
Menikmati Senja
Begini saja kita
berjalan tak tergesa
menyaksikan burung-burung yang hendak pulang
ke sarang
Begini saja
menikmati segelas teh dan jadah-bacem
melihat wayah tengah bermain lumbung
atau mengingat-ingat sejarah
Begini saja kita
bercerita masa dulu, ketika tungku masih tembikar
anak-anak bermain tanpa teknologi
memanjat pohon, memetik buah mangga
menyusuri sungai yang jernih airnya
Begini saja
kita berjalan dengan banyangan menunduk
menatap tanah asal kita
yang kelak menjadi tempat kembali
2022
CATATAN REDAKSIONAL
Teh, Jadah-Bacem, dan Sajak Slow Living ala Ulfatin Ch.
Oleh IRZI Risfandi
Dalam dunia yang hari ini berlomba-lomba menciptakan kecepatan dan kebisingan, bunda Ulfatin Ch. justru menuliskan puisi seperti sedang menyeduh teh di sore hari. Pelan, wangi, dan penuh ketenangan yang menyejukkan. Puisinya, Menikmati Senja, bukan hanya judul yang tenang-tenang menggoda, tapi juga undangan untuk menyusuri kembali jalan hidup dengan gaya slow living yang semakin langka—apalagi di linimasa yang gemar debat dan promo diskon.
Baca larik pembukanya saja sudah bikin napas turun satu level: “Begini saja kita / berjalan tak tergesa / menyaksikan burung-burung yang hendak pulang.” Dalam kalimat yang seolah sederhana ini, Ulfatin tidak sedang menggambarkan suasana senja secara literal. Ia menawari kita satu alternatif hidup: cukup. Tanpa buru-buru. Tanpa keinginan membungkus semuanya jadi konten. Ini puisi yang bukan hanya tentang senja, tapi tentang menerima waktu dan hidup sebagaimana adanya. Wayah tengah bermain lumbung, tungku dari tembikar, anak-anak tanpa teknologi, semua jadi fragmen memori yang kini terasa seperti nostalgia utopis—atau mungkin justru peringatan halus atas apa yang kini hilang?
Tapi jangan salah kira, meski puisinya lembut dan adem ayem, bunda Ulfatin bukan penyair kemarin sore yang baru menyesap aroma jadah bacem lalu ngepost sajak. Beliau adalah sosok penyair kawakan asal Pati yang puisinya sudah menjelajah berbagai panggung sejak era Graha Bhakti Budaya di TIM, hingga Festival Sastra ASEAN di Malaysia, bahkan ke Belanda. Karya-karya seperti Kata Hujan, Rajawali Satu Sayap, hingga Gelombang Laut Ibu bukan sekadar pajangan di rak buku, tapi sudah diuji di panggung-panggung, dari Samarinda sampai Santiago. Bunda Ulfatin adalah penyair yang tahu betul cara menakar diksi agar renyah dan bermakna dalam satu tegukan.
Dan yang istimewa dari puisi ini adalah bagaimana ia menyusup ke dalam emosi dengan cara yang tak frontal. Tidak ada kemarahan atau jeritan klise tentang krisis modernitas. Tapi di balik larik-larik halusnya, kita bisa mendengar nada reflektif yang dalam. “Kita berjalan dengan bayangan menunduk / menatap tanah asal kita / yang kelak menjadi tempat kembali.” Nah, siapa bilang puisi kontemplatif tak bisa tajam? bunda Ulfatin mengajarkan bahwa kerinduan pada nilai-nilai dasar kehidupan justru lebih menyentuh saat dibisikkan, bukan diteriakkan.
Jadi, Menikmati Senja bukan cuma puisi untuk para penggemar petang dan jadah bacem. Ia adalah bentuk spiritualitas yang membumi. Puisi ini seperti ibu yang menyisir rambut anaknya di depan jendela basah sambil berkata: “Nak, hidup tak perlu buru-buru.” Dan jujur saja, di zaman yang terlalu tergesa ini, sajak-sajak seperti Bunda Ulfatin—yang tenang tapi menggigit, lembut tapi penuh daya tahan—adalah napas yang kita perlukan agar tak lupa jalan pulang.
