SolilokuiVeritas

Akuisisi yang Menguntungkan, Hidup yang Dihancurkan*

Ira bukanlah pejabat yang muncul dari rahim kekuasaan. Ia tumbuh dari disiplin kerja keras, dari ruang-ruang industri yang dingin dan keras, dan dari semangat seorang anak prajurit Angkatan Udara yang sejak kecil diajari jujur, berani, dan tak perlu minder menghadapi dunia. Di bawah kepemimpinannya, ASDP menorehkan sejarah: 220 kapal, 317 lintasan, dan predikat sebagai operator feri terbesar di dunia. Menteri BUMN (saat itu), Erick Thohir memuji langkah itu sebagai terobosan yang menjadikan ASDP operator feri terbesar di dunia. Entah apa yang membuatnya kini seolah tengah didengki (aparat) negeri sendiri…

JERNIH– Jika saja alam bisa menunjukkan solidaritasnya, mungkin pada Kamis, 6 November ini langit Jakarta akan tersaput mendung. Kelabu, karena di hari yang sama, seorang perempuan pekerja yang puluhan tahun bergiat untuk negara, justru terlilit jerat hukum yang absurd. Ia dianggap melakukan aksi bisnis yang merugikan negara dalam pekerjaannya. Di saat yang sama, aksi itu dinilai banyak kalangan sebagai kerja korporasi yang brilian. BPK—lembaga resmi yang bertugas mengaudit keuangan kementerian dan lembaga negara—pun tak menemukan aksi janggal yang bikin buntung keuangan di sana.

Di hari itu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Ira Puspadewi, mantan direktur utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), membacakan nota pembelaannya. Saya menulis ini dari rumah, bukan dari ruang sidang—karena kasus ini tak butuh suasana ruang peradilan untuk menegaskan absurditasnya. Dari rangkaian cerita, obrolan dengan sesama kuli berita, kita tahu: negeri ini sedang melukai orang yang bekerja dengan akal sehat dan nurani.

Ira bukanlah pejabat yang muncul dari rahim kekuasaan. Ia tumbuh dari disiplin kerja keras, dari ruang-ruang industri yang dingin dan keras, dan dari semangat seorang anak prajurit Angkatan Udara yang sejak kecil diajari jujur, berani, dan tak perlu minder menghadapi dunia. Di bawah kepemimpinannya, ASDP menorehkan sejarah: 220 kapal, 317 lintasan, dan predikat sebagai operator feri terbesar di dunia.

Namun pada Februari 2025, semua capaian itu mendadak berubah menjadi beban. Ia ditahan dan dituduh merugikan negara Rp 1,253 triliun karena akuisisi PT Jembatan Nusantara senilai Rp 1,272 triliun. Angka itu nyaris mustahil dipercaya: kalau benar demikian, berarti nilai perusahaan yang diakuisisi hanya tinggal sekitar Rp 19 miliar—sebanding dengan satu kapal feri tua. Padahal, PT JN memiliki 53 kapal komersial dengan bobot total 99.000 GT.

Logika sederhana saja cukup untuk melihat absurditas ini. Tak ada pemilik kapal yang akan menjual armada laik laut dan berizin komersial dengan harga besi tua. Tapi di tangan jaksa dan auditor internal KPK, logika itu dibalikkan. Kapal-kapal yang masih beroperasi dinilai dengan harga scrap—logam kiloan. Nilai aset dihancurkan agar angka kerugian tampak spektakuler.

Lebih ironis lagi, perhitungan itu bukan berasal dari lembaga negara yang berwenang. BPK menegaskan akuisisi dilakukan sesuai ketentuan. BPKP menolak permintaan KPK untuk menghitung kerugian karena tak melihat dasar yang sah. Tapi laporan internal KPK—tanpa sertifikasi penilai publik—justru dijadikan dasar penahanan. Dan laporan itu baru muncul tiga bulan setelah Ira dijebloskan ke tahanan.

“Lalu apa dasar menahan saya selama ini?” katanya dalam pledoi. Sebuah pertanyaan yang menggema jauh di luar ruang sidang, menggugat nurani kita semua.

Faktanya, akuisisi PT JN memberi keuntungan besar bagi negara. ASDP mendapatkan perusahaan dengan aset kapal senilai Rp 2,09 triliun hanya dengan harga Rp 1,27 triliun. Bukan rugi, justru untung 40 persen dari nilai kapal. Selain itu, akuisisi ini menghadirkan 53 izin operasi komersial—izin yang tak bisa lagi diperoleh sejak moratorium tahun 2017. Di dunia bisnis pelayaran, izin itu setara dengan emas.

