Puisi

5 PUISI LEVIA EKAPUTRI

RENJANA (1)

Aku hidup terus menerus

Bersama jiwa-jiwa akrilik

Cat yang mengering pada

tubuhku yang dingin

Tumbuh serabut kanvas

Pada sisa ampas basah

tangis darah pasca Orba

Mungkin,

Negara ini memang suka menjanda.

Betul, bukan

Renjana?

***

RENJANA (2)

Renjana, oh Renjana!

Aku mulai bosan

Duduk menunggu

Pada trotoar-trotoar

Yang kerap bertanya

Bagaimana mataku melihat

Lubang kepala dari pentungan iblis

Bagaimana sastra masih ribut saja

Di tengah-tengah negara yang tak

Berhenti hemodialisa.

Kau tahu, Renjana

Aku sangat mencintaimu

Begitupula negeri ini

Tapi kau tahu,

Aku bukan dokter spesialis,

Iya kan?

***

THE SKY, 2025

Langitku telah musnah

Tubuhku tidak lagi

terisi darah putih

dan merah

Hujan misil dan lautan sipil

Mengisi tubuh-tubuhku,

Terpecah belah

menjadi fragmen

Aku tidak lagi

Mengenal malam

Atau pagi

Matahari dan bulan

Sudah lama tidak datang

ke jendela rumah ini

Saudaraku,

Bawalah fragmen-fragmen ini

Ke tumpuan tangan

Kanan dan kirimu

Pada sepertiga malam

Sampailah ke langit ketujuh

Kau tahu saudaraku,

We are brother and sister,

Aren’t we?

***

UNTUK NEGARA, CINTA, DAN LAPARNYA

Kerinduan embun pada hijau

menyingsing piring

sarapan Ayah pagi ini

sampai dimana tuberkolosis

menjadi penting dan viral

Ayah belum juga pulang.

Ayah, kini aliran

Sungai tenggorokan

tak berhasil sampai ke ujung

lambung ibu pertiwi

hampir setiap waktu,

Beranda lumut dihujani

kalium rendah

seiring waktu,

kabinet kreatinin bertambah

penyakit meja makan,

berputar pada keroncongan

HIV istri muda dan setia,

Dengan bantuan orang ketiga

Negara pincang,

Negara hemofilia,

Negara hipokalemia,

Negara hemodialisis

Negara menjadi sifilis,

Aku harap nanti malam,

Tidak ada aritmia.

***

TUBUH NEGARA, MATI DI ISTANA

Asam lambung 98

Kambuh kembali

Dwifungsi imunitas

dan kulit-kuli luar negara kami

Terbakar hangus

Oleh api nepobaby

Kursi-kursi parlemen

pincang sebelah

Mikrofon-mikrofon sipil

putus pita suaranya

Asam lambung

Naik hingga kerongkongan

Menyusul komplikasi

rancangan Undang-undang

Tepat pada kamisan

ke delapan ratus

lima puluh enam

Negara gagal ginjal

Kreatinin naik pitam

Lalu kami berteriak,

Tubuh Negara,

Mati di Istana.

Tubuh Negara,

Mati di Istana!

***

CATATAN REDAKSIONAL

Nafas yang Tersendat di Ujung Mikrofon Sipil

oleh IRZI Risfandi

Puisi Tubuh Negara, Mati di Istana karya Levia Ekaputri bukan sekadar tembakan sinis dari barikade feminis urban, melainkan seruan kritis yang ditulis dengan estetika punk dan ironi medis. Dengan lugas, nyinyir, namun tetap puitis, Levia membawa kita ke medan perlawanan sipil yang makin padat oleh gangguan pencernaan negara—asam lambung 98 sebagai metafora cerdas tentang “penyakit lama” yang terus kambuh, alias krisis demokrasi dan defisit keadilan struktural.

Kita sedang membaca puisi dengan tone yang tak bisa disebut muram, tapi juga jauh dari damai. Ia getir tapi tidak putus harap. Ia murka, namun tetap menjaga diksi. Kata-kata seperti “dwifungsi imunitas”, “kulit-kuli luar negara”, “komplikasi rancangan Undang-undang” hingga “kreatinin naik pitam” memperlihatkan kemampuan Levia meramu bahasa politik ke dalam bahasa tubuh—sebuah tubuh negara yang sedang sakit, pincang, sesak, dan terengah. Bahkan metafora medis yang ia gunakan menjadi cara baru untuk mengobati luka yang terus dikambuhi kuasa.

Levia Ekaputri sendiri adalah nama yang mencuri perhatian dalam lanskap kesusastraan muda Indonesia. Dikenal juga lewat komunitas Perempuan Mahardhika dan kiprahnya di teater hingga dunia rupa, Via menulis bukan hanya untuk mengungkap perasaan, tetapi untuk menggugat struktur. Ia anak muda, perempuan, dan sadar bahwa tubuhnya—seperti tubuh bangsa ini—terus dikontrol, dipolitisasi, dan dibiarkan remuk dalam sistem. Maka ketika ia menulis “Tubuh Negara, Mati di Istana”, itu bukan sekadar statemen, melainkan elegi kolektif yang kita amini setiap Kamis sore di depan istana, bersama para payung hitam.

Dan mari kita garis bawahi bait paling subversif sekaligus sinematik: “Mikrofon-mikrofon sipil / putus pita suaranya.” Ini bukan hanya tentang para aktivis yang dibungkam, tapi juga tentang kita semua yang mulai terbiasa tak bersuara. Kita, yang terlalu nyaman menonton kejatuhan dari bangku depan layar ponsel. Levia mengguncang kenyamanan itu dengan gaya sinis namun penuh gaya—tanda bahwa puisi bisa tetap centil meski sedang marah.

Tubuh Negara, Mati di Istana adalah puisi protes generasi pasca-reformasi yang sudah muak diam. Levia membawa semangat yang militan sekaligus sangat artistik. Ia tahu cara menyisipkan amarah ke dalam estetika, dan itu tak semua orang bisa. Jadi, mari kita dengarkan teriakannya, sebelum pita suara kita benar-benar putus, dan tubuh negara benar-benar dibiarkan mati—bukan karena tak ada obat, tapi karena terlalu banyak yang memilih tidur.

2025

***

BIODATA :

Levia Ekaputri Alsa Damita, dikenal dengan nama Via, telah aktif di dunia seni rupa sejak kecil, dan mulai mengenal dunia kesusastraan saat memasuki jenjang SMA. Sejak itu, ia konsisten berkarya dalam berbagai bidang kesenian.

Via terlibat aktif di sejumlah komunitas seni, antara lain Atelir Ceremai, Ngakarya, Sun Community, hingga Salindia Teater. Ia menekuni penulisan puisi, seni rupa, dunia teater dan akting, serta terlibat dalam gerakan perempuan melalui Komunitas Perempuan Mahardhika.

Check Also
Close
Back to top button