Ahlan Wa Sahlan Perubahan
Berbeda dengan pertarungan Jokowi versus Prabowo di masa lalu, kelompok utama non Muslim, seperti kaum Soekarnois/Marhaenis, memilih Jokowi bukan karena kesamaan ideologis maupun aspirasi, namun merupakan pilihan tanpa alternatif. Begitu pula kelompok Islam memilih Prabowo, bukan karena Prabowo mewakili aspirasi Islam, namun karena keterpaksaan tiada pilihan. Saat ini, dua aspirasi besar yang hidup dalam bangsa kita akan terwakili oleh Anies dan Ganjar.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH–Change! Yes, We Can. Perubahan! Ya, kita bisa lakukan. Inilah fenomena keberhasilan yang saat ini kelompok oposisi dan kaum tertindas peroleh setelah bulan suci Ramadhan kita lewati. Sebuah kemenangan.
Perubahan apakah itu? Perubahan dari keinginan Jokowi atau rezimnya untuk terus berkuasa dengan memperpanjang masa jabatan presiden maupun presiden tiga periode, menjadi terwujudnya keinginan rakyat untuk terlaksananya pesta demokrasi, Pemilu 2024.
Tuhan YME tentu membantu rakyat untuk mendapatkan pesta demokrasi tersebut, sebagiannya karena do’a, namun, tentu saja sebagian besar lainnya karena keinginan rakyat untuk adanya pesta demokrasi itu sendiri.
Kita tahu, sejak Bahlil Lahadahlia menggelontorkan rencana perpanjangan masa jabatan Jokowi pada awal Januari 2022, berbagai gerakan besar dan sistematis untuk mendukung perpanjangan jabatan Jokowi, selama dua tahun, maupun ide Jokowi berkuasa tiga periode, berkembang pesat. Gerakan ini telah berhasil menggaet tokoh-tokoh nasional, baik dari kalangan eksekutif, partai politik, DPD-RI dan DPR-RI, MPR-RI, cendikiawan, tokoh agama, kalangan kampus, LSM, dan lainnya untuk memperkuat keberhasilan ide tersebut di atas.
Namun, kekuatan “civil society“, ulama, mahasiswa dan cendikiawan kritis terus berusaha melawan ide inkonstitusional itu. Perlahan tapi pasti, seperti yang dilakukan, misalnya, Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI) sepanjang tahun 2022, menentangnya terbuka, mengimbangi secara kontra ide, dan akhirnya rencana rezim Jokowi tersebut terhenti.
Kekuatan rakyat yang terbangun untuk melawan ide inkonstitusional rezim Jokowi tentu saja harus dimaknai dua hal. Pertama, kita, bangsa ini, tidak mempunyai keinginan untuk kembali kepada era anti demokrasi, baik masa Soekarno berkuasa, maupun Suharto. Kedua, kekuatan anti rezim Jokowi, sebagai kekuatan pengimbang dari arus rakyat, ternyata mempunyai gelombang besar dan dahsyat, yang mampu membendung keinginan penguasa untuk membelokkan sistem demokrasi yang sudah diterima bangsa ini sejak Reformasi Politik 1998.
Pengumuman Ganjar Pranowo sebagai Capres 2024 oleh PDIP, menyusul pengumuman Koalisi Perubahan terhadap Anies Baswedan, beberapa bulan sebelumnya, melengkapi kemenangan demokrasi atas anti-demokrasi di Indonesia. Jika Prabowo mempunyai keberanian sebagai pemimpin, maka tentu saja pencapresan tokoh ketiga segera muncul. Namun, tanpa capres ketiga maupun ke empat, misalnya, dengan adanya dua capres tersebut, maka Pemilu 2024 akan tetap berlangsung.
Mungkinkah Pemilu 2024 berlangsung tanpa perubahan substansial? Atau dengan kata lain, Pemilu hanya aspek prosedural belaka untuk adanya stempel demokrasi?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan umum, yang banyak pihak khawatirkan. Selama ini kekuasaan rezim Jokowi ditenggarai ingin mengontrol jalannya Pemilu untuk mengontrol kemenangan. Hal itu diindikasikan dengan upaya Jokowi yang terlalu sibuk melakukan politik dukung mendukung terhadap kepemimpinan ke depan, melakukan politik tanpa etika untuk menghalangi kandidat Anies Baswedan masuk dalam pertarungan Pilpres, memilih panitia Pemilu (KPU) yang bobrok, dan lain sebagainya. Berbeda dengan rezim SBY, di mana pada akhir masa jabatannya SBY tidak terlibat dalam dukung mendukung capres tertentu, termasuk besannya sendiri. SBY ingin mempertahankan demokrasi berjalan baik, dan itu terjadi, sehingga Jokowi menang dalam pilpres saat itu.
