5 PUISI KHALISH ABNISWARIN

SEMACAM PERCOBAAAN DAN LATIHAN MENULIS PUISI DENGAN KATA-KATA YANG ITU-ITU SAJA AGAR DAPAT SUKA DI LAMAN SOSIAL
kusematkan salah satu nama bulan
bulan paling puitis
yang banyak disinggahi oleh gerimis
bulan hampir pertengahan
di dalamnya ada kisah perpisahan
kuselipkan juga kata yang tak sempat diucapkan
oleh lidah yang tak sempat diberi tulang
ketika ia diciptakan
sebagai upaya menghindari kata basah
entah itu hujan ataukah tangisan
aku membubuhkan tanda tanya
dan kubebaskan matamu menjawabnya
*
CATATAN REDAKSIONAL
Puisi-Puisi Viral, Lidah Tanpa Tulang, dan Senjata Sosial Media Ala Khalish Abniswarin
Oleh Irzi Risfandi
Kalau kamu kira puisi Khalish Abniswarin yang berjudul Semacam Percobaan dan Latihan Menulis Puisi dengan Kata-Kata yang Itu-Itu Saja Agar Dapat Suka di Laman Sosial ini bakal kayak puisi-puisi klasik berisi rembulan dan tangisan senja, well… kamu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Karena Khalish melakukan manuver cerdas dan centil—ia pakai kata-kata yang “itu-itu aja”, tapi untuk menyindir orang-orang (mungkin termasuk kita semua) yang pakai kata-kata itu demi like, love, dan retweet. Ini semacam parodi puitik yang halus tapi nyelekit, kayak nyenggol pelan pakai kipas sambil senyum julid.
Dari larik pembuka—“kusematkan salah satu nama bulan / bulan paling puitis / yang banyak disinggahi oleh gerimis”—Khalish tampak seperti sedang bermain di taman yang aman: kata “bulan”, “gerimis”, “perpisahan”. Tapi kemudian, ia pelintir arah. Ia bilang ini cuma “percobaan”, dan menyelipkan sindiran pada kata-kata yang terlalu sering dipakai tanpa makna yang segar. Cerdasnya, ia tidak menghardik dengan galak, tapi menari dengan lembut di sekitar klise. Ada ironi, ada ejekan, tapi semua dalam bungkusan sapaan sopan. Khalish tahu, mengkritik bisa tetap elegan dan tetap berbentuk puisi.
Khalish sendiri bukan pendatang baru dalam dunia kata. Lahir di Samboja (yang kini masuk wilayah Ibu Kota Nusantara—cieh, upgrade domisili!), ia adalah penyair negeri sipil: PNS yang masih sempat nulis puisi. Bukunya Sujud Sebelas Bintang dan Batumbang Apam sudah membuktikan bahwa dia bisa bermain dari lirikal sampai lokalitas. Tapi di puisi ini, dia tidak sedang khusyuk menyembah bintang atau menyulam tradisi. Di sini dia sedang… ya, mungkin iseng, mungkin gemes, mungkin juga kesal melihat puisi jadi bahan konten receh demi engagement.
Dan bagian paling ganjen tapi tajam tentu ada di larik: “aku membubuhkan tanda tanya / dan kubebaskan matamu menjawabnya.” Ini bukan hanya soal interaktifitas ala Instagram Story, tapi juga sindiran bagi para pembaca yang sering cuma baca separuh, lalu langsung menafsir seenaknya. Ini semacam Khalish sedang berkata: “nih, gue kasih pertanyaan, tapi jawab sendiri ya, jangan males mikir.” Jadi ya, ini puisi yang main cantik, manja, dan tetap ngasih kerja rumah buat pembacanya.
Intinya, Khalish Abniswarin berhasil menyulap kritik sosial literer jadi puisi yang tidak hanya puitis, tapi juga satir yang Instagramable. Ia mengangkat topik kekinian—puisi demi likes—tapi tetap santun, tanpa menampar langsung. Semacam Percobaan… ini adalah contoh bagaimana penyair bisa mengomentari zaman digital tanpa kehilangan estetika. Ia tahu, kadang puisi bisa jadi alat selfie, tapi masih bisa juga jadi cermin yang mengajak kita ngaca: ini masih puisi, atau cuma caption yang sok dalam?
2025
*
MENGAPA ADA LUKA SAAT BERPELUKAN
aku ingin mencium
bibir mawarmu
meski akhirnya kau balas
dengan kecupan
penuh duri
lalu aku melihat
senyummu merah darah
aku ingin mendekap tubuh kaktusmu
dingin ini tak mampu
kutanggung sendiri
lalu kita membiarkan
luka berpelukan
*
MELUPAKAN LUPA YANG INGIN KAMI INGAT
aku selalu lupa hari itu
ada selembar pernyataan yang aku tanda tangani
tapi akan ingat di hari-hari seterusnya sampai hari itu datang lagi dan aku lupa lagi
aku selalu lupa hari itu
ada seseorang yang bersedia menjadi pengingat lupaku
sementara dia sebenarnya juga pelupa
dan kami akhirnya sepakat melupakan lupa-lupa yang ingin kami ingat itu
*
DI KOTA TUA
Mengapa kota cepat tua. Bukankah ia tak punya kepala. Sehingga ia tak perlu cemas memikirkan nasib pedagang dengan tas selempang, kaos dan jajanan yang bergelimpangan di ruas jalan.
Mengapa kota terlihat letih. Bukankah ia tak perlu capek-capek bekerja. Merawat gedung-gedung yang sudah dewasa. Dengan sejuta pengalaman melewati ujian zaman.
Mengapa kota ini semakin tua. Aku melihat tumpukan sampah dan perempuan belia berdandan merias wajahnya. Dengan pupur tebal, gincu dan sedikit tato di bahu kirinya. Duduk lesehan sambil menghapal doa mandi yang mereka anggap sudah menjadi sebuah kewajiban.
*
HANYA INGIN
Aku hanya ingin ke luar
di dalam.
Masuk dengan salam.
Ke luar dengan jiwa yang lapang. Sesuai adab peladang bercocok tanam
Aku hanya ingin tegak
berdiri. Meski tak lurus seperti cangkul petani
dan tak akan jadi
pasak bumi.
Aku hanya ingin menganggapmu
sebagai teman. Mengenang musim. Telanjang dan main hujan-hujanan.
*
KHALISH Abniswarin, lahir di Samboja yang kini masuk jadi wilayah Ibu Kota Nusantara tahun 1975. Masih mengabdi sebagai pegawai negeri. Buku Puisinya Sujud Sebelas Bintang (2017) dan Batumbang Apam (2021).