5 PUISI NOORCA M. MASSARDI

JARDIN DE TUILERIES
Di place de la concorde itu
Waktu berdiri dalam tegak lurus
Seperti obelisque luxor di tengah plasa
Sementara arc de triomphe di kejauhan
Menatap kita sambil mengalirkan cinta
Sepanjang avenue des champs-élysées
Dan dari belakang takdir kita
Bungabunga harapan mengungkapkan jiwa
Mengharumi rumputan di jardin de tuileries
Sementara lampulampu di pyramida kaca
Memancarkan cintamu ke angkasa luas
Lalu mengukir istana menyirami kalbu
Sebelum muséedu louvre merengkuh jiwamu
Lalu kita menarinari langkah berdua
Dan angsaangsa hitam di tengah kolam
Menyaksikan ikrar yang telah kubisikkan
Di bawah temaram langit selepas senja
Sebelum angin menyelimutkan dingin
Aku tak ingin musim semi ini berakhir, katamu
Juga cita dan cinta kita, bisikku
Tapi paris tibatiba malam
Ribuan kunangkunang menyalakan gedung
Dan kita hanya saling memandang
Betapa indahnya paris ketika malam, bisikmu
Seperti sepasang senyum di garis bibirmu, kataku
Lalu kita tak bisa berkatakata
Karena gerbang cinta telah mengunci waktu
Menyiramkan asmara ke dalam api
Menghangatkan mimpi hingga pagi tiba
Bintaro, 281022
CATATAN REDAKSIONAL
Cinta, Champs-Élysées, dan Angsa Hitam: Puisi Noorca di Paris yang Centil dan Sinematik
Oleh IRZI Risfandi
“Aku tak ingin musim semi ini berakhir, katamu / Juga cita dan cinta kita, bisikku.” Hanya penyair sekaliber Noorca M. Massardi yang bisa membuat dialog sesederhana itu terasa seperti akhir adegan film Perancis yang difilmkan dengan cahaya kuning lembut dan slow-motion. Dalam puisi “Jardin de Tuileries”, Noorca menghidangkan kisah cinta yang sensual dan puitik, tapi tidak lantas cengeng. Ia mengombinasikan lokasi-lokasi Parisian klasik—Place de la Concorde, Arc de Triomphe, Louvre, dan tentu saja Jardin de Tuileries—sebagai setting puitik yang lebih menyerupai panggung sinema daripada sekadar latar wisata. Sebuah bentuk intertekstualitas spasial yang terasa imajinatif, usil, dan agak genit.
Sebagai penulis yang tak hanya penyair, tapi juga novelis, aktor, penulis skenario, dan sutradara, Noorca memang punya keunggulan dalam membangun atmosfer sinematik dalam larik-lariknya. Puisi ini nyaris bisa dibacakan sebagai monolog film romantik Eropa awal 2000-an. Dari segi diksi, ia tampak senang bermain dengan repetisi bunyi dan enjambemen halus—seperti dalam “bungabunga harapan” atau “lampulampu di pyramida kaca”—yang menciptakan efek liukan fonetik sekaligus mempertegas getaran emosi yang terjaga. Tidak heran, karena Noorca memang fasih berbahasa Prancis dan Inggris, dan barangkali, juga fasih dalam urusan metafora-metafora elegan bertabur suasana Eropa.
Yang menarik, Jardin de Tuileries tidak menawarkan plot atau konflik berat. Justru di situlah kekuatannya: ia memilih puisi sebagai ruang retensi memori, seperti foto-foto analog yang disusun dalam buku kenangan, lengkap dengan tanggal di pojok kanan bawah. Kata-kata seperti “angsaangsa hitam”, “kunangkunang menyalakan gedung”, hingga “gerbang cinta telah mengunci waktu” bukan hanya gambaran visual, tetapi juga pengunci perasaan: imaji sebagai pengarsip asmara. Noorca bermain dengan ekspresi romantik yang flamboyan—tapi kita terima dengan senang hati, karena puisinya tak berpura-pura keras; ia merayakan kelembutan dengan percaya diri.
