5 PUISI GALEH PRAMUDIANTO

DI PANTAI, ADEGAN YANG KAU SEBUT IKONIK ITU TELAH USAI
The 400 Blows (1959)
setelah berlarian di lapangan bola dan melakukan lemparan ke dalam
ia mengegas ambil ancang-ancang lalu melengos pergi
menembus celah tanah pada pagar kawat harmonika
melewati danau kecil, menempelkan tubuh ringkihnya
di sisi kolong jembatan untuk lari dari kejaran menyakitkan
terus berlari tanpa musik latar menegangkan
hanya deru napas meranggas, langkah kaki dan kicauan burung
pada hamparan stepa ia berlari-lari kecil melewati rerumputan
muncul suara latar setelah di bentang pantai
menuruni tangga menuju pasir dan riak air
ia mundur dua tiga langkah
wajah sadar menatap kamera
zoom in pada kebimbangan dan membeku seiring tutup layar
Submarine (2010)
setelah ciuman canggung di bawah jembatan
blitz kamera dadakan tanpa persetujuan
dan orang tua di ambang perceraian
ia tahu bahwa garis edarnya tak lagi sama
di kamar tempat ia tidur
tubuhnya umpama sebungkus coklat di atas knalpot
perlahan meleleh
air laut memenuhi ruangan dan tinggal ia terlelap di kasur
debur ombak menenggelamkan
dan dua-tiga burung mengepakkan sayap seadanya saja
karena memang begitulah mereka ditulis
sebagai perumpamaan kisah coming of age penuh tedeng aling-aling
dua minggu penuh gulali dan kembang api
terekam pada memori kamera super 8
senyum terus mengembang dan seperti tak ada lagi libur di esok hari
Decision to Leave (2022)
di saat seseorang mulai cinta
saat itu pula ia menerima siksa
menguburkan diri kelak jadi misteri
ego paling muskil dialami
diawali naik gunung dan memandang dari ketinggian
kini diakhiri dengan gundukan pasir
telah larut oleh air kalut
2023-2024
***
CATATAN REDAKSIONAL
Zoom In pada Luka, Fade Out di Pantai
oleh IRZI Risfandi
Membaca puisi “Di Pantai, Adegan yang Kau Sebut Ikonik Itu Telah Usai” karya Galeh Pramudianto seperti menonton montase panjang dari tiga film yang masing-masing membekas di ruang bawah sadar kita sebagai sinefil generasi VHS hingga Netflix. Tapi tunggu dulu—jangan buru-buru menyebutnya sekadar “puisi referensial”. Ini bukan catatan Letterboxd berbentuk sajak. Ini adalah puisi yang mengubah visual sinema menjadi sentimen, menyulap fragmen-fragmen film menjadi semacam terapi puitik bagi yang pernah gagal jadi protagonis dalam hidupnya sendiri.
Puisi ini memeluk tiga film berbeda: The 400 Blows, Submarine, dan Decision to Leave. Tiga film, tiga zaman, tiga cara terluka. Tapi semuanya berkumpul di satu titik yang senada: pantai sebagai ruang akhir—antara pelarian, pelepasan, dan perpisahan. Antoine Doinel lari dari panti remaja menuju laut yang absurd, Oliver Tate dari Submarine tenggelam dalam kenangan manis yang meleleh seperti coklat, dan Seo-rae dalam Decision to Leave memilih dikubur dalam arus cinta yang tak bisa diselamatkan. Galeh mengikat semua itu dalam narasi puitik yang tidak berkhotbah, tapi menggoda pembaca untuk ikut tersesat dalam keteduhan gambar bergerak yang melankolik.
Yang paling kentara dan patut dipuji dari puisi ini adalah kemampuan Galeh merayakan sinema sebagai bahasa emosional, bukan sekadar daftar kutipan. Ia tahu kapan harus berhenti “menjelaskan” dan mulai menaruh kepercayaan pada pembaca—sebagaimana sutradara menaruh kepercayaan pada penonton bahwa frame kosong pun bisa berkata-kata. Zoom in, freeze frame, fade out—semuanya hadir tanpa embel-embel teknis, tapi justru kuat karena dibiarkan berbicara dengan cara puisi: subtil, nuansa, dan mendalam.
Galeh sendiri adalah penyair yang telah menerbitkan Asteroid dari Namamu dan puisinya sudah merambah ke ranah internasional lewat Arkansas International dan Mantis Journal Stanford University—prestasi yang patut dicatat, mengingat puisi-puisinya sering mengambil bentuk intertekstual yang liris. Dalam puisi ini, ia mengajak pembaca melintasi batas antara layar dan halaman, mengaburkan mana cerita film dan mana fragmen hidup pembaca sendiri. Bukankah kita semua pernah jadi Antoine, Oliver, atau Seo-rae dalam versi kecil dari kisah cinta kita yang setengah jadi?
Kalau boleh usul, puisi ini seharusnya tak hanya dibaca dalam antologi atau di panggung deklamasi. Ia pantas dinarasikan sebagai voice over dalam slow-motion video kompilasi kenangan: first kiss, sunset di akhir liburan sekolah, hingga suara pintu bioskop ditutup pelan. Galeh paham bahwa sinema bukan sekadar tontonan, dan puisi bukan sekadar bacaan. Keduanya adalah cara untuk mengingat. Dan seperti yang diam-diam dia bisikkan lewat puisi ini: terkadang, kenangan tak punya ending bahagia. Tapi setidaknya, ia berakhir dengan estetik yang mengendap pelan-pelan seperti pasir basah di sela jari kaki.