Menurut hemat saya, berbagai indikasi yang seolah-olah memberi kesan Jokowi akan mampu mengontrol siapa yang akan dipilih rakyat ke depan hanyalah isapan jempol belaka. Kekuatan rakyat saat ini, yang menginginkan adanya kehidupan bernegara dan berbangsa, yang beradab, melebihi kekuatan apapun yang ada, bahkan kekuasaan Jokowi. Sudah kita lihat, rencana-rencana menggagalkan pemilu telah terkalahkan secara telak oleh kekuatan rakyat. Ini adalah hal utama. Sedangkan pembicaraan kita selanjutnya, menjawab pertanyaan di atas, sekedar demokrasi palsu tersebut, adalah persoalan turunan alias derivatif saja.
Mari kita dalami tiga hal berikut ini. Pertama, penggagalan Anies sebagai capres. Hal ini diasumsikan dengan pentersangkaan Anies oleh KPK dalam kasus Formula-E. Selain itu, pengambilan alihan Partai Demokrat dari kelompok AHY kepada Moeldoko dan atau Anas Urbaningrum. Sejak isu pentersangkaan Anies (googling tulisan saya “Jika Anies Ditersangkakan“, 2/10/22 dan “Firli Bahuri, Anies Baswedan dan Kegilaan Adam Wahab“, 20/10/22), kita menyaksikan KPK mengalami keguncangan-keguncangan besar.
Keguncangan itu antara terkuaknya rencana pentersangkaan Anies di luar prosedur hukum secara wajar, seperti pengakuan beberapa petinggi KPK yang mundur terkait isu tersebut, bahwa mereka mengalami tekanan untuk mentersangkakan Anies, maupun adanya tekanan publik agar KPK kembali menjadi lembaga yang benar.
Mahfud MD, tokoh rezim Jokowi, misal, dalam sebuah video beredar mengatakan Anies seharusnya menjadi tersangka jika tidak ada tekanan publik terhadap KPK, karena kata Mahfud, Anies bersalah. Bersalah karena meminjamkan uang APBD pada event non rakyat, Formula E. Kalau sepakbola tidak masalah.
Pernyataan Mahfud, yang menyatakan Anies bersalah, sangatlah sumir dan tendensius, sebalik pendukung Anies justru melihat KPK menjadi instrumen politik penjegal Anies untuk capres. Kriminalisasi dalam era rezim Jokowi memang seringkali merupakan modus, dengan berbagai latar belakang motif kekuasaan.
Kita tahu, kasus Anies tentang Formula E jelas-jelas bukan sebuah pidana, melainkan kebijakan atau deskresi gubernur DKI, agar event internasional bisa menjadi bagian penting sebuah ibukota. Tidak ada fee bisnis yang diterima Anies. Bahkan, bila dibandingkan kasus pengadaan atau pengeluaran uang triliunan untuk event balapan MotoGP di Mandalika, NTB, uang negara/BUMN/BUMD yang digunakan di Formula E hanya secuil saja. Apalagi jika membandingkan dengan skala pencucian uang Rp 349 triliun di kementerian keuangan, seharusnya KPK malu memikirkan soal Formula E tersebut, dalam konteks mencari-cari kesalahan Anies.
Kita juga dapat membandingkan kasus E-KTP yang mengaitkan Ganjar Pranowo dengan kasus Anies. Ganjar Pranowo namanya terungkap dalam pengadilan kasus korupsi E-KTP, dia menerima uang 500 ribu dolar AS. Setya Novanto dan Nazaruddin, dalam persidangan, memberi kesaksiannya. Jika KPK konsisten memprioritaskan penyelidikan pada Anies dibanding Ganjar Pranowo, tentu saja logikanya terlebih dahulu Ganjar, sebab keterlibatan Ganjar dalam korupsi E-KTP lebih terlihat (terang benderang) untuk ditingkat penyelidikannya.
Sehingga, ke depan, kita melihat KPK tidak mungkin memiliki keberanian untuk menjadikan Anies tersangka. Seperti kata Mahfud, bahwa pendukung Anies akan marah. Ya, tentu saja pendukung Anies wajar marah.
Bagaimana dengan pengambilalihan Partai Demokrat? Spekulasi beredar bahwa penangkapan-penangkapan hakim agung akan dikaitkan dengan “bargain” mengalahkan AHY di PK (Peninjauan Kembali). Atau spekulasi hakim MA dapat disuap oleh berbagai bandar yang berkepentingan menjatuhkan Anies.
