SolilokuiVeritas

Andai Ridwan Kamil Versus Anies Baswedan di Pilgub Jakarta

PKS sudah sekian lama menjadi oposisi demi membela sikap dan integritas mereka. Jika di sisa era Jokowi justru mereka tiba-tiba menderita “Lima L” alias lesu, lelah, letih, lemah dan letoy, “apa kata dunia?” Kata filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam “Twilight of the Idols”, “Apa pun yang tidak membunuhmu, itu menguatkanmu–“Was mich nicht umbringt, macht mich stärker.” Dengan pengalaman paripurna sebagai oposisi yang punya sikap dan harga diri, menyangka bahwa PKS akan meninggalkan Anies adalah sikap yang melecehkan.

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Begitu membaca warta di satu situs berita bahwa pada Jumat malam (2/8) lalu Partai Golkar resmi meminang Dedi Mulyadi untuk menjadi calon gubernur Jawa Barat pada  Pilkada November mendatang, seraya mempersiapkan Ridwan Kamil untuk berlaga di Pilgub Jakarta, ingatan saya langsung berkelebat kepada sebuah artikel di The Jakarta Post. Sejak awal, saya banyak mengaminkan prediksi artikel berjudul “Analysis: Jokowi pulls all stops to stop Anies from winning Jakarta race” yang terbit Senin, 8 Juli itu. Seiring guliran waktu, satu demi satu kebenaran prediksi dan analisis Tenggara Strategics itu terbukti.

Apalagi dua hari kemudian, Ahad (4/8), beredar kabar bahwa Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, datang sowan ke kediaman ulama terkemuka Habib Rizieq Shihab (HRS). Meski tidak ada pernyataan politik apa pun usai pertemuan tersebut, tampaknya banyak juga publik yang membaca momen itu sebagai upaya Gerindra—bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus  yang sering dianggap sebagai kendaraan politik Jokowi— memperkecil ruang gerak Anies di Pilkada Jakarta.

Darmawan Sepriyossa

Tentu saja tak ada yang salah dengan manuver Golkar dan Gerindra, yang jelas-jelas partai politik. Sikap HRS untuk membentang tangan terbuka menerima Sufmi cs sebagai tamu pun bahkan sebuah perbuatan terpuji. Sebagai dzurriyah Nabi, HRS paham benar keharusan untuk menghormati tamu. Dalam hadits Bukhari dan Muslim diriwayatkan,”Dari Abu Suraih Al Ka’bi bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya dan menjamunya siang dan malam.” Konon, dalam soal memberikan hidangan itu, Nabi melakukannya langsung dengan tangan beliau sendiri.

Kalau kemudian beredar foto HRS dengan senyum sumringah memegang erat tangan Sufmi dan Habiburrokhman yang mengapitnya, itu pun tak lepas dari adab dan perintah Nabi SAW. Imam Al-Ghazali dalam magnum opus beliau, Ihya Ulumiddin, menyatakan bahwa kesempurnaan memuliakan tamu itu adalah menyambutnya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, dan seterusnya.

Akan gemboskah (partai) pendukung Anies?

Kalau pun dua kejadian mutakhir itu—pilihan Golkar untuk mendorong Ridwan Kamil ke Jakarta dan Gerindra mendekati HRS—ditafsirkan sebagai upaya kedua elemen KIM itu untuk menggembosi Anies, secara politik hal itu juga sah-sah saja. “Namanya juga usaha”, kata sebuah kalimat percakapan sehari-hari di era 1990-an.

Jangan juga gampang mengaitkan HRS dalam manuver politik partai-partai KIM itu. Apakah HRS menunjukkan dukungan politik kepada tamunya itu, selain bersikap baik dan terpuji sebagai tuan rumah? Bila tidak, biarkan saja para tamu menganggap ada poin politik yang mereka ambil dari pertemuan tersebut. Bagi HRS, itu peluang pahala lain yang akan didapatnya karena telah membuat tetamunya gumbira. Toh, selain mustahil, kekanakan juga bila berharap HRS akan menolak kedatangan tetamunya, bukan?

