Alquran dan Para Samiri Dunia Modern
Bagi para “Samiri Moderen”, agama–terutama Islam– tidak boleh ikut campur dalam urusan iptek, sekalipun hasil iptek itu menimbulkan kerusakan aqidah, ahlak, ibadah dan muamalah yang meresahkan dan memprihatinkan.
Oleh : Usep Romli HM
Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai berbagai petunjuk itu dalam bingkai pemisah antara hak dan batil (Q. Al Baqarah : 185). Maka segala perbuatan manusia Muslim beriman , harus selalu berada dalam hak, serta jangan sekali-kali mengandung kebatilan.
Termasuk dalam masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Quran sebagai sumber segala sumber ajaran Islam, memberi peluang seluas-luasnya kepada manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan menerapkannya bagi kesejahteraan umat manusia keseluruhan, baik di dunia maupun di akhirat.
Prinsip para ilmuwan Muslim beriman (Ulul Albab), setiap menemukan fenomena-fenomena baru dalam berbagai eksperimen dan penyusunan kaidah-kaidah keilmuan, adalah bertasbih kepada Allah SWT serta memohon perlindunganNya dari siksa api neraka (Q.s. Ali Imran : 191). Hal ini untuk menegaskan, agar setiap karya yang mereka telaah, dan sebarluaskan, senantiasa membawa maslahat bagi ummat. Tidak menimbulkan bencana berupa kerusakan dan kehancuran, baik moral maupun material.
Ilmu pengetahuan dan tekknologi, sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam, senantiasa berjalan dalam satu koridor lurus. Satu sama sama lain saling menunjang keberdaan masing-masing. Ilmu pengetahuan senantiasa mengandung unsur-unsur syi’ar Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam (Q.s.al Ankabut : 107). Sehingga setiap produk iptek, menjadi sebuah ibadah dalam memenuhi perintah Allah SWT, sekaligus amal soleh bagi semua umat manusia.
Karena itu, setiap karya para ilmuwan Muslim beriman pada masa-masa awal, bersih dan bebas dari virus-virus kejahatan. Sebab, setiap karya yang mereka hasilkan, semata-mata dalam rangka keimanan kepada Allah SWT dan persembahan kebajikan bagi manusia di muka bumi. Nama-nama ilmuwan Muslim beriman, yang termashur sepanjang zaman, seperti Al Biruni (astronomi, geografi), Ibnu Baithor (biologi), Ar Razi, Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Haitham (optika), Omat Khayyam (ilmu pasti), Al Khawarizmi (matematika), Al Gazhali (ilmu jiwa), Ibnu Rusyd (filsafat) Ibnu Khaldun (sejarah) , dan banyak lagi, selalu membuka wacana keilmuannya dengan ucapan “Basmallah” (Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang), dan menutupnya dengan ucapan “Hamdallah” (Segala puji bagi Allah Penguasa Semesta Alam), disertai shalawat dan salam keada Nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa risalah Islam, yang memungkinkan setiap manusia menggunakan akal fikirannya untuk melakukan terobosan-terobosan ilmiah yang bernilai hak dan terhindar dari kebatilan.
Dorongan kuat dari ajaran Islam untuk menuntut, mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan, tercantum antara lain dalam Q.s.al Mujadalah : 11, yang menyatakan, Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan berilmu. Juga dalam Q.s.ar Rahman : 33. Di situ Allah mempersilakan jin dan manusia menembus angkasa luar asal terlebih memiliki kekuatan ilmu pengetahuan (sulthan).
Hanya saja, pada masa-masa mutaakhir ini, telah terjadi pemisahan (sekularisasi), antara iptek dengan Islam. Seolah-olah iptek bagian kehidupan duniawi (keduniaan), dan Islam hanya mengurus ukhrawi (keakhiratan) belaka. Sehingga iptek di satu pihak membawa maslahat, di pihak lain menimbulkan madarat. Hal ini terjadi karena iptek lepas kendali dari ajaran Islam, dan umat Islam menyia-nyiakan kesempatan mengusai dan mengembangkan iptek karena pemahaman mereka terhadap al Quran semakin minim.
Memang, penyalahgunaan iptek untuk pemuasan nafsu duniawi, sudah terjadi sejak ribuan tahun lampau. Minimal sejak zaman Nabi Musa Alaihissalam, kl.2 ribu tahun sebelum Masehi. Al Quran mengisahkan perbuatan Samiri, seorang pakar teknologi Bani Isroil, yang ikut rombongan Nabi Musa Alahissalam eksodus dari Mesir menuju Palestina. Ia seorang cerdas. Pandai bicara, serta mengusai beberapa jenis ilmu pengetahuan.
Ketika Nabi Musa sedang bermunajat di Gunung Tursina, Samiri beraksi. Ia mengumpulkan emas, perak dan perhiasan lain dari beberapa orang temannya. Lalu membuat patung anak sapi, sambil menggunakan rumus-rumus tertentu. Sehingga patung anak sapi itu dapat bersuara. Samiri berbicara kepada Bani Israil : “Inilah sembahanmu dan sembahan Musa. Lupakanlah Musa yang meninggalkan kita (Q.s.Thaha : 88).
Nabi Harun, asisten Nabi Musa, melarang Bani Israil mengikuti ajakan Samiri, karena akan menimbulkan fitnah besar. Sebab yang patut disembah hanyalah Allah Yang Maha Kasih (Q.s.Thaha : 90). Tapi mayoritas Bani Israil sudah terpengaruh oleh kampanye Samiri. Mereka beramai-ramai menyembah patung anak sapi, yang menurut anggapan mereka pantas dipertuhankan. Bentuknya indah. Bahannya bagus dan mahal. Penampilannya hebat.
Datang dari Tursina membawa wahyu Allah SWT, Nabi Musa segera memanggil Samiri. Mempertanyakan kelakuannya menyebarkan kesesatan di kalangan Bani Israil. Samiri menjawab, bahwa ia hanya mengaplikasikan pengetahuan yang ia kuasai, baik yang eksak, maupun yang bercampur takhayul. Seperti memoleskan segenggam tanah bekas jejak malaikat, ke moncong patung anak sapi. Tegasnya, Samiri memanfaatkan ketidaktahuan orang lain untuk kepuasan hawa nafsu sendiri (Q.s. Thaha : 95-98).
Nabi Musa mengusir Samiri agar pergi jauh dan jangan lagi mendatangi Bani Israil, untuk menerima siksa sangat berat kelak. Patung anak sapi buatannya dibakar dan abunya ditaburkan ke laut (Q.s.Thaha : 97).
Kelakuan Samiri terwariskan kepada generasi-generasi sesudahnya. Bahkan berkat dukungan teknologi tinggi canggih, kini dapat dihasilkan benda-benda yang lebih hebat corak, dan dampak kerusakannya. Karya Samiri dulu hanya mempengaruhi kelompok-kelompok Bani Israil. Tapi karya “Samiri Moderen” memukau segenap penghuni jagat. Apalagi di tengah kebebasan berpendapat, berkreasi dan bereksistensi, sosok penegur dan pencegah semacam Nabi Musa, sudah tidak ada lagi. Jikapun ada, akan dianggap melanggar HAM, merusak kebebasan berekspresi dan tidak seusai dengan prinsip demokratisasi.
Bagi para “Samiri Moderen”, agama–terutama Islam– tidak boleh ikut campur dalam urusan iptek, sekalipun hasil iptek itu menimbulkan kerusakan aqidah, ahlak, ibadah dan muamalah yang meresahkan dan memprihatinkan.
Seyogyanyalah kini umat Islam mulai menata kembali kesiapan diri sebagai Muslim beriman yang ikut bertanggungjawab atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Puasa Ramadan merupakan momentum tepat untuk menumbuhkan kesiapan itu. [ ]