2025
***
GIALLO
gedung teater itu telah terkunci
dan kuncinya ada dalam perut seseorang
yang pernah ditemuinya
di malam kuning dan merah kehitaman
hasrat melodramatik dan kegilaan erotik
kau pasti ingat pada menit berapa
ia mematikan lampu dan menutup pintu
hal luput terjadi: kuncinya tertinggal
dan perut seseorang itu isinya telah terburai
di bulevar basah sehabis hujan
tikus terlindas menjadi stiker bagi jalan
lalu ban mobil telah membawanya pergi
secepatnya dari sini.
***
GORE
Ini terdengar
seperti iklan biskuit di televisi
berapa siksaan? ratusan
Ini tak melulu tentang manusia dijadikan kelabang
atau badut kota dan serial pembunuh
tamasya mencari mangsa
Ini tak selalu tentang festival darah
potongan tubuh melayang
perut tersayat usus terburai
leher terpenggal banjir darah
seperti kucuran air mancur di celah bebatuan
Ini bak parade kaki bermoncong godzilla
mulutnya menjadi senapan dan
pelurunya mencelos ke kepala anjing mekanik
telah didarderrrdorrr hingga blebekkbleugh
di sinema amoral, kata orang-orang
Ini familiar macam orang mati diawetkan
dalam peragaan ulang abadi narasi mati suri
mencelat pada kenangan samar obsesif
Apa mungkin deretan itu semua
lebih menggeliat dan mencekam
dari kesepian yang telah digergaji
dalam dokudrama kematiannya sendiri?
***
FULL-WATCH VIDEODROME [1983] HD FULL MOVIE ONLINE | DOWNLOAD | 480P, 720P, 1080P (1983) FULL SNUFF FILM WATCH ONLINE FREE 123 BETAMAX TORSO ONLINE!! DOWNLOAD HERE ▶️⏩
TOLONG PUTAR ULANG
TOLONG PUTAR ULANG SAAT MAX RENN MELIHAT SIARAN GELOMBANG BARU
TOLONG PUTAR ULANG SAAT DAGING DAN LOGAM MULAI MENYATU
TOLONG PUTAR ULANG SAAT TELEVISI MENGEMBANG SEPERTI PARU-PARU
TOLONG PUTAR ULANG SAAT LUBANG MUNCUL DI PERUTNYA
TOLONG PUTAR ULANG SAAT PISTOL BERJENGIT DI TELAPAK TANGANNYA
TOLONG PUTAR ULANG SAAT TUBUHNYA MENJADI SINYAL
TOLONG JEDA
TOLONG JEDA SEBELUM BIANCA MENYURUHNYA PERCAYA
TOLONG JEDA SEBELUM NICKY HILANG DALAM TRANSMISI
TOLONG JEDA SEBELUM MULUT DI LAYAR MULAI MENCIUM
TOLONG JEDA SEBELUM SUARA BRIAN TERUS BERBICARA MESKI TELAH TIADA
TOLONG JEDA SEBELUM SEMUANYA MENJADI SIARAN LANGSUNG
TOLONG JEDA SEBELUM JARINGAN SYARAF DAN KABEL BERGANTI NAMA
TOLONG HENTIKAN
TOLONG HENTIKAN MAX YANG MASIH MANUSIA
TOLONG HENTIKAN MAX SEBELUM DIA MENJADI PROGRAM
TOLONG HENTIKAN MAX SEBELUM DIA PERCAYA PADA “THE NEW FLESH”
TOLONG HENTIKAN MAX YANG MASIH TAKUT PADA PERUBAHAN
TOLONG HENTIKAN MAX YANG TIDAK SEMPAT MEMATIKAN TELEVISI
TOLONG HENTIKAN MAX YANG BERUJAR “LONG LIVE THE NEW FLESH”
TOLONG HENTIKAN MAX YANG SUDAH TAK BISA DIHENTIKAN LAGI.
***
TEKS DARI SANA-SINI
—Faces Places, Agnès Varda
terhimpun potret segala muka
di dinding kota
ia ajak seniman jalanan
menumpahkan segala warna
“cara-cara mengingat adalah melukis
lesung pipi orang asing di setiap tempat”
kontainer mejikuhibiniu
dan pada toko roti favoritnya
ia merindu Godard
dengan sorot gebalau tak terbantah
diabadikan pada segala gestur
pada setiap hidup penuh sumur
ia tentu tak hendak berkata
“aku mewakili suaramu,
denyut kelas pekerja”
domplengan banal itu
tentu tak muncul sedikit pun
(bagai paralaks
mata luis bunuel disilet
huruf-huruf dalam miopia
teks ragam dimensi
poster film dalam sebuah publisis film)
paket bagi turis tak ada di sini
ia tak karib dengan dramatisasi dan angka
memotret dan gelak tawa
(galangan kapal, permukaan batu, aspal jalan
desa yang ditinggal penghuninya)
berkali-kali ia memandang
berdialog pada setiap kepala
masuk ke dunianya
sebab memori, mimpi dan seni
secanggih apapun lensa dan dokudrama
tetap tak terbeli di sini.
***
BIODATA :
Galeh Pramudianto, lahir pada Juni 1993, dan kini berdomisili di Tangerang Selatan. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan di Mantis Journal (Stanford University) serta Arkansas International.
Buku puisinya yang telah terbit berjudul Asteroid dari Namamu (2019).
Dapat dijumpai di Instagram: @galehpramudianto