Di sisi lain, HRS adalah tokoh yang punya sikap dan berintegritas. Terlalu meremehkan beliau bila berharap dirinya akan melepas dukungan yang selama ini telah ia tunjukkan secara telanjang buat Anies. Jangan pula lupakan satu hal. Sikap teguh dan istiqamah (konsisten) itu HRS tegakkan di saat Jokowi—kalau toh beliau kita asumsikan berada di belakang semua ini—masih kokoh di kursi kepresidenan. Buat apa HRS mengubah sikap dan mempermalukan diri di saat kekuasaan Jokowi mulai ringkih menjelang lengser Oktober nanti?   

Adapun partai-partai yang sejak awal diasumsikan publik akan mendukung Anies, kita pun jangan gampang meremehkan mereka akan goyah hanya karena tekanan atau, sebaliknya, mimpi bergelimang kenikmatan dunia dan kuasa.  Ambil saja contoh PKS dan Nasdem. Boleh saja ada pengamat politik—atau apa pun klaimnya—yang mengatakan bahwa PKS sudah lama merasakan beratnya jadi oposisi. Namun ada hal yang tak boleh luput dan terlupakan, PKS sudah sekian lama menjadi oposisi demi membela sikap dan integritas mereka. Jika di sisa era Jokowi justru mereka tiba-tiba menderita “Lima L” alias lesu, lelah, letih, lemah dan letoy, “apa kata dunia?”

Juga jangan silap dengan manfaat pengalaman. Filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam “Twilight of the Idols” (Götzen-Dämmerung), yang terbit pada 1888 bilang, “Apa pun yang tidak membunuhmu, itu menguatkanmu–“Was mich nicht umbringt, macht mich stärker.” Dengan pengalaman paripurna sebagai oposisi yang punya sikap dan harga diri, menyangka bahwa PKS akan meninggalkan Anies adalah sikap yang melecehkan.

Belum lagi kalau kita pertimbangkan siapa sejatinya pemilih PKS? Selama paling tidak satu dekade ini, pemilih PKS adalah warga rasional, kelas menengah berpendidikan, yang kepalanya padat pepak dengan ide-ide perubahan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa besar. Mereka pasti akan mengedepankan nasib bangsa dan nilai-nilai kebenaran agama, dibanding fanatisme partai. Gampang diduga apa yang akan mereka lakukan bila elit partai yang mereka percaya berlaku lancung mengkhianati pilihan mereka.      

Pilkada Jakarta adalah pentas nasional yang ditatap jutaan pasanag mata. Petinggi PKS tentu akan sangat berhati-hati mengambil sikap. Mereka akan menghindari sikap-sikap yang terlalu telanjang menunjukkan kentalnya kepentingan pragmatis semata.

Akan halnya Nasdem, kepada Surya Paloh (SP) kita berharap. Di usia yang senja, sejatinya apa lagi yang musti kita perjuangkan selain sikap? SP pasti berkaca dari “suúl khatimah”-nya Jokowi secara politik serta peluangnya ke depan untuk menjadi objek caci maki publik. Jadi, menurut saya, tak benar kalau ada yang mengatakan bahwa petinggi Nasdem dan para kadernya tengah “menggigil ketakutan” karena khawatir menjadi objek kriminalisasi.

Anies VS Ridwan Kamil?

Kini bagaimana kalau yang terjadi di Pilkada Jakarta nanti adalah duel antara Anies Baswedan dan Ridwan Kamil?  Tentu saja, itu ‘laga’ yang menarik. Paling tidak, keduanya sama-sama muda dan punya rekam jejak yang bisa dikaji warga.

Ridwan Kamil adalah seorang politisi terkemuka Indonesia, mantan walikota Bandung, dan petahana pada Pilgub Jawa Barat. Masa tugas RK sebagai walikota Bandung (2013-2018) ditandai serangkaian inovasi urban yang bertujuan untuk merevitalisasi kota. Ia memperkenalkan berbagai ruang publik, seperti taman tematik, untuk mendorong interaksi komunitas dan meningkatkan daya tarik estetika kota. Dia juga fokus pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan tata kelola. Pemerintahannya meluncurkan beberapa inisiatif digital, seperti aplikasi “Lapor” untuk keluhan publik dan “Bandung Command Center” untuk memantau aktivitas kota.