Dan ya, tentu ada kesan centil, terutama saat permainan diksi berbalas seperti: “Betapa indahnya paris ketika malam, bisikmu / Seperti sepasang senyum di garis bibirmu, kataku.” Ini adalah puisi yang sadar dirinya romantis, bahkan nyaris kitsch—tapi justru karena itu berhasil. Ia tidak mencoba menjadi gelap, getir, atau pseudo-filsafat; ia jujur sebagai puisi cinta, dan justru karena keterbukaannya itulah, “Jardin de Tuileries” terasa segar di tengah dominasi puisi kontemporer yang cenderung muram atau terlalu konseptual.
Dibaca di tahun 2025, ketika puisi banyak terjebak dalam kelelahan gaya dan jargon yang saling berlomba kompleks, puisi ini tampil seperti seseorang yang tetap berdansa di taman meski orang lain sibuk merunduk menatap ponsel. Dan mungkin, memang itulah posisi Noorca M. Massardi sebagai penyair senior dan budayawan lintas medium: ia tidak sedang mengejar estetika zaman, tapi menulis dalam waktu miliknya sendiri—tepat seperti yang ia tulis, “karena gerbang cinta telah mengunci waktu.” Dan waktu, dalam puisi ini, tidak tunduk pada logika, melainkan pada asmara dan lampulampu malam Paris.
2025
***
COURBEVOIE
Kujemput cintaku di charles de gaulle
Senyumnya menyejukkan lorong bandara
Air matanya menghangatkan musim semi
Dan kubah kaca semarak berhias rindu
Aku terpana pada pesona
Cintaku tak banyak berbunga kata
Peluknya masih membayangkan jakarta
Dan hangatnya menyimpan cincin harapan
Paris sedang berganti musim, mon amour
Kulihat dedaunan melambai ke angkasa
Semoga cinta lekas bersemi lagi
Hingga harum berbunga dan berbuah
Maka courbevoie menjadi saksi
Ketika la défense membuka suaka
Bagi dua cinta yang mencari jiwa
Dan membangun dunia saat panas tiba
Lalu terdengar nyanyi yang mendebarkan
Suaranya melengking membasahi kalbu
“le ciel bleu sur nous peut s’effondrer”
Langit biru boleh saja runtuh
“et la terre peut bien s’écrouler”
Dan bumi bisa saja tenggelam
“peu m’importe si tu m’aimes”
Namun bila kau mencintaiku
“je me fous du monde entier”
Ku tak peduli kata dunia
Edith piaf telah menyanyikan keteguhan cinta
Dan langit musim dingin pun mengikat keduanya
Bintaro, 161022
RUE DE RIVOLI
Banyak jalan menuju cinta
Tapi hanya ada satu rue de rivoli
Dengan deretan gedung di satu sisi
Dan ratusan tiang membentuk arkade
Maka cinta pun berjajar di setiap langkah
Sudah tiga ribu meter jalan cinta digelar
Dari rue de sévigné hingga place de la concorde
Sudah empatpuluh tahun cinta dibangun
Dari palais du louvre hingga jardin des tuileries
Sementara comédie-française berdiri di belakang
Memanggung cinta yang tumbuh dan yang patah
Ah oui, sudah lima puluh empat kali kita bertemu
Di lima puluh empat simpang jalan rivoli
Sambil duduk membaca dan minum kopi
Sambil menyimak menggores berpena cinta
Di setiap kata di setiap tiang di sepanjang lorong
Tapi berapa cinta yang kau panjatkan, mon amour
Atau yang kau simpangkan di perjalanan
Yang selalu kau dambakan setiap malam
Selama kita terangi cinta di kegelapan
Selama kita nyalakan cinta di perapian
Dalam segala rasa setiap musim
Cintaku lurus menembus jantung, ma cherie
Dari pyramide kaca hingga obélisque louxor
Menuju bayangmu di setiap persilangan
Tak ada godaan bahkan di setiap pojokan
Karena hatimu telah meliputi diriku
Menyusup jasad mengunci jiwa
Di dalam hidup dalam matiku
Bintaro, 250223
