5 PUISI KANG THOHIR

DI POJOK KESENDIRIAN
Hujan deras di malam yang sunyi
Merenung di pojok kesendirian
Menggenggam cerita dalam hati
Mengapung pada alunan imajinasi
Berhamburan kutatap air hujan
Mengguyur di permukaan
Berserakan air hujan di setiap perjalanan
Membanjiri tanah dan menjadi keberkahan
Di sini aku menikmati arti kesadaran
Semua realita menemui kebahagiaan
Ataukah sekedar menepi
Di antara pahit dan manis menyapa kehidupan yang sejati
Berikan aku ketenangan
Menyusuri jalan
Meski hujan deras telah terlewatkan
Menepis kedinginan dan kehampaan
Brebes, 18 Januari 2025
CATATAN REDAKSIONAL
Pojok Hujan, Pojok Hati: Membaca Kesunyian Kang Thohir
oleh IRZI RIsfandi
Kalau hidup ini seperti ladang, maka puisi “Di Pojok Kesendirian” karya Kang Thohir adalah gubuk kecil di tengah hujan—tempat kita bisa mampir, duduk sebentar, dan menghangatkan hati. Dalam bait-bait yang sederhana namun sarat rasa, penyair asal Brebes ini mengajak kita berteduh dari riuh dunia, dan barangkali juga dari riuh diri sendiri. Hujan yang turun di puisi ini bukan sekadar cuaca, tapi semacam isyarat spiritual: air yang mengguyur tanah dan hati sekaligus, menciptakan genangan yang bisa jadi duka, bisa juga jadi doa. Dan dari sanalah Kang Thohir memulai puisinya, dengan sentuhan melankolis yang manis, tak mendayu-dayu tapi tetap menyentuh.
Bukan tanpa alasan Kang Thohir begitu fasih menulis kesunyian. Ia lahir dan tumbuh di Dusun Kupu, Wanasari, Brebes—di tengah hamparan sawah, tanaman bawang merah, kacang, pare, padi, dan kehidupan agraris yang akrab dengan kesenyapan alam. Dalam sunyi itulah ia memupuk benih cinta pada kata-kata sejak kelas empat SD, dan terus menyiramnya dengan membaca buku dan menulis puisi di sela aktivitas bertani. Maka jangan heran jika puisi-puisinya, termasuk yang ini, terasa sangat “bernapas”—alami, tidak dibuat-buat, dan mengalir seperti irigasi di ladangnya. Puisi Kang Thohir tidak berusaha tampak rumit, tapi justru itu letak kecanggihannya.
Dalam “Di Pojok Kesendirian”, ia memotret sebuah momen reflektif: seorang aku liris yang merenung saat hujan deras, menyusuri kesadaran, lalu sampai pada simpul sederhana—permohonan akan ketenangan. Puisi ini nggak sok filosofis, tapi tetap mengandung muatan eksistensial yang dalam. Si aku tak memaksakan konklusi, justru mengambang di antara pertanyaan: apakah realita itu memang kebahagiaan, atau hanya tempat kita menepi dari pahit dan manis hidup? Sebuah renungan yang khas manusiawi, sekaligus khas penyair desa yang sehari-harinya berdamai dengan musim dan waktu tanam.
Yang menarik, Kang Thohir seperti menulis bukan dari kepala, tapi dari telapak tangan yang sehari-hari bersentuhan dengan tanah. Puisinya tidak mencari efek wow lewat diksi bombastis. Ia cukup menyebut hujan, perjalanan, ketenangan—dan dari situlah rasa tumbuh. Dalam dunia sastra yang kadang penuh jargon dan kode-kode rumit, keberanian untuk tetap jujur dan sederhana seperti ini patut diacungi jempol. Puisi ini cocok dibaca sambil minum teh, ditemani suara hujan beneran, atau kalau sedang nggak hujan—setel saja suara hujan di YouTube dan pura-pura jadi Kang Thohir.
“Di Pojok Kesendirian” bukan puisi yang berniat mengguncang dunia. Ia cuma ingin mengguncang kita sedikit saja, di pojok hati yang mungkin sudah terlalu lama kering. Dan Kang Thohir, petani sekaligus penyair, berhasil menanamkan kata-kata seperti ia menanam benih—dengan harap dan sabar. Siapa sangka dari dusun kecil di Brebes, seorang lelaki yang gemar membaca dan berkebun bisa menciptakan ruang teduh di antara hujan. Sebuah pojok kecil, tempat kita boleh diam, boleh termenung, dan—jika ingin—menangis pelan-pelan.
2025
AKAN BERTEMU JUA
Bergelayut sepi menata mimpi
Di perbatasan ruang sunyi
Melingkupi seluruh dunia imajinasi
Menghadapi deringan intuisi
Intisari dari angan dan jiwa-jiwa
Hirup di dunia
Sambil menunggu waktunya
Akan bertemu jua
Brebes, 18 Januari 2025
PAHITNYA KEHIDUPAN
Mengenyam pahitnya kehidupan
Menyayat seluruh kujur tubuhku
Meronta dalam kesakitan
Merintih menahan luka di kalbu
Kutatap harapan
Menimang arti kesadaran
Mengingat pada masa depan
Menggenggam prinsip cita-cita yang belum tersampaikan
Brebes, 18 Januari 2025
DI BALIK TOPENG SANDIWARA
Masih ada saja permasalahan
Sekelumit tentang mereka
Belum apa-apa sudah menertawakan
Di balik topeng sandiwara
Di antara mereka yang asyik dan licik
Menepi di areaku
Membawa kerusuhan
Membuat aku diamuk kebencian
Sudahkah air mata itu terus jatuh
Apakah masih ada sia-sia luka itu
Menyerap semua cakraku
Hingga aku lunglai dan jenuh
Brebes, 18 Januari 2025
PERISTIWA MENYAKITKAN JIWA
Di balik peristiwa menyakitkan jiwa
Aku ingin menenangkan hati ini
Bermeditasi pada alam
Menyerap makna kesejukan dan kehangatan
Menyelimuti asa dan fikiran
Meraih kemenangan
Di antara kegelapan dan kegagalan
Menjadi penghambat dalam kebahagiaan
Sungguh aku menderita
Saat menatap realita
Membuat aku begitu trauma
Menahan perih dan luka
Aku terombang-ambing di dunia fatamorgana
Hingga aku semakin merana
Setelah semuanya terungkap
Membuat aku berhenti berharap
Brebes, 18 Januari 2025
BIODATA :
Muhammad Thohir atau Tahir, lebih dikenal dengan nama pena Kang Thohir, lahir di Brebes, Jawa Tengah. Ia berasal dari Dusun Kupu, Kecamatan Wanasari, dan tumbuh sebagai anak seorang petani. Hingga kini, ia masih menjalani kehidupan sehari-hari bertani dan berkebun, menanam bawang merah, padi, kacang, pare, cabai, dan berbagai sayuran di ladang sawahnya.
Kecintaannya pada dunia tulis-menulis telah tumbuh sejak duduk di bangku kelas empat SD, dan terus berlanjut saat menempuh pendidikan di pondok pesantren. Kini, ia semakin menekuni dunia literasi, khususnya sastra Indonesia, dengan semangat yang tak surut dalam menulis puisi, cerpen, dan berbagai bentuk karya lainnya.
Selain menulis, Kang Thohir juga gemar membaca buku sebagai cara memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan yang ia tuangkan dalam karya-karyanya.