2025
***
Musim Tanam
Ada yang ikut terbenam
dalam serumpun padi pagi itu
Sebatang ilalang jarum, rumput kering
dan keong betina
terhanyut lumpur
Ia mengaduh saat ibu menenggelamkannya
ke dalam tanah basah sebidang sawah
yang kelak menjadikan ia dewasa
tumbuh melaampaui kepalan tangan
ibu
2020
***
Ibu, Suara Kami Hilang
Suara kami hilang, ibu
lenyap
tak mampu menyelinap
Sejak dimatikan mikrofon itu
kata-kata jadi bisu. Kami teriak tak bersuara
keputusan sudah terjaga
Kini, suara-suara itu pun berloncatan
Antara Bundaran, Gejayan, Malioboro
dan di depan Gedung Perwakilan
Suara kami hilang, ibu
entah ke mana
Tapi, kami ingin tetap bersuara
maafkan kami, ibu
2020
***
Pagar Ikan
Pagar-pagar ikan telah terpasang sejak semalam
dan laut pun bergoyang
Ikan kecil berlari mencari induknya
“kemana, ibu. Dimana, ibu!”
Aku teringat Nemo yang terjebak di arus deras
muara
dan terperangkap dalam aquarium kecil
Semangkuk tremble ikan disuapkan
tapi yang dirindu ibu
Selasar menakjubkan
tapi yang dirindu ibu
Nemo telah menjadi habitat aquarium
yang dirindu masih ibu
2025
***
Jalan Tol Seorang Penguasa
Kita akan melewati jalan ini
sebelum matahari terbit
Sebelum ditetapkan keputusan
kita sudah melangkah ke depan
Jangan gusar, anakku
Di persimpangan ini
semua jejak mesti kita hapuskan
yang lama disembunyikan
yang menghadang kita singkirkan
mari berpegang tangan
Kita akan bebas dari jeratan
yang teriak, biarkan
2025
BIODATA :
Ulfatin Ch., lahir di Pati, 31 Oktober 1966. Ia adalah seorang penyair asal Yogyakarta, alumnus IAIN Sunan Kalijaga. Karya-karya puisinya telah dibacakan dalam berbagai forum sastra bergengsi, antara lain atas undangan Dewan Kesenian Yogyakarta (1991), Dewan Kesenian Jakarta (1994 dan 1996) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), LIP Yogyakarta (2001), Dewan Kesenian Surakarta, Balai Bahasa Yogyakarta, Balai Bahasa Samarinda (2017), serta dalam sejumlah festival nasional dan internasional, seperti Festival Internasional Belanda–Indonesia, Festival Puisi dan Syair ASEAN di Malaysia (2017), Refleksi Rendra di Balairung UGM (2023), dan antologi internasional Indonesia–Cile Para La Vida di FIB UGM (2024).
Puisi berjudul Rumah Masih yang Dulu dimuat dalam Jurnal Puisi Indonesia I dan meraih Sih Award 2001 dari Yayasan Puisi Indonesia. Puisinya Rumah Bambu memperoleh penghargaan ketiga kategori puisi sosial dari Dekan Fakultas Sastra UGM (1989). Puisi Yang Pergi dan Kembali menjadi nominasi Kompetisi Sastra Indonesia (KSI) tahun 2012, sedangkan puisi Catatan Tugu mendapat penghargaan dari Majelis Penyair Utama (MPU) di Jakarta (2013). Kumpulan puisi Kata Hujan (Interlude, 2013) menerima penghargaan dalam peringatan Hari Puisi Indonesia 2014, dan Rajawali Satu Sayap (Interlude, 2015) meraih penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta.
Beberapa antologi puisi tunggalnya antara lain:
– Konser Sunyi (dibacakan di Taman Budaya Surakarta, 1993)
– Selembar Daun Jati (Pustaka Firdaus, 1996)
– Nyanyian Alamanda (Bentang Pustaka, 2001)
– Kata Hujan (Interlude, 2013)
– Rajawali Satu Sayap (Interlude, 2015)
– Gelombang Laut Ibu (Interlude, 2024)