Langkah itu juga sejalan dengan strategi pemerintah: memperkuat armada pelayaran nasional dan memastikan layanan perintis di daerah 3T bisa tetap berjalan dengan subsidi silang. Bahkan Menteri BUMN (saat itu), Erick Thohir memuji langkah itu sebagai terobosan yang menjadikan ASDP operator feri terbesar di dunia.

Tapi justru di situ jebakannya dimulai. Dalam sistem hukum kita, kadang yang berani membuat terobosan dianggap melawan arus. Profesional yang berani mengambil keputusan cepat dan rasional sering kali dibaca sebagai aktor yang “bermain api.” Padahal tanpa keberanian semacam itu, BUMN tak akan pernah bergerak maju.

Suaminya, Zaim Uchrowi, senior saya di dunia jurnalis, menceritakan kepada saya dengan nada yang berusaha tenang namun sarat kelelahan batin: “Sejak Ira ditahan, keluarga kami mengalami kesulitan ekonomi karena rekening-rekening keluarga diblokir,” ujarnya.

Kata-kata itu menggambarkan lebih dari sekadar kesulitan finansial. Pemblokiran rekening tak hanya mematikan ekonomi keluarga, tapi juga mematikan aktivitas sosial yang selama ini dijalankan Ira. Ia dikenal aktif membantu kelompok ibu tunggal di Solo dan Wonogiri, memberikan pelatihan dan dukungan finansial agar mereka bisa bertahan. Kini, kegiatan itu berhenti total.

Ironi yang sempurna: seorang perempuan yang menolong banyak keluarga kini harus berjuang menyelamatkan keluarganya sendiri.

Dalam pledoinya, Ira menyebut nama-nama yang bernasib sama: RJ Lino, Karen Agustiawan, Nur Pamuji, Hotasi Nababan, Milawarma—semuanya profesional BUMN yang dikriminalisasi. “Profesional dengan karya besar yang tidak punya relasi politik kuat akan menjadi sasaran empuk,” tulisnya.

Ia tak melebih-lebihkan. Pola itu memang berulang. Setiap kali BUMN mencapai puncak kinerja, selalu ada tangan-tangan yang datang dengan tuduhan “kerugian negara,” padahal yang rugi sesungguhnya adalah negara yang kehilangan orang-orang berani.

Ira bukan satu-satunya korban, tapi mungkin yang paling telanjang memperlihatkan betapa sistem hukum bisa menelanjangi logika. Ketika laporan keuangan resmi negara dianggap kurang “seru” untuk dijadikan dasar perkara, dibuatlah laporan baru yang lebih bombastis. Ketika fakta tak cukup mendukung dakwaan, dicari narasi yang lebih cocok untuk membungkusnya.

Dalam sidang, ia menutup pledoinya dengan kalimat lirih: “Saya tidak korupsi mengambil uang sepeser pun. Sampai sekarang juga tidak ada seorang pun yang terbukti diperkaya karenanya.”

Kisah ini, sejatinya, bukan hanya tentang seorang perempuan yang dikorbankan oleh sistem. Ini tentang wajah negara yang kehilangan rasa hormat kepada profesionalisme. Tentang hukum yang lebih memilih jalan sensasional daripada rasional. Tentang bangsa yang lebih suka menghukum keberanian daripada menghargainya.

Dan yang paling menyakitkan, adalah kenyataan bahwa kehidupan seorang pekerja negara—yang membangun jembatan laut Nusantara, memperbaiki pelabuhan, memajukan digitalisasi transportasi—justru dihancurkan oleh negara yang ia layani.

Albert Camus pernah menulis, “Integrity has no need of rules.” Integritas tidak butuh aturan, karena ia hidup di hati orang-orang yang memilih benar meski tak ada yang melihat. Tapi di negeri ini, integritas justru sering kali dijadikan alasan untuk dituduh melanggar aturan.

Mungkin suatu hari nanti, sejarah akan menulis ulang kisah ini dengan lebih jujur: bahwa di masa ketika banyak pejabat mencari keuntungan, ada seorang perempuan bernama Ira Puspadewi yang justru dikorbankan karena berani bekerja dengan benar. [dsy]

*Dari Pledoi pembelaan Ira Puspadewi, mantan dirut ASDP, “Saya Tidak Korupsi Tapi Dikriminalisasi”, yang menurut jadwal dibacakan 6 November 2025.

Back to top button