5 PUISI RETNO INDRARSIH SOERONO

OBITUARI
Pagi itu
Sekuntum bunga jatuh
Bersama embun yang menggantung
di pinggir- pinggir kelopaknya
Di atas ranting kering
Seekor burung bernyanyi sengau
Mengiringi daun yang gugur satu demi satu
Sebelum musimnya tiba
Kau pulang
Telah sampai pada janji-Nya
Pintu rumah telah dibuka
Pergilah bersama deras hati
Tak ada yang abadi
Kita hanyalah musafir
Ada saat perjalanan berakhir
Menuju peristirahatan yang kekal
Bekasi, 27 Juli 2021
CATATAN REDAKSIONAL
Musim yang Gugur Sebelum Waktunya
oleh IRZI Risfandi
Ada yang lirih dan mengendap pelan dalam puisi Obituari karya Retno Indrarsih Soerono—sebuah catatan kehilangan yang ditulis dengan tangan yang tidak bergetar, tetapi jelas penuh perasaan. Seperti daun yang gugur sebelum musimnya, puisi ini tidak meledak-ledak dalam duka, melainkan merayap perlahan, memberi ruang bagi pembaca untuk merenung: bahwa kehilangan tidak selalu datang dengan isak, kadang ia cuma embun yang jatuh diam-diam dari ujung kelopak. Retno menulisnya dengan elegansi klasik, namun tetap terasa dekat dan kekinian dalam kesederhanaan bahasa dan kekuatan imajinatifnya.
Baris-baris pembuka menghadirkan visual yang cantik dan lembut: sekuntum bunga yang jatuh, embun yang menggantung, burung yang bernyanyi sengau. Ini bukan sekadar ornamen puitis, melainkan metafora kematian yang begitu alami—tidak dibuat dramatis, tapi justru karena itulah ia terasa melankolis. Burung bersuara serak di atas ranting kering seolah menyuarakan kesedihan dunia yang tahu bahwa seseorang telah berpulang. Dan daun-daun yang gugur sebelum waktunya adalah kita semua, yang pada akhirnya akan sampai lebih cepat atau lambat.
Retno, seorang pendidik yang juga dikenal sebagai mentor puisi klasik dalam komunitas Perruas, menghadirkan puisinya dengan napas yang panjang—ia tidak hanya menulis, tetapi juga menghidupkan kembali tradisi. Dalam Obituari, ia tidak sekadar menarasikan kematian, melainkan membingkainya dalam kesadaran spiritual: “Kau pulang / Telah sampai pada janji-Nya.” Ada rasa legawa yang tulus dalam bait ini, yang mungkin hanya bisa ditulis oleh seseorang yang sudah akrab dengan penghayatan hidup dan iman. Tak perlu teriak-teriak tentang kesedihan, karena Retno tahu: yang paling menyentuh seringkali justru yang paling sunyi.
Kalimat “Tak ada yang abadi / Kita hanyalah musafir” mungkin terdengar seperti kata-kata bijak dari kalender dinding atau feed Instagram bertema healing, tapi di tangan Retno, ia mendapat bobot yang lebih dalam. Ini bukan sekadar nasihat, ini adalah pengingat eksistensial—bahwa kita tidak punya kuasa atas waktu, hanya bisa menerima bahwa perjalanan ini suatu saat akan berakhir. Dan ketika saat itu tiba, semoga kita pulang dengan “deras hati”, bukan tangisan kosong.
Sebagai penulis yang telah menelurkan lebih dari 50 antologi dan dua buku solo, Retno tidak hanya piawai dalam mengolah diksi, tapi juga dalam merawat rasa. Puisinya Obituari adalah bukti bahwa kematian tidak harus digambarkan sebagai kegelapan, bisa juga sebagai bunga yang jatuh pelan, diam-diam menyapa tanah. Melankolis? Ya. Tapi juga kritis dan lembut dalam satu tarikan napas. Kita semua musafir, dan lewat puisi ini, Retno dengan anggun mengingatkan bahwa tidak ada yang benar-benar pergi—selama masih ada kata yang tersisa.
2025
SEBAB AKU CINTA KOTAMU
(Kepada Jogja)
Pada perjumpaan yang selalu singkat
Tak ada juga cerita terpahat
Namun engkau seumpama madat
Yang memanggil untuk kembali kulumat
Seirama alunan Gending derap kota melaju
Lamat-lamat kunikmati setiap sudut
Tak ada nafas memburu dikejar malam
Langkah-langkah seirama langgam
Suara gemerincing delman masih mewarnai jalanan
Membawa damai pada setiap relung
Jogja, Malioboro dan lesehan
Catatan khas bersama keraton
Yang membingkai tradisi
Jogja serasa rumah
Tempat kembali melarung lelah
Jogja serasa candu
Meleburlah segenap rindu
Bekasi, 10 Mei 2023
ELEGI BUAT PALESTINA
kurasakan lelahmu pada hari-hari bertabur mesiu
berbaur dengan anyirnya darah
sementara air mata tak lagi bisa mengalir
mengering bersama duka yang tak pernah berakhir
orang orang menjerit kelaparan
ladang ladang tak lagi menghasilkan gandum
bayi bayi menangis begitu mengiris
dada ibu tak lagi mengalirkan susu
perang terus berkecamuk
perjuangan tak pernah padam
gugur satu tumbuh seribu
pejuang akan terus lahir dari rahim rahim suci
Palestina
kulantunkan doaku pada setiap detak
Bekasi, 11 Februari 2024
DAMAILAH NEGERIKU
Berabad-abad lalu
Orang-orang berperahu mengejar hidup
Berteman badai diayun gelombang
Menuju negeri Impian
Negeri di mana matahari selalu menyapa
Ditingkahi hujan yang sesekali menyapa
Ladang-ladang subur menghijau
Di laut ikan-ikan meloncat-loncat riang
Lumbung hidup tiada habis
Negeri beribu pulau
Beraneka suku dan bahasa
Seni budaya laksana pelangi
Menjadikan indah tak terperi
Jangan biarkan ia terkoyak
Tercerai berai karena beda
Sebab Tuhan menciptakan warna
menghadirkan lukisan maha sempurna
Bekasi, 29 Mei 2025
NYANYIAN LUKA
(Untuk Rempang)
Mak,
Katamu kakek dulu pejuang
Melawan kompeni mengusirnya dari tanah kita
Kubayangkan gagahnya ia memimpin pasukan
Kurasakan bangga menghias dadamu
Mak,
Bendera berkibar bersama Indonesia Raya
Aku mengereknya di pelataran sekolah
Kutunaikan tugas dengan sempurna
Kulihat senyum kakek di sana
Negeri kita damai tenteram
Tapi Mak,
Penjajah lagikah itu yang datang
Memporak porandakan negeri kita
Orang-orang menjerit ketakutan
Kulihat luka-luka di sana
juga luka di matamu Mak
Mak,
Aku ingin tetap di sini, di kampung kita
Nyanyian ombak seperti darah di nadi
Bertahan Mak jangan menyerah
Aku di depan menghadang
Seperti kakek yang dulu berjuang
Bekasi, 16 Juli 2023
BIODATA :
Retno Indrarsih Soerono adalah seorang pendidik yang berdomisili dan berkarya di Bekasi. Karyanya telah tersebar dalam lebih dari 50 buku antologi bersama, serta dua buku solo yang berisi kumpulan puisi dan pantun nasihat. Ia juga dikenal sebagai mentor utama dalam grup Perruas untuk penulisan puisi lama—pantun, gurindam, syair, dan karmina—yang berhasil meraih rekor MURI.