PARIS KETUPAT
Enam lebaran kita ungkapkan cinta di kota ini, sayangku
Di tengah musim panas yang lebih panjang
Ketika angin dingin tiba menderas
Sementara takbir tak pernah terdengar
Dan ketupat hanya dalam kenangan
Maka kita bayangkan sanak saudara
Sahabat kerabat dan handai taulan
Silaturahim di rumah keluarga
Bersenda bersapa sepanjang acara
Dan kita hanya menanti dering telepon
“mohon maaf lahir batin pada semua
doa kami untuk seluruh keluarga
walau enam jam waktu berbeda
hati kita tak pernah berjarak”
Lalu kita saling berpelukan
Menatap memandang hanya berdua
Di negara yang bukan kita punya
Di peta bergambar arc de triomphe dan la tour eiffel
Sementara hati kita mungkin menangis
Walau diliputi opor dan harum rendang
Menikmati masa yang pasti akan dikenang
Saatsaat yang tak akan bisa diulang
Dalam jejak waktu yang akan hilang
“minal aidin walfaizin, ma cherie”
“mohon maaf lahir batin, mon amour”
Senayan, 230523
MONTMARTRE
Sekali senja mungkin kita tak sengaja
Mendaki tanggatangga berbatubatu
Membiarkan cinta menjadi mahkota
Yang membawa kita berkeliling kota
Hingga kau reses di metro abbesses
Dan montmartre pun memanggil kita:
“venez, s’il vous plaît!”
Lalu di bukit itu kau bertanyatanya
Tentang siapa yang lebih mendunia
Apakah gereja atau para perupa
Yang berkarya untuk bekerja
Pagi senja hingga malam tiba
Lalu seseorang menawarkan sketsa
Dan kau duduk di atas jok lipat
Membiarkan aura melayanglayang
Sebelum mendarat di kanvas putih
Sebagai goresan dan sapuan cinta
Hingga wajahmu terpancar abadi
Apakah cintamu hitam dan putih, mon amour?
Apakah kasihmu beraneka warna, kasihku?
Lalu bola matamu menggaligali jantungku
Hingga hatiku membuka semua pintu
Dan cahaya cinta menyalakan matahari
Melahirkan warna warni sebagai pelangi
Diiringi aneka dan bayangbayang
Yang hitam yang putih dan kelabu
Cintaku adalah sumber segala cahaya
Yang memendarkan ruparupa warna
Dan kita pun terbang mengangkasa
Bahkan dalam lipatan gelap malam
Bersama dua hati yang begitu suci
Yang didendangkan lonceng gereja
Hingga menyelimuti paris siang dan malam
“jadi, engkaukah itu, kekasih?”
Senayan, 250623
BIODATA :
Noorca M. Massardi lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Ia adalah anak kelima dari dua belas bersaudara dan dikenal sebagai sosok multitalenta: penyair, pengarang, penyunting, penulis lakon, pemeran pria, sutradara, penulis skenario, juri festival film dan sinetron, pewarta, kolumnis, pembawa acara televisi, juri lomba iklan, serta budayawan yang telah menerima Anugerah Kebudayaan. Ia fasih berbahasa Inggris dan Prancis.
Dua novelnya yang pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas dan kemudian diterbitkan oleh PT Gramedia adalah:
– Sekuntum Duri (1978), yang skenarionya difilmkan oleh PT Cipta Permai Indah Film (1979)
– Mereka Berdua (1981)
Novel ketiganya, September, berlatar tragedi 1965, diterbitkan oleh PT Tiga Serangkai, Solo (2006), setelah dimuat sebagai cerita bersambung berjudul Perjalanan Darius di Harian Media Indonesia (2 Juni – 30 September 2002). Novel keempatnya, d.I.a, dimuat sebagai cerita bersambung di Seputar Indonesia sejak 10 Januari 2007.
Selain prosa, Noorca juga menulis puisi. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit antara lain:
– Ketika 66
– Pantai Pesisir (Kepustakaan Populer Gramedia, 2020)