SolilokuiVeritas

Armada Jet Tempur ‘Ragam Rasa’ Indonesia Berisiko Mengancam Efektivitas Operasional dan Mengganggu Ambisi Geopolitik

Upaya Indonesia mengadopsi strategi pertahanan non-blok yang pragmatis, yang kini menghasilkan rencana pengadaan jet tempur dari setidaknya enam vendor global telah menuai kritik tajam. Keragaman ekstrem ini sebagai pertanda strategi yang terfragmentasi berpotensi melumpuhkan efektivitas operasional dan melipatgandakan biaya negara.

JERNIH – Indonesia setidaknya memiliki enam vendor global dalam armada jet tempur yakni Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Korea, Turki, dan Tiongkok. Rencananya akan membeli 42 Rafale (Prancis), 48 KAAN (Turki), potensi J-10 (Tiongkok), negosiasi Su-35 (Rusia), dan rencana akuisisi F-15EX (AS), di samping komitmen terhadap jet tempur KF-21 Boramae (Korea).

Upaya Indonesia untuk memperoleh jet tempur canggih telah ditandai oleh berbagai lika-liku, dengan perubahan aliansi, rencana pengadaan, dan kendala keuangan yang menentukan strategi perolehan pertahanan negara.

Meskipun demikian, negara ini terus melanjutkan rencana modernisasinya, yang ditandai dengan pembelian baru dan tak terduga. Strategi pertahanan pragmatis dan non-blok yang tercermin dalam rencana pengadaan Indonesia memberikan fleksibilitas cukup besar bagi negara untuk mengupayakan perjanjian militer dengan berbagai mitra.

Misalnya, Menteri Pertahanan Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, baru-baru ini mengumumkan bahwa Indonesia dapat memperoleh jet tempur J-10 dari Tiongkok. “Jet-jet tempur itu akan segera terbang di atas Jakarta,” ujar Sjamsoeddin, tanpa mengungkapkan detail lebih lanjut. Pengungkapan ini terjadi beberapa bulan setelah Wakil Menteri Pertahanan Indonesia, Donny Ermawan Taufanto, mengumumkan bahwa Tiongkok telah menawarkan jet J-10C kepada Indonesia.

Beberapa media terkemuka menyatakan bahwa negara Asia Tenggara tersebut akan membeli 42 jet tempur J-10C, sementara yang lain menyatakan bahwa mereka tertarik pada varian J-10B bekas dari pesawat multiperan tersebut. Kontrak belum ditandatangani. Apa pun pilihan akhirnya, akuisisi ini akan menjadi pertama kalinya Indonesia membeli jet tempur China.

Menariknya, komentar Menteri Pertahanan itu muncul beberapa bulan setelah negara itu menandatangani kesepakatan akuisisi 48 jet tempur generasi kelima KAAN Turki pada 11 Juni, dan menjadikannya pelanggan asing pertama pesawat tersebut.

Kontrak senilai $10 miliar tersebut dilaporkan mencakup produksi dan pengiriman jet tempur KAAN ke Indonesia selama sepuluh tahun, menurut media Turki. Selain itu, kesepakatan tersebut juga mencakup transfer teknologi ke Indonesia, sebagaimana dilaporkan sebelumnya oleh EurAsian Times.

Hanya sehari setelah kesepakatan KAAN pada Juni 2025, Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama strategis dengan Korean Aerospace Industries (KAI). Langkah ini, menurut para analis, menunjukkan komitmen Indonesia terhadap proyek KF-21. Jakarta telah menjadi mitra kolaboratif untuk jet tempur supersonik KF-21 Korea Selatan sejak 2015.

Namun yang terpenting, Indonesia melakukan pembelian paling signifikan pada tahun 2022 ketika menandatangani kesepakatan pertahanan senilai US$8,1 miliar dengan Prancis, yang mencakup 42 jet tempur Rafale.

Indonesia dapat memperoleh sejumlah tambahan pesawat Rafale dari Prancis setelah menandatangani surat pernyataan keinginannya untuk memperoleh tambahan pesawat tempur Rafale dari Dassault Aviation.

Negara tersebut sudah mengoperasikan pesawat tempur Su-30 Rusia dan jet tempur Su-27, dan telah mengonfirmasi bahwa pembicaraan untuk pembelian Su-35 sebagian besar masih berjalan.

Selain itu, pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Boeing pada tahun 2022 untuk mengakuisisi hingga 24 pesawat tempur F-15EX. Menurut laporan terbaru, pemerintah belum membatalkan rencana pembelian F-15EX, meskipun masih ada pertanyaan mengenai harga $8 miliar hanya untuk dua lusin jet tempur.

Jika meneruskan semua rencananya, Indonesia dapat mengoperasikan armada jet tempur yang sangat beragam, terdiri dari Amerika, Rusia, Prancis, Korea, Turki, dan Cina. Meskipun pendekatan ini berasal dari keinginan untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada satu pemasok tunggal dan berakar pada embargo senjata historis dari Barat serta ancaman sanksi, pendekatan ini telah menuai kritik dari para ahli pertahanan.

Keberagaman ini dianggap sebagai “berita buruk” karena memperlihatkan strategi pertahanan yang terfragmentasi dan reaktif yang melemahkan efektivitas operasional, meningkatkan biaya, dan membahayakan ambisi geopolitik Indonesia yang lebih luas.

Salah satu kelemahan terbesarnya adalah ketidakcocokan sistem dari vendor yang bersaing. Semua pesawat ini memiliki avionik, sistem persenjataan, dan protokol komunikasi yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan “tantangan interoperabilitas yang serius”, yang akan menyulitkan pesawat tempur untuk mengomunikasikan data secara real-time, beroperasi dengan lancar dalam operasi gabungan, atau berkoordinasi dengan angkatan militer sekutu lainnya.

Misalnya, pelatihan silang pilot dan pengintegrasian senjata dari ekosistem Barat, Rusia, dan sekarang Cina akan sulit untuk dikoordinasikan. Selain itu, hal ini akan menjadi mimpi buruk logistik, sebagaimana dicatat oleh beberapa analis yang cermat.

Mempertahankan armada yang beragam membutuhkan beberapa rantai pasokan paralel, yang masing-masing disesuaikan untuk menggunakan suku cadang, peralatan, dan proses dari pemasok yang berbeda. Hal ini berpotensi mengakibatkan peningkatan upaya logistik untuk mencari dan membayar suku cadang serta “sistem perawatan yang tidak terstandarisasi”, yang justru akan meningkatkan tanggung jawab operasional.

Selain logistik, dampak finansial secara keseluruhan juga kemungkinan besar akan substansial. Para ahli juga  meyakini bahwa pengadaan yang terfragmentasi ini menandakan kurangnya doktrin yang koheren dan pada akhirnya akan menghasilkan “pesan yang kontradiktif” kepada para mitra dan memperburuk hubungan dengan beberapa sekutu utama, seperti AS.

Jika Indonesia melanjutkan semua rencana pengadaannya, negara ini akan memiliki salah satu armada yang paling beragam secara operasional dan logistik di dunia, sebuah fleksibilitas yang menurut para ahli, datang dengan konsekuensi biaya dan risiko operasional yang sangat mahal.

Back to top button