5 PUISI ASTRAJINGGA ASMASUBRATA

DI KUBURAN JOKPIN
Sejumlah umpama
Yang kangen menjadi metafora
Kulipat bersama tiket kereta
Di saku jaket masih ada sajak
Dari cemas yang tunak
Ditenangkan kutipan filsafat
Kedatanganku kali ini sekadar amar
Hangat serupa uap pada kopi
Yang kerap kausajikan tempo hari
Tapi palang nisan itu selalu lengan
Yang merangkul lengang angan
Setiap kali kuseka namamu di situ
Segalanya tinggal doa
Juga cinta yang berhak hidup
Lebih lama dari selamanya
Di ufuk mataku berdenyar geletar lain
Menatap nyala sebatang lilin
Sebelum sayonara singkat
Dalam kalimat yang dingin
2025
CATATAN REDAKSIONAL
Palimpsest Elegi dalam “DI KUBURAN JOKPIN”: Fragmentasi Liris dan Melankolia Filologis
oleh IRZI Risfandi
“Di saku jaket masih ada sajak / Dari cemas yang tunak / Ditenangkan kutipan filsafat.” Kalimat pembuka ini memperlihatkan karakter khas puisi Astrajingga Asmasubrata—yakni kemampuannya memadatkan peristiwa afektif menjadi fragmen naratif yang tenang namun sarat resonansi. Dengan memosisikan “sajak” dan “cemas” sebagai dua entitas yang setia berada dalam saku, sang penyair menyarankan bahwa puisi adalah residu dari kegelisahan yang tak pernah benar-benar selesai, hanya bisa “ditenangkan”, bukan diselesaikan. Ini menjadikan sajak “DI KUBURAN JOKPIN” sebagai teks yang beroperasi dalam lapisan personal sekaligus filologis: ada yang tersimpan, yang terus dibawa, dan yang dipanggil kembali lewat puisi.
Puisi ini bekerja melalui fragmentasi liris, menyusun peristiwa emosional bukan secara kronologis, tetapi sebagai serpihan pengalaman yang digabung oleh asosiasi makna dan bunyi. Frasa seperti “kedatanganku kali ini sekadar amar” dan “palang nisan itu selalu lengan / yang merangkul lengang angan” adalah contoh bagaimana bahasa biasa didorong ke batas estetis yang subtil. Nisan yang biasanya kaku dan final dihidupkan secara antropomorfik sebagai “lengan”—citra yang lemah lembut, namun justru karena itu menghantam lebih dalam. Penggunaan aliterasi “l” dalam baris tersebut memperkuat suasana lirih yang mengambang, sekaligus menunjukkan kesadaran fonologis dalam struktur larik.
Astrajingga, penyair kelahiran Dusun Maja, Cirebon yang aktif di komunitas Paguyuban Gigs Kelar Ngaji, menghadirkan kesedihan bukan sebagai histeria, tetapi sebagai distilasi eksistensial. Bait “Segalanya tinggal doa / juga cinta yang berhak hidup / lebih lama dari selamanya” mengandung paradoks temporal yang khas puisi kontemporer: cinta yang menolak dibatasi waktu, dan justru hidup dalam ketakmungkinan logisnya. Ini semacam hiperbola afektif, tetapi terasa otentik dalam lanskap duka: sesuatu yang telah tiada, justru menjadi lebih ada karena dikenang. Dalam konteks ini, elegi tidak menjadi ratapan, tapi afirmasi akan kelangsungan afeksi pasca-kematian.
Lilin yang dinyalakan menjelang penutupan puisi bukan sekadar simbol spiritual, melainkan menjadi penanda transisi naratif: dari cahaya yang hidup menuju keheningan teks. “Sebelum sayonara singkat / dalam kalimat yang dingin” menutup puisi dengan momen pembekuan, ketika perpisahan tidak dibingkai oleh dramatisasi, tetapi oleh struktur linguistik itu sendiri. Kalimat menjadi dingin karena tubuh telah tiada, dan yang tersisa hanyalah representasi. Ini menjadikan puisi sebagai epitaf linguistik, nisan kedua yang tak tertanam di tanah, tetapi tertanam dalam memori dan bahasa.
Dengan “DI KUBURAN JOKPIN”, Astrajingga tidak sekadar menulis puisi penghormatan, ia juga melakukan re-inskripsi poetik terhadap gagasan Jokpin tentang keseharian, absurditas, dan sunyi yang ironis. Ia menjahit kembali puisi sebagai praktik kesadaran, bukan hanya sebagai respons emosional. Kematian Jokpin menjadi momen pelipat sajak, tempat di mana bahasa bertemu batasnya, dan justru karena itu, menjadi lebih pekat. Satu sajak pendek ini menegaskan bahwa elegi yang baik bukan tentang menangisi, melainkan menyadari: bahwa dalam saku jaket kita masing-masing, selalu ada sajak yang siap dibacakan, bahkan setelah sang penyair tiada.
