan di situlah kekuatannya: puisi ini bukan puisi cabul, ini puisi tentang pencapaian spiritual yang paling jujur—dan kadang memang, paling manusiawi.

2025

*

4 Puisi lainnya dari Encep Abdullah

SERDAK

Tuhan, aku serdak tak bersukma
melayang tiada terkira

disapu anak Adam dan Hawa
atau angin yang diantarkan oleh musim

meruatkan jasadku
:mangut

aku terkapah dalam terik
dalam gigil hujan; hilang mengendap
di kolong meja atau di sudut-sudut kota

apa yang bisa ku-perbuat
selain ruai tak bersorak-sorai

Tuhan, bukankah tiada lebu laksana
jalan tanpa hambatan?

biarpun hina-gelita
aku tak mau lingkap pada hidup
aku bisa menginja ke mana pun

tak berhelat!

*

PERIFRASIS

lampu-lampu takkan menyala
kala daya lebih rendah kadarnya
kau pun tutup usia

beristirah sunyi dalam tanah
serupa busur melepas anak panah
mengena tubuh luka penuh nanah

lampu-lampu akan menyala
kala daya lebih tinggi kadarnya
kau pun tutup usia

beristirah sunyi dalam tanah
serupa busur mencumbu anak panah
mengena tubuh seksi penuh gairah

—barzah!
*

MOLER

aku berdoka segala perempuan adalah pelacur
yang melacur diri pada ketiak lelaki: berserah jasad
meski barangkali mereka akan membalak
segala galak dari lidahku tak bertulang: mendilak

segala doka-ku semakin menggerojak
kala mahar mereka meminta tak sekadar
menampar wajahku yang lugu dan fakir
tiadakah kau minta yang sekadar: tanpa gusar?

aku masih berdoka segala perempuan adalah pelacur
tetapi adakah pelacur-pelacur suci yang berhias diri
tanpa menolak segala rupa-duka para lelaki
yang usai lintang-pukang berjelajah diri sampai kejang

barangkali boleh jadi kau tak meminta apa pun
segala mahar yang tak sekadar itu
tetapi ingatlah hidup denganmu adalah perjuangan
melawan segala; menemu takdir

aku masih terus berdoka
segala perempuan adalah pelacur

*

PERJAMUAN DOA DI SINDANGSARI

kutulis puisi ini sebagai tanda cintaku kepadamu

cintaku yang tak neko-neko

tak ada mawar atau cokelat

tak ada kue tar atau donat

empat puluh satu tahun usiamu

kau merangkaki waktu 

mengubah suai bagi para pejalan

mencari suluh keimanan

aduhai, kau yang lindap menuju qadim

inilah ganjaran kesalimanmu

kepada insan yang papa dan majenun seperti aku

yang dulu sebelum menyusu buku-buku

izinkan aku mengalamatkan rinduku kepadamu

dalam perjamuan doa di sindangsari

semoga tuhan merahmati dan tak memalis doa-doaku 

meski tampak berlekas-lekas ingin segera diamini

kutulis puisi ini sebagai salam dan pelukan

terimalah ia meski bait-baitnya keruntang-pukang

berkelindan dalam pusara kenangan
*

Encep Abdullah, pendiri Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar) dan Dewan Redaksi NGEWIYAK.com. Menulis buku puisi Tuhan dalam Tahun (2014) dan Dandan Kawin (2019).

Back to top button