Pendapat ini juga terlalu sumir. Dalam politik, semuanya tergantung pada power yang bertarung. Apakah lebih kuat Moeldoko versus Susilo Bambang Yudhoyono? Dalam kondisi akhir pemerintahan Jokowi, kita melihat bahwa Jokowi tidak tertarik melibatkan diri pada “power game ini”. Kenapa? Karena “power game” mengambil “partai orang lain” akan menjadi preseden buruk bagi semua partai yang ada. Kasus “pemindahan kekuasaan” Suharso Manoarfa kepada Margiono, sebagai ketua PPP, misalkan dapat terjadi karena Margiono adalah tokoh PPP juga. Sebaliknya, Moeldoko adalah pimpinan partai lain, yakni Hanura. Begitu pula Jika L. Binsar Panjaitan, misalnya, akan mengambil alih ketua umum Golkar dari Airlangga Hartarto, sekali lagi misalnya, itu karena Binsar Panjaitan juga pemimpin Golkar. Perebutan internal.
Tanpa keterlibatan Jokowi dalam perebutan ketua umum Partai Demokrat, seharusnya kekuatan SBY dapat menaklukkan Moeldoko. Artinya, lebih lanjut, Mahkamah Agung tidak bisa diintervensi. Tanpa intervensi, maka kasus seperti Partai Demokrat, pasti akan merujuk pada hasil KASASI, sebagaimana semua perkara pidana/perdata yang ditangani Mahkamah Agung.
Kedua, global politik. Hal kedua yang kita perlu dalami adalah pengaruh global di Indonesia. Dalam situasi “perang dingin” Cina/Rusia melawan Amerika dan barat, khususnya setelah perang Ukraina-Rusia, dan perang dagang “US-Cina”, para pemimpin bangsa kita menginginkan politik tidak memihak. Indonesia saat ini mempunyai ketergantungan dagang terhadap Cina, namun pula ketergantungan pembiayaan terhadap Amerika dan sekutunya.
Anies Baswedan, dalam wawancaranya di ABC News, Australia, beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa dia akan mendekatkan diri pada negara-negara yang mempunyai kepentingan di kawasan ini, baik Australia, ASEAN, Cina dan Amerika.
Kebijakan Jokowi juga, terakhir ini, menunjukkan arah kepada keseimbangan, dari dominan ke RRC sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat kebijakan Indonesia dalam hal Myanmar. Indonesia tidak mendukung rezim anti demokrasi di Myanmar, meskipun ditekan oleh Cina.
Sikap Indonesia yang ingin terus dipertahankan, mempunyai kedekatan yang seimbang, membutuhkan komitmen seluruh pemimpin bangsa untuk menghadirkan Pemilu yang jujur dan adil. Pada masa lalu, kita menuduh adanya pemberontakan di Indonesia karena keterlibatan global power, seperti kasus pemberontakan Komunis 1948 dan 1965, melibatkan Cina dan Rusia, maupun pemberontakan PRRI/ Permesta yang melibatkan Amerika. Tuduhan ini tentu saja dapat berulang apabila kekuatan yang ingin berkuasa di Indonesia melakukan kejahatan politik, yakni curang untuk berkuasa.
Hasrat untuk menjadi pengkhianat bangsa, dengan bersekutu pada kekuatan asing, untuk menjadi penguasa kolaborator, kelihatannya merupakan godaan kecil ke depan. Kenapa? Karena resiko perpecahan bangsa akan sangat besar jika itu terjadi.
Apabila kekuatan kekuatan politik berhasil membangun kompetisi secara demokratis, maka dapat dipastikan juga kekuatan politik global akan menahan diri untuk masuk dalam politik Indonesia 2024 ini.
Ketiga, Anies versus Ganjar yang representatif. Kita lihat soal ketiga, yakni capres yang muncul. Dua capres yang muncul saat ini, Anies dan Ganjar merupakan representasi dari aspirasi besar masyarakat Indonesia. Anies mewakili aspirasi umat Islam, sedangkan Ganjar mewakili aspirasi kelompok non-Islam.
Aspirasi di sini bukan eksistensinya melainkan esensinya. Orang Islam dapat juga secara esensial memiliki aspirasi sekuler. Begitu juga sebaliknya. Sebab, dalam lapisan-lapisan aspirasi tersebut banyak varian yang membuat perbedaan dalam pilihan. Misalnya, ada orang Islam yang tidak ingin memilih Anies karena dianggap bukan Jawa. Sebaliknya pula, ada kaum sekuler, tidak akan memilih Ganjar, karena sikapnya permisif dalam pornografi, misal lainnya.
Berbeda dengan pertarungan Jokowi versus Prabowo di masa lalu, kelompok utama non Muslim, seperti kaum Soekarnois/Marhaenis, memilih Jokowi bukan karena kesamaan ideologis maupun aspirasi, namun merupakan pilihan tanpa alternatif. Begitu pula kelompok Islam memilih Prabowo, bukan karena Prabowo mewakili aspirasi Islam, namun karena keterpaksaan tiada pilihan. Saat ini, dua aspirasi besar yang hidup dalam bangsa kita akan terwakili oleh Anies dan Ganjar.
