Puisi

5 PUISI FEBRI MIRA RIZKI

Bonbon Kelapa dan Kue Widaran

Puasa ini kali sungguh berbeda, Pak
Aku tak sibuk menyiapkan segalanya
Ketiadaanmu menambah hening di kepala
Sudah tergambarku suasana di rumah kita
Semangat merayakan hari kemenangan pun hampa

Kek, biasanya planjauh hari sebelum hari ini sudah mengudara
: Liburan kita!
Pulang ke kampung halaman.
Bertemu kakek terbaik sedunia kepunyaan kamiadalah bahagia
Namun, nyatanya malam ini masih mengumpulkan kekuatan
untuk mengenyahkan air mata yang tak sempat terseka
Tatkala melihat bonbon kelapa dan kue widaran kesukaanmu
di salah satu toko roti ternama
: Kek, kami rindu….

Aceh Tamiang, 27 April 2025

CATATAN REDAKTURIAL

Bonbon Kelapa, Widaran, dan Puisi yang Menggurat Air Mata

Oleh Irzi

Kadang-kadang, sebuah puisi yang paling menusuk justru tidak perlu berpanjang-panjang, berputar-putar, atau memakai metafora level langit. Cukup dengan bonbon kelapa dan kue widaran, Febri Mira Rizki berhasil menggambarkan kehilangan dengan jenaka yang diam-diam mengiris. Dalam puisinya yang berjudul Bonbon Kelapa dan Kue Widaran, sang penyair asal Aceh Tamiang ini seakan tak sedang menulis puisi, tapi membuka bungkusan rindu yang meleleh pelan—seperti isi kelapa manis di lidah anak kecil yang mendadak kehilangan kakek tercinta.

Yang paling menarik dari puisi ini bukan hanya pilihan diksi sehari-harinya, tapi juga kejujuran rasa yang mengalir liris, tanpa berlebihan. Febri Mira Rizki yang juga dikenal sebagai guru inspiratif dan penggerak Karmina Asean, punya kebiasaan menulis puisi seperti menata meja ruang tamu menjelang lebaran: sederhana tapi sarat makna. Ia tak butuh metafora kompleks—cukup sebutan “Pak” dan “Kek” untuk menjahit dua ruang kehilangan: ayah dan kakek. Dan semua itu dikuatkan dengan satu latar yang sangat kita kenal: toko roti dengan jajanan nostalgia.

Lepas dari kesedihan yang menganga, puisi ini menyimpan nilai penting dalam estetika puisi kekinian: kepiawaian membingkai kesedihan dalam gestur kecil yang relatable. Tidak perlu menyebut “air mata” terlalu banyak, cukup hadirkan kue widaran dan bonbon kelapa—maka kita semua paham itu adalah air mata yang belum sempat terseka. Kuatnya puisi ini justru terletak pada jeda, pada barang-barang kecil yang merepresentasikan rumah, pada rencana libur yang gagal jadi kenyataan. Rindu dalam puisi ini tidak membentak, tapi membisik.

Mungkin ini pula yang menjadikan karya Febri Mira Rizki kerap hadir di media nasional hingga internasional, serta membawanya menyabet gelar juara dalam berbagai lomba. Ia tahu bagaimana menahan diri. Ia tahu bagaimana menggunakan kenangan bukan sebagai air mata dramatis, tapi sebagai jembatan hening yang membuat pembaca ikut pulang ke rumah. Bahkan tanpa menyebut satu pun kata “kematian,” puisi ini menohok dengan caranya sendiri.

Dan akhirnya, meski puasa ini tak sama seperti biasanya, puisi ini tetap menjadi sajian manis di meja literasi kita. Seperti kue widaran yang meski sederhana tapi renyahnya bikin candu, karya Febri ini membuktikan bahwa puisi tak harus berat atau ruwet untuk menyentuh—ia hanya perlu jujur, tulus, dan disampaikan dengan rasa. Maka selamat menyantap puisi—tanpa perlu takut tersedak, karena Febri menyajikannya hangat-hangat dari kenangan.

2025
*

Puisi Febri lainnya:

Cangkir Warna-Warni

Yang diingatnya pasti si cucu penikmat dahaga
Meneguk bisa berpuluh kali dalam masa
Setengah lusin jejeran cangkir warna-warni
menghiasi hari tatkala mewadahkan air atau es krim pelangi
Sesederhana ini rasa bahagia
mencipta tawa dikekeh tirakat cucu-cucu kebanggaannya
: kepada biru, hijau, dan merah muda cangkir yang selalu membuat cengir;
Ada rindu yang bertamu setiap waktu.

Aceh Tamiang, 27 April 2025

Tasbih Ungu di Mobil Biru

Di sini, rindu mengapung dan mengambang
Tiada tetap pada sesosok yang telah menghilang
Pak, kendara yang kau bawa untuk membahagiakan kami
seolah bercerita ketiadaanmu
Kusimpan tasbih atas namamu di hatiku
Semua rasa tumpah pada bulirnya.

Aceh Tamiang, 27 April 2025

*

Abaya Hitam

Kuantar kau penuh haru ke Kuala Namu
meski menunggu tanpa anak cucu hanya lambaian dari ribuan pintu
Pak, ini saatnya Allah memanggilmu dengan pasti
Labaikallah Humma Labaik.”
Semoga berkah perjalanan ke tanah suci,
buah dari hasil semai yang kau tuai setiap hari
Umrah pertama dan terakhir dihidupmu
Sempat-sempatnya kau beli buah tangan untuk keluarga
padahal rupiah yang ada tak sebanyak mata bercerita
Abaya hitam bermotif warna kesukaan: ungu
Kau bawa pulang sebagai kenang diingatan.

Aceh Tamiang, 27 April 2025

*

Kepada Inisial “E”

Disapa rindu!
Mungkin kamu yang mengirimnya

Aceh Tamiang, 27 April 2025

Bionarasi

Febri Mira Rizki, lahir di Batuphat Timur, 09 Februari 1990. Pernah menjuarai berbagai lomba kepenulisan. Karyanya terbit di Media Lokal, Nasional, Internasional, dan termaktub dalam puluhan Antologi/Trilogi, juga Buku Puisi Solo “Senarai Hati”. Mendapatkan Juara 1 Kategori Guru Inspiratif tingkat Provinsi Tahun 2023 dan 2024. Penerima ALI WLN Aceh 2024 oleh FIM. Penggerak Karmina Asean 2024 mendapatkan Rekor Muri oleh Perruas. Mengajar di MTsN 1 Aceh Tamiang. IG: febrimirarizki09. No.Hp: 087890584860

Back to top button