2025
*
HIKAYAT HAJAT UJANG
Ujang: Adam 30 tahun
Dalam buhul gaung lesung dusun
Setelah Khidir beres jadi beras
Menutup suwung pedaringan
Kisahnya warna tembaga
Yang menyadap derap musim
Pancaroba alias maut, menyaru sebentar
Di atas ladang-ladang gering
Telah ia taklukkan pula Raja Jin
Menghuni jantung pokok waru
Yang kerap iseng mengganggu ibu hamil
Dan anak kecil bermain gundu
Sebab dari balai, selalu dari balai
Terdengar rampak genjring
Selawat selampai sayap malaikat
Membaur ke arah surup langit
Tuhan mengaminkan kerjap hajat sahaja itu:
Ujang di lubuk dusun yang merunduk
Sekukuh kalam wahyu menyisihkan
Takut lapar dan mimpi terbengkalai
2025
SEKILAS KISAH KETIKA AMBANG PETANG
Ujang bukan petualang, meski tak pernah lagi
Pulang: adalah cerita yang berayun
Dari ujung selatan. Setelah badai sepi
Mengamuk di hari ketujuh perkabungan itu.
Orang-orang pun bertukar kabar gelap:
“Jangan heran, akang, sebuah kehilangan
Menyimpan malam panjang dan bergelombang;
Seseorang rawan dirasuk suwung, bukan?”
Tapi Ujang tak peduli, bahkan sebelum enyah
Sebab yang mencari pasti akan menemukan:
Duka lunas dibasuh bening sendang, searah
Wasilah buram mimpi di hari ketiga perkabungan:
“Dengarlah, yang gemeretak dan gemetar di dada
Juga mata akan malih menjadi sempurna dan damai;
Dunia menghampar selebar angan pada keindahan
Senyampang langkah kaki menyintas ke seberang.”
Akhirnya kabar terang itu datang lewat wara-wara
Pelantang surau yang menyerkah ambang petang;
Orang-orang hening sejenak, serempak menyimak.
Orang-orang terhenyak: Ujang telah berpulang.
2025
LARIK TERAKHIR UNTUK IDRIS
Idris naik, sebelum ziggurat menjulur ke langit
Ketika Hammurabi menyelusur alir mistis
Sungai Tigris, sebelum lembar kitab di lubuk
Mihrab basah terciprat amis darah genosida:
Sejarah hanya silsilah ayat dan mayat
Di antara reruntuhan, setelah zaman ditetak
Palu kekuasaan; di atas sana, Idris dicegat
Seorang bocah dari arah taman bermain:
Mana yang lebih kultus—firman atau pedang?
2025
SEPERTI ANAK MELAHAP MASAKAN IBUNYA
Siang itu ia mendaur gereget
Dengan gurame bakar, sambal terasi
Yang pedasnya bikin gurih lumer
Wangi kemangi di atas hangat nasi.
Tapi yang postulat dari liur lidah
Hanya masakan ibu.
“Kangen bisa menyaru diktat nikmat,”
Ujarnya sepelan ragu.
Tak seorang pun tahu ia: tamu, turis,
Atau peziarah kenangan?
Hanya semacam isyarat yang pernah teraih
Dan terkait seakan lepas di meja lesehan.
“Ada kenikmatan rahasia,”
Ia teringat kata yang akurat, dalam kalimat
Yang cermat dari seorang kasir
Saat ia bertanya santapan mantap terik begini.
Ia tersenyum geli. “Tak ada yang mendesak
Diseminarkan,” lirihnya, “Kenikmatan masakan ibu
Adalah kebahagiaan di luar diskursus.”
Lalu ia melahap hidangan itu sebelum kenyang tiba.
Angin siang mengirim lengking tipis
Seruling, susul-menyusul sayup letup karinding
Meningkahi tampuk saung dari pucuk rumbia kering
Selagi ia menyeka alir keringat sekitar pelipis.
Dan langit tampak ringan,
Mengambang di permukaan empang
Yang tenang
Seiring kenangan menjelanak pelan-pelan.
2025
BIODATA :
Astrajingga Asmasubrata lahir di Dusun Maja, Cirebon. Buku puisi terbarunya berjudul Buku Panduan Begadang diterbitkan oleh Basabasi pada tahun 2024.
Sebagai penyair, ia aktif bergiat di Paguyuban Gigs Kelar Ngaji, sebuah ruang alternatif yang mempertemukan sastra dengan musik, keagamaan, dan diskursus kultural yang lebih luas.
Instagram: @edoy___