Dengan demikian, karena Anies dan Ganjar representasi rakyat Indonesia, maka pemilu 2024, atau pilpres, bisa menjadi tolak ukur sempurnanya rezim 2024, dari sisi kepemimpinan yang mewakili aspirasi rakyat itu.
Dengan demikian, dari pendalam tiga hal di atas, kita yakin bahwa kekuatan-kekuatan anti demokrasi pasti akan tersingkir nantinya. Begitu juga pelaksana dan pelaksanaan pemilu, khususnya pilpres, akan mengarah pada arah yang benar.
Perubahan
Pertarungan ke depan adalah pertarungan “Perubahan” versus “Status Quo”. Sejauh ini Megawati, sebagai penentu utama nasib Ganjar, menyatakan kepuasan pada Jokowi sebagai presiden. Artinya, kerja Jokowi 2014-2024 akan tetap dilanjutkan dan disempurnakan oleh Ganjar. Kita melihat hal-hal besar yang dapat di klaim kelompok Status Quo, seperti fenomena maraknya pembangunan infrastruktur fisik dan program Bansos. Sebaliknya, kelompok pengusung isu perubahan yang diwakili Anies Baswedan mengetengahkan pembangunan untuk rakyat, yakni keadilan sosial.
Dalam berbagai kesempatan Anies mengetengahkan bahwa Sila Kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan kata kunci kepemimpinan yang dia sudah jalankan di Jakarta maupun nantinya jika menjadi presiden. Di Jakarta tema Anies adalah “Maju Kotanya Bahagia Warganya”. Anies akan memusatkan perhatian pada “growth through equity“, bukan “growth with equity“, apalagi seperti pikiran Rostow yang terkenal, “Growth then Equity“, atau teori “merembes ke bawah”.
Dalam konsep “Growth through equity“, maka sektor produksi rakyat harus menjalani kerja utama. Rakyat tidak boleh bersandar pada bansos, ketika bersamaan orang-orang kaya menggarong semua sumber daya alam untuk mengekslarasi kekayaan mereka.
Infrastruktur tidak boleh berjalan liar, apalagi mubazir. Contoh infrastruktur mubazir adalah pembangunan kereta api cepat Bandung-Jakarta, ketika kebutuhan pembiayaan lainnya di daerah lain, maupun sektor lain mengalami kebutuhan mendesak.
Kedua, Anies akan menghancurkan korupsi. Korupsi yang istilah Mahfud MD jaman ini ada di mana-mana, harus dihancurkan sebelum menjadi budaya sentral yang tidak bisa ditangani. Tanpa korupsi, maka kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan sedikitnya 30 persen.
Untuk itu Anies sebaiknya menyiapkan 1.000 peti mati untuk membunuh semua koruptor di masa nanti. Hal ini lebih sedikit tentunya jika dibandingkan kematian 5000 orang di Siberia pada era Revolusi Bolshevik maupun kematian koruptor pada Revolusi Iran 1979. Tapi, dengan menyiapkan peti mati bagi koruptor, Anies akan bekerja untuk isu perubahan.
Ketiga, Anies harus mengembalikan demokrasi dan kedaulatan bangsa. Perubahan artinya menggeser situasi saat ini yang anti “balance of power” menjadi sistem yang seimbang antara penguasa dan oposisi. Dalam dunia perburuhan misalnya, buruh harus mendapatkan dukungan negara untuk memiliki kekuatan berunding dengan pengusaha. Konsekuensinya serikat buruh harus dikuatkan untuk membawa aspirasi kaum buruh pada perundingan upah dan kesejahteraan lainnya. Arti lainnya adalah, perubahan harus dimaksudkan mengkorekai UU Omnibus Law Ciptaker yang diproduksi Jokowi.
Dalam demokrasi, kekuatan penjaga kedua bangsa tidak boleh dikompromikan. Misalnya, dalam kasus Papua, separatisme harus dihancurkan. Dialog dengan pembrontakan tidak boleh ditolerir. Dialog hanya boleh dilakukan untuk urusan kemanusiaan, sedangkan separatisme harus disingkirkan.
Konsekuensinya, Anies dan gerakan perubahan harus mendudukkan kembali peranan TNI pada porsi yang besar untuk menjaga kedaulatan.
Jika perubahan dan “status quo” bertarung secara terhormat pada pilpres 2024, maka kita yakin rakyat akan menyongsong kemenangan, yakni perubahan (Change!). Ahlan wa sahlan (selamat datang) perubahan! [ ]
* Dr. Syahganda Nainggolan, direktur Sabang Merauke Circle
**Tulisan ini sepenuhnya mewakili pendapat pribadi dan menjadi tanggung jawab penulisnya.