Puisi

5 PUISI P. NURAENI

MUARA  RAHIM

Rindu yang penuh di jelang haribaan magrib
pada ibu muara rahman dan rahim
kau adalah tasbih yang kugenggam di setiap sudut waktu
kau adalah sajadah yang kucium di sujud taubatku

ibu, pada pikulan rintihmu, sesungging  senyummu adalah binar tercantik
saat kau bertarung nyawa mengikhlaskanku merobek rahimmu
agar aku bersegera terlahir  di kefanaan dunia ini

harum darahmu masih kucium wangi di setiap
langkahlangkahku kini
tetes keringatmu adalah embun yang membaluri sukma
menyirami raga
menyejukkan jagad raya
langit pun bertahmid menyambutmu yang baru pulang
dari medan persalinan
lalu kau rayakan kemenanganmu, ibu
dalam ayatayat yang bergaung
yang tak pernah henti dalam nur batinku
kumandang adzan itu masih bergema ditelingaku
melekat di setiap denyut nadiku

air matamu masih mengalir dalam arus doadoamu
yang kutadah di lubuk hatiku yang paling palung
tetekmu adalah mata air yang terus berkolam,
berlaut..
menjadi samudra  terluas yang tak pernah surut
pancaran mata kasihmu adalah dahsyat cahaya
hingga mataharipun mengibarkan bendera ridho
tanda menyerah

pada sehelai daun azzali
tuhan mencatat namaku dalam rahimmu
tuhan telah mentakdirkanku bermuara di rahimmu
lalu tuhan mengutusmu untuk menjadikanmu
surga untukku.

Sukabumi,  Desember 2021

***

CATATAN REDAKSIONAL

Doa-Doa yang Mengalir dari Muara Rahim

oleh IRZI Risfandi

Ada puisi yang hadir seperti tamparan, ada pula yang menjelma pelukan—Muara Rahim karya P. Nuraeni hadir seperti selimut hangat di dini hari, mengalun tenang, penuh haru, dan nyaris membuat kita tak ingin beranjak dari satu bait ke bait berikutnya. Penyair yang juga dikenal dengan nama Ponnoer ini menulis dengan napas panjang dan sepenuh jiwa, seolah setiap larik adalah doa yang dilafalkan bukan dari mulut, melainkan dari dasar lubuk hati seorang anak kepada ibunya—sosok sakral yang tidak pernah berhenti mencintai bahkan saat dunia sudah terlalu sibuk untuk sekadar mengingat.

Dalam puisi ini, P. Nuraeni membawa pembaca ke dalam ruang kontemplasi spiritual yang khas perempuan dan religius, tanpa kehilangan estetika puitik yang menyentuh. Imaji-imaji seperti “sajadah yang kucium di sujud taubatku”, “air matamu masih mengalir dalam arus doadoamu”, hingga “mata air yang terus berkolam, berlaut… menjadi samudra terluas”—bukan sekadar metafora, tetapi simbol-simbol kasih tak bersyarat, rasa bersalah yang diterima tanpa penghakiman, dan cinta seorang ibu yang menjelma semesta kecil dalam kehidupan anaknya. Puisi ini bukan hanya “puisi untuk ibu”, ini adalah sujud syukur dalam bentuk kata-kata.

Uniknya, alih-alih menggunakan diksi yang rumit atau abstrak, P. Nuraeni menulis dengan gaya yang lirikal, hangat, dan dekat, namun tetap terjaga kehormatannya. Ia tidak terjebak dalam sentimentalitas murahan, melainkan mengarahkan puisi ke arah spiritualitas dan sublimasi rasa, mengajak pembaca untuk kembali merefleksikan relasi tubuh-ibu sebagai muara segalanya: dari penciptaan, pengorbanan, hingga penebusan. Di tangan Nuraeni, puisi menjadi surat cinta sekaligus zikir.

P. Nuraeni sendiri adalah pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga produktif menulis puisi, prosa, dan karya ilmiah. Latar belakangnya sebagai guru dan penggiat literasi di Sukabumi memberi warna tersendiri dalam puisinya yang selalu terasa membumi, namun tak kehilangan langitnya. Karya-karyanya telah menghiasi berbagai media, dan buku puisinya Seperti Pintamu Kekasih (2019) atau kisah perjalanannya Sajadah Musafir (2021), menjadi bukti konsistensinya dalam menulis dari ruang paling personal ke ruang publik yang luas.

Muara Rahim bukan sekadar puisi untuk Hari Ibu. Ini adalah puisi untuk kita semua yang sering lupa bahwa kita pernah dibentuk dari darah dan air mata, dan bahwa di balik langkah dewasa kita yang angkuh, ada tubuh renta yang diam-diam masih menyebut nama kita dalam setiap doanya. Bacalah puisi ini dengan hati, dan kau akan tahu, bahwa surga itu memang bermuara di rahim—dan penyair ini, dengan lembut, telah menunjukkannya.

2025

***

SULAMAN AIR MATAMU IBU

Di padang lamun kutemukan rajutan cinta
yang kau sulam dari air mata
yang kau bordil dari benang liku kehidupan
kupunggut dan kuselimutkan pada jiwa dahagaku
pada belaian kasihmu yang tak bertepi

Ibu, telah kukenakan sulamanmu di sepanjang kisahku
yang selalu memanggilku untuk  kembali pulang kepangkuanmu
memesrai rajutan cinta masa kecilku bersamamu
rajutan bordilmu  selalu memanggilku untuk memelukmu
menjambanginmu dengan binar kerinduan

Kini aku berdiri di depanmu dengan selimut kain yang kau sulam
walau yang kutemui hanyalah pusaramu
walau yang kutatap hanyalah gundukan tanah merahmu
di atas nisanmu kau masih terus merajut kasih sayangmu

Ibu, ingin kukabarkan tentang sulaman air mata kasihmu
kini berselempang di kalbu  melekat erat takkan terlepas

Sukabumi, Februari 2021

***

PEREMPUAN DI BIBIR PANTAI

Perempuan di bibir pantai menangguk rindu dalam laut
saat debur ombak bercengkrama mencumbui karang
sementara nelayan kembali pulang
berdendang riang di kecup ikanikan tangkapan hari ini
di telannjang dadanya  gemuruh bahagia  berdegup kencang
sekencang perahu menuju daratan  impian

Anak nelayan berlari kecil menyambut bapak pulang dengan celoteh
layanglayang mengembang digenggamannya
mengangkasa seperti harapanharapan kecilnya
terbayang emak memasak ikan  di kuali
nelayan nikmati tangkapan  sambil dendangkan lagu

nenek moyangku orang pelaut

Sementara perempuan  masih termangu sendu
memeluk pantai dengan rindu yang semakin resak
dengan kenang yang tak pernah lekang
kekasih berlayar tak kunjung pulang
sang nelayan pujaan dijemput ombak dan karam
saat  itu langit membisikkan  nyanyian pilu
meninggalkan jejak pelangi kemarin sore
di pantai  ini perempuan tetap menunggu
memagut aroma laut sebisa waktu yang dia punya

Sukabumi, Juli 2020

***

REMBULAN SURGA

Ini kisah saat purnama tiba
tentang rembulan surga yang berpendarpendar cahaya
seorang ibu masih terjaga
bayi munggil terlelap disampinya
di dahi ibu ada butir keringat yang menetes menjadi butiran mutiara
dipunggut dari setiap  nyeri rahimnya
saat tangis bayi membahana menghiasi dunia fana
harum darahnya masih tercium wangi
menyembur dahsyat tak terhenti
berkolam keikhlasan

Di celak matanya ada bulir air mata doa
bak butiran embun yang setia berkawan dengan kabut
setelah sembilan bulan rahim ibu terkoyak indah
jerit tangit bayi membahana ke langit sakral

Seiring bahagia yang resak di dada
mata sang ibu  menutup perlahan
dengan wajah yang pucat tak berdarah
putih bagaikan kapas
raga  terkulai dibelai  malaikat
mengawang nyawa perlaya dalam perjuangan
redup di pertarungan persalinan
menyerah kalah dalam takdir cacatan azzali

Sebait kalam llahi ia bisikan pada sang bayi
tentang doa doa yang panjang
tentang kerinduan yang dalam
tentang keihlasan yang tanpa sarat
dengan sungging senyum di atas kesakitan
pada bayi yang hanya sesaat saja bergelendot dalam dekapan
pada bayi yang tak sempat ia susui dengan rasa sayang yang tak terbeli

Rembulan surga  hinggap di atap rumah sakit
tangis bayi semakin hilang menjauh
rindu memburu di sudut malam yang berlukis  abu

Rembulan surga kembali pulang
menemui Rabbnya di kesudahan kehidupan
pada hitungan waktu dalam putaran kisah
sahid diujung penghidupan
gundukan tanah merah basah telah bersaksi
tentang rembulan surga yang berzikir dalam kesucian
kini rembulan surga bertengger di atas nisan yang tertandai
senyap tanpa tangisan bayi

Sukabumi, November 2021

***

RISALAH SANG PEMETIK TEH

Bulir embun masih lengket di rerumputan setapak
Matahari masih sembunyi berdekap malam yang enggan melepas
Seliur angin tipis merambati sekujur tubuh yang ringkas
Berkebaya lusuh berkain samping batik yang  memudar
Topi khas pemetik teh seakan topi kekebesaran saat tunaikan tugas

Sang pemetik teh tiada gentar mengukir jejak seakan maju ke medan perang
Bersenjata pisau pemetik
Tugas yang diemban disambut  hangat
Seketika terbayang rumah rumah menyeruput teh
Asap mengepul tergumpal gumpal kebahagian
Terbuncah nikmat riang dimulut
Bahagia  berlimpah membaluri sukma

Seyum pemetik terus menyungging
Membumnbung bersama asap  teh panas yang terhidang
Dalam seruputnya ada juang tetes keringat mereka

Ada gelak canda mereka
Ada keluh kesah mereka
Dan mereka tak gubris saat sekilo teh yang dia petik  seharga dua puluh ribu
Cukuplah bagi mereka
Untuk beli beras sekilo garam dan lauk tempe

Kini  teh  berhura hura terhidang di meja rumg
Berkunjung ke pondok pondok, ke rumah rumah mentereng, ke hotel-hotel  berbintang
Bersama risalah sang pemetik yang entah lupa dan dilupakan

Sukabumi, November 2021

***

BIODATA :

P. Nuraeni (dikenal juga dengan nama pena Ponnoer) lahir di Sumedang, dan kini tinggal serta bekerja di Sukabumi, Jawa Barat. Ia menyelesaikan pendidikan terakhirnya di jenjang S-2, dan saat ini tercatat sebagai pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN 1 Sukalarang, Kabupaten Sukabumi.

Ia aktif menulis dan telah menghasilkan berbagai karya sastra dalam bentuk novel, kumpulan puisi, kumpulan sajak Sunda, catatan harian, karya tulis ilmiah, dan lainnya. Karyanya juga dimuat dalam sejumlah buku antologi, majalah, dan surat kabar.

Beberapa buku tunggalnya antara lain:
Seperti Pintamu, Kekasih (kumpulan puisi, 2019)
Panggil Namaku Aisyah (kumpulan cerpen, 2020)
Sajadah Musafir (kisah perjalanan, 2021)

Check Also
Close
Back to top button