Namun tentu saja, RK pun tidak sepi dari kritik. Para pengkritik sering menuduhnya lebih fokus pada citra dan popularitas media sosial daripada tata kelola yang substantif.  Banyak pula yang berargumen bahwa proyek-proyeknya hanya bersifat superfisial dan tidak menangani masalah-masalah mendalam kota, seperti kemacetan lalu lintas, banjir, dan manajemen sampah. “Taman tematik memang menarik, tapi seolah mengabaikan masalah mendasar yang mengganggu Bandung,”kira-kira itu kata mereka.

Beberapa kalangan bahkan menunjuk sekian banyak kegagalannya, baik saat memimpin kota Bandung, maupun ketika jadi gubernur Jabar. Para pengkitiknya berpendapat, selama memimpin Jabar RK belum menghasilkan perbaikan infrastruktur yang signifikan. Masalah-masalah seperti transportasi umum yang tidak memadai, banjir yang terus berlanjut, dan pembangunan ekonomi yang tidak merata terus menjadi tantangan bagi Jabar.

Programnya yang sempat dianggap fenomenal, Petani Milenials, di ujung-ujung masa jabatannya dianggap sementara kalangan gagal. RK sendiri mengakui jika program Petani Milenial tidak semuanya berjalan mulus. Ia merujuk data tahun 2021, dan menyebut hanya  ada 560 peserta yang gagal.  “Program petani milenial ada yang gagal, namun lebih banyak yang berhasil,” tulis Ridwan Kamil dalam akun Instagramnya @ridwankamil, Jumat (3/2/2023). “Yang gagal sebanyak 560 peserta, yang berhasil dan berjalan baik sebanyak 1,206 peserta. Itu statistik tahun 2021.”

Beberapa proyeknya juga mengalami penundaan atau bahkan tidak terselesaikan. Misalnya, proyek Metro Capsule LRT di Bandung yang diharapkan selesai pada 2018, yang hingga kini belum terealisasi. Proyek lainnya seperti Cable Car Bandung dan Underpass Cibiru juga mengalami penundaan dan belum ada perkembangan signifikan. Ada lagi program e-Parking atau sistem pembayaran parkir elektronik, yang menurut banyak pihak tidak mencapai hasil yang diharapkan.

Namun jangan lupa, di sisi lain Ridwan Kamil telah menyelesaikan proyek penting seperti Flyover Antapani yang membantu mengurangi kemacetan di Bandung.

Di aras politik, bukan tak mungkin dengan sikap dan manuvernya selama ini, ada kalangan yang memandang RK sebagai alat politik, atau setidaknya bagian dari era Jokowi. Dan bila era ini—sebagaimana edisi khusus majalah TEMPO edisi 29 Juli-4 Agustus 2024,”Nawadosa Jokowi”—dianggap era yang buram bagi Indonesia, citra politik seperti itu tentu tidaklah sedap buat RK.   

Meskipun secara keseluruhan banyak yang menganggap Anies Baswedan sukses memimpin Jakarta selama 2017-2022, ia pun tidak sepi dari kritik. Salah satu kritik utama terhadap Anies adalah masalah penanganan banjir yang dianggap belum efektif. Ia juga dikritik dalam program hunian dengan down payment (DP) Rp 0 yang dijanjikannya. Pasalnya, program ini mengalami perubahan batasan penghasilan tertinggi penerima manfaat, dari semula Rp 7 juta menjadi Rp 14,8 juta.

Ada juga kritik karena dirinya sempat menunjuk Donny Andy S Saragih sebagai direktur utama PT TransJakarta Ternyata, tanpa diketahuinya Donny  berstatus terpidana. Keputusan itu sempat menuai kritik keras dan dianggap sebagai kesalahan besar dalam proses seleksi pejabat penting​. Belum lagi kritik soal penataan PKL di trotoar, kemacetan lalu lintas yang dianggap masih jadi masalah, dan sebagainya.

Yang pasti, sekali lagi, bagi saya laga Anies-RK ini menarik. Sekaligus juga menjadi ujian kesekian bagi warga Indonesia, Jakarta khususnya. Ujian kedewasaan mereka dalam berdemokrasi dan menggunakan rasio. [  ]

Back to top button