Puisi

5 PUISI ROSJIDA AMBAWANI

MASA KECIL KITA

Memori lekat terpahat
Ada hitam, merah tersemat
Senandung kecil berkelebat
Akan kisah kita dekat erat

Kemana sinar pagi bergegas lewat
Elegi ini sunyi membebat
Ceria menggurat tak lagi bersahabat
Impian menjerat memekat
Lelah langkah merapat memanjat

Kaukah itu yang dulu penyemangat
Indah mimpi genggam rekat
Tak dinyana sengat menyayat
Aku terpaku sedu melumat

(kota sunyi, akhir oktober 2023 – puisi akrostik)


CATATAN REDAKSIONAL

Akrostik Masa Lalu, Nostalgia Masa Kini ala Rosjida Ambawani

oleh IRZI Risfandi

Puisi “MASA KECIL KITA” karya Rosjida Ambawani, atau yang akrab dikenal dengan nama pena Rambawani, adalah jenis nostalgia yang terasa seperti sepucuk surat dari masa lalu yang tidak dikirim, tapi masih kita simpan di laci hati. Dengan menggunakan bentuk akrostik—di mana huruf awal tiap baris membentuk frasa judul—Rosjida tidak sekadar bermain bentuk, tapi juga menciptakan struktur yang memperkuat rasa dan isi puisinya. Sebagai guru matematika dari Ciamis, ia jelas piawai dalam menyusun pola, tapi yang menarik: kehangatan dan kehancuran kenangan justru mengalir dari kerangka yang tampak rapi itu.

Bacalah bait pertamanya: “Memori lekat terpahat / Ada hitam, merah tersemat”. Di sini, kita sudah disuguhkan dua warna yang kontras—hitam dan merah—yang bukan hanya simbol visual, tapi juga emosi. Hitam bisa jadi luka, merah bisa jadi semangat atau amarah. Begitulah masa kecil, tak pernah sepenuhnya manis, tapi juga tak pernah sepenuhnya kelam. Dan Rosjida berhasil menangkap dualitas itu dengan puitik tanpa harus cengeng. Ia menyanyikan kenangan tanpa memanjakan nostalgia.

Namun jangan tertipu oleh diksi-diksi sederhana. Puisi ini menyimpan tikungan emosi yang tajam. Dari kesan awal yang hangat, kita tiba-tiba dibawa ke frasa seperti “Elegi ini sunyi membebat” dan “Tak dinyana sengat menyayat”. Ini semacam twist dalam sajak. Masa kecil yang seolah menjadi tempat persembunyian, ternyata menyisakan luka. Ada kehilangan, ada kawan yang berubah, ada impian yang dulu tampak cerah tapi kini memekat. Dan Rosjida tidak menjelaskannya dengan panjang lebar—dia hanya mengisyaratkan, seperti seorang sahabat lama yang tiba-tiba menatapmu lalu berkata, “Ingat dulu kita… tapi sekarang… ya begitulah.”

Secara struktur, kehadiran bentuk akrostik tidak membuat puisi ini terasa artifisial. Justru kekuatan bentuk itu memperjelas irama: tiap baris seperti batu pijakan dalam aliran air memori yang mengalir pelan tapi deras secara emosional. Ini menunjukkan bahwa Rosjida bukan hanya bisa menyusun kata, tapi juga menyusun napas: tahu kapan harus berbisik, kapan harus diam, kapan harus menyayat. Kesan kejujuran dan kesederhanaan dalam bahasa membuat puisi ini dekat—tidak mengawang, tidak juga menggurui.

Dan mungkin, di situlah kekuatan utama Rosjida Ambawani—sebagai penyair yang juga guru. Ia tidak menulis dari menara gading, tapi dari lorong-lorong kenangan yang bisa kita lalui bersama. “Masa Kecil Kita” bukan hanya puisi tentang nostalgia, tapi juga pengingat bahwa hal-hal kecil yang dulu kita anggap sepele, bisa menjadi puisi yang membekas dan menyentuh, bahkan saat dibaca di usia dewasa. Rambawani mengajak kita menatap kembali masa lalu, bukan untuk tinggal di sana, tapi untuk memahami: luka dan tawa masa kecil kita, mungkin adalah akar dari siapa kita hari ini.
2025

***

OH

Aku telah memintamu
Sisihkan satu ruang hatimu untukku
Biarkan ruang-ruang hati yang lain untuk kekasih-kekasihmu

Dan kau memberiku satu ruang hati
Kugenggam, ku eluk dan kusimpan dalam kantong
Lalu kau pun pergi

Aku pun berlari pulang
Kubuka lambat-lambat isi kantong
Akan kupajang ruang hatimu di bingkai hatiku
Hatimu dan hatiku …

Duhai alangkah sayang
Ternyata kantong belum dijahitkan
Oh !

(Kota kecil, Desember 2021)


AKU, KAMU, DIA

Haruskah impian yang kita pahat pada dinding asa
Yang terukir bersama bentang bianglala
Menjadi serpih tertebar disayat luka

Aku telah titipkan padamu dengan sepenuh jiwa
Dan kau terkulai tanpa daya
Salahkah bila kusandarkan jiwa letihku di dadanya
Berkisah akan kegetiran panjang yang tak henti mengoyak cahaya

( Sepi jiwa – Kota sunyi, 13 Maret 2012)


KENAPA

Kenapa kau baru tiba
Saat senja tlah mengurai warna
Dan waktu tak mau memberi jeda
Menyeretku dalam pusaran tanya …

( Senja, 05.05.12 )


TEROMBANG-AMBING

Kabut diammu
Di antara gelombang pasang
Buatku terombang-ambing
Dalam samudera tak berkesudahan

Pandangmu tak pernah pasti
Tawarkan bianglala
Dan secepat itu geletarkan luka
Aku terengah-engah
Mengeja aksara
Yang kau kulumkan lalu tikamkan …

( Dalam samudera, 06.05.12 )


BIODATA :

Rosjida Ambawani, dengan nama pena Rambawani, lahir di Malang. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia telah gemar menulis puisi dan mengirimkannya ke media lokal. Ia juga mengelola blog pribadi di https://rambawani-menujucinta-nya.blogspot.com/ dan pernah berkontribusi dalam penulisan buku antologi.

Saat ini, ia berprofesi sebagai guru Matematika di sebuah Madrasah Aliyah di Ciamis. Di sela aktivitas mengajar, ia terus mengasah kemampuan menulis dan bercita-cita untuk terus berkarya lebih baik melalui semangat belajar yang tiada